Mohon tunggu...
Siti RoisatunNisail
Siti RoisatunNisail Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UIN Walisongo

Prodi PAI UIN Walisongo Semarang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Apakah Penerapan Program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka Terbilang Efektif?

28 Desember 2021   14:57 Diperbarui: 28 Desember 2021   15:58 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Apakah Penerapan Program Merdeka Belajar – Kampus Merdeka Terbilang Efektif?

Pengembangan kurikulum merupakan hak dan kewajiban masing-masing perguruan tinggi, namun demikian dalam pengembangan kurikulum perguruan tinggi harus berlandaskan mulai dari UUD 1945, UU No. 12 Tahun 2012, Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang dituangkan dalam Permendikbud No. 3 Tahun 2020, serta ketentuan lain yang berlaku (Buku Panduan Pendidikan Tinggi untuk Mendukung MBKM. 2020). 

Kurikulum seharusnya mampu menghantarkan mahasiswa menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan tertentu, serta membentuk budi pekerti luhur, sehingga dapat berkontribusi untuk menjaga nilai-nilai kebangsaan, kebhinekaan, mendorong semangat kepedulian kepada sesama bangsa dan ummat manusia untuk meningkatkan kesejahteraan sosial yang berkeadilan serta kejayaan bangsa Indonesia. Untuk mewujudkan semua visi tersebut, Kemendikbudristek menawarkan Program Merdeka Belajar – Kampus Merdeka (MBKM).

Program Merdeka Belajar – Kampus Merdeka (MBKM) merupakan program Kemendikbudristek yang menawarkan beberapa program, yakni Mengubah PTN Satker menjadi sebuah PTN BH, Adanya penyederhanaan pada akreditasi perguruan tinggi, Membuka prodi baru, Adanya kegiatan dua semester diluar kampus.

Dengan adanya program yang ditawarkan Kemendikbudristek, apakah semua akademisi dapat menerima dengan baik? Beberapa akademisi khususnya pengelola Program Studi gelisah atas kebijakan ini. Meski kebijakan dinilai membawa angin segera namun juga membawa angin panas. Coba kita analisis.

Saat ini, PTN di Indonesia memiliki tiga jenis jenjang status yaitu PTN BLU, Satker, dan yang tertinggi PTN BH. Yang membedakan setiap status tersebut adalah tingkat otonomi di antaranya dalam mengelola keuangan dan sumber daya. Sayangnya, selama ini persyaratan agar PTN mendapatkan status PTN BH cukup berat. 

PTN dan mayoritas program studinya harus memiliki akreditasi A sebelum dapat mengajukan diri menjadi PTN BH. Tidak mengherankan, saat ini baru 11 perguruan tinggi yang berstatus PTN BH. Kebijakan ini tentu akan memberatkan tiap kampus, mengingat masih banyaknya kampus yang belum memenuhi standard akreditasi A. 

Apalagi untuk kampus-kampus baru yang masih membutuhkan waktu untuk berkembang. Tentu, Poin sangat diskriminatif karena hanya memberi hak kemudahan pada kampus negeri. Lalu, bagaimana dengan swasta? Tentu akan semakin tertinggal.

Harusnya, aksesebilitas dan inklusivitas diprioritaskan pemerintah terhadap kampus swasta untuk mendapatkan rekognisi, afirmasi dan fasilitasi.

Kebijakan kedua Adanya penyederhanaan pada akreditasi perguruan tinggi. Hal ini sampai 2021 juga belum terealisasi. Bahkan, kampus-kampus memiliki kecenderungan terjadi "stres akademik" lantaran akreditasi. 

Ditambah lagi BAN-PT kini terus menaikkan instrumen borang dan model asesmen yang dilakukan. Realitas yang penulis temui, borang menjadi satir yang diselewengkan "bohong dan ngarang". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun