Mohon tunggu...
ROIS LEONARD ARIOS
ROIS LEONARD ARIOS Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Belajarlah dari apa yang telah dialami

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Makanan Cepat Saji dan Budaya Orang Minangkabau: Analisis J. Baudrillard

19 Juni 2014   17:20 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:08 1385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Rois Leonard Arios

Pendahuluan

Orang minangkabau merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang terkenal dengan berbagai makanan tradisional seperti rendang, masakan gulai-gulaian, hingga makanan ringan seperti keripik sanjai. Seiring dengan perjalanan waktu, berbagai jenis kuliner dari berbagai daerah di Indonesia maupun luar negeri mulai merambah daerah Sumatera Barat khususnya Kota padang. Berbagai jenis kuliner yang berasal dari luar Sumatera Barat itu adalah pecal lele (masakan khas dari Pulau Jawa) yang dijual di tenda-tenda pinggir jalan raya khususnya di Kota Padang, makanan cepat saji yang berasal dari luar negeri seperti Kentucky Fried Chicken (KFC), Texas Fried Chicken (TFC), California Fried Chicken (CFC), Pizza Hut[1], dan terakhir hadir di Kota Padang adalah McDonald di Jl. A. Yani Padang. Selain itu ada juga dari jenis roti-roti merk buatan luar negeri, dan Jacko (menjual minuman dan roti-roti) yang membuka usahanya di Basco Grand Mall Padang.

Berbagai jenis makanan tersebut ternyata cukup eksis khususnya di Kota Padang. Hal ini terlihat dari semakin bertambahnya penjual pecal lele yang bahkan sudah ada yang dikelola oleh orang Minangkabau. Sedangkan makanan cepat dengan sistem manajemen modern juga cukup berkembang. Terutama Kentucky Fried Chicken yang semakin banyak membuka unit usahanya di berbagai tempat seperti di Basco Grand Mall, Plaza Andalas, dan Jl. A. Yani. Pizza Hut masih terbatas membuka usahanya di Jl. A. Yani dan di Basco Grand Mall. Demikian juga CFC dan TFC walau tidak sebesar KFC, tetap eksis dan telah membuka beberapa cabang di Kota Padang.

Dengan banyaknya dijajakan makanan cepat saji tersebut, ternyata cukup ramai dikunjungi beberapa penduduk Kota Padang untuk sekedar. Dari hal ini muncul pertanyaan, bagaimanakah restoran (makanan) cepat saji dimanfaatkan oleh orang Minangkabau di Padang?

Makanan Menurut Budaya Minangkabau

Sumatera Barat cukup terkenal dengan makanan khas Minangkabaunya baik di Indonesia maupun di luar negeri. Dari beberapa jenis makanan tersebut salah satunya adalah rendang .[2] Makanan tersebut sangat erat hubungannya dalam aktivitas adat minangkabau.

Maryetti (2007) menjelaskan bahwa makanan bagi orang Minangkabau sangat erat kaitannya dengan struktur masyarakatnya. Dengan menggunakan analisa structural Levi Strauss, Maryeti menggambarkan bahwa jenis makanan bagi orang Minangkabau ada 3 yaitu makanan adat, samba adat, makan beradat. Disamping terkait dengan jenis makanan tersebut, juga dijelaskan bagaimana tatakrama makan pada orang Minangkabau.

Dari penjelasan Maryetti tersebut tergambar bahwa makanan pada orang minangkabau memiliki fungsi masing-masing dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat dari berbagai jenis makanan yang dimakan pada waktu-waktu tertentu dan ketatnya penyajian makanan pada saat upacara adat. Hal ini tentu sangat berpengaruh pada konsepsi orang Minangkabau terhadap makanan itu sendiri. Seperti makanan utama itu adalah nasi, dengan lauk dari jenis ikan atau daging sesuai pada situasi yang sedang berlangsung. Dalam tatakrama juga diatur bahwa dalam menikmati makan harus duduk bersila, tidak boleh sambil berdiri, sambil berbicara, dan posisi duduk juga harus disesuaikan dengan hubungan kekerabatan diantara orang-orang yang ikut dalam makan tersebut seperti antara urang sumando dengan mamak.

Restoran Cepat Saji

Konsep makanan cepat saji merupakan istilah yang dipergunakan untuk menyebut makanan-makanan yang dijual di restoran dengan penyajian yang cepat dari segi memasak dan pelanyanannya. Oleh George Ritzer restoran cepat saji ini merupakan alat konsumsi baru pada masyarakat postmodern.

McDonald[3] sebagai pelopor restoran cepat saji menjadi acuan restoran-restoran cepat saji lainnya seperti KFC[4], CFC[5], dan TFC[6]dalam manajemen dan pelayanan. Cara kerja restoran cepat saji ini mengacu kepada cara berpikir rasional. Berpikir rasional ini sesuai dengan konsep Max Weber tentang birokrasi yaitu bagian-bagian dari suatu organisasi harus memiliki tugas dan tanggung jawab sendiri dan terstruktur untuk mencapai tujuan organisasi tersebut. Artinya ada pembagian kerja yang jelas dan setiap orang bertanggung jawab terhadap pekerjaannya.

Dalam sistem kerja McDonald menawarkan 4 sistem kerja yang dianggap rasional, yaitu:[7]

1.Efisiensi, yaitu cara berpikir optimal untuk memindahkan suatu objek dari satu tempat ke tempat lain dengan cepat. McD menerapkannya dengan cara cepat bagaimana mengubah rasa lapar konsumennya menjadi kenyang dengan cepat;

2.Kalkulabilitas, yaitu aspek kepastian terukur dari kuantitas objek yang diperoleh atau dikonsumsi. Maksudnya adalah konsumen akan tahu berapa uang yang akan dikeluarkan untuk membeli sebuah burger karena harga sudah tertera pada jenis-jenis barang yang dijajakan. Dengan demikian setiap konsumen dapat memesan sesuai dengan kebutuhan akan rasa lapar dan harganya;

3.Prediktabilitas, yaitu dengan sistem standarisasi orang-orang akan percaya bahwa rasa, ukuran, dan bentuk burger yang dimakan di Padang sama dengan yang dimakan di Amerika (tempat asalnya) atau di daerah-daerah lainnya. Demikian juga dalam prosedur memasak, ketepatan resep, lama memasak, dan lain-lain semua sudah terukur. Dengan standar ini pula konsumen dapat memperhitungkan berapa lama waktu yang dibutuhkannya untuk memesan satu burger;

4.Substitusi tenaga manusia ke teknologi, yaitu pemanfaatan teknologi canggih dalam proses memasak, penyajian, dan lain-lain sehingga tenaga manusia sudah dikurangi. Sebagai contoh dispenser soft-drink yang akan berhenti dengan sendirinya jika sudah penuh satu gelas, mesin penggoreng kentang yang akan berbunyi jika kentang yang digoreng sudah renyah, dan mesin kasir yang sudah terprogramseperti hanya bisa dibuka jika ada transaksi. Semua teknologi ini menjanjikan kerja yang lebih terkontrol di restoran cepat saji. Jalur produksi setiap produk sudah ditetapkan dengan mekanisme menu tetap dengan maksud mengendalikan semua aspek produksi. Termasuk juga para pegawai yang telah memiliki standar kualitas.

Sistem kerja rasional tersebut membuat McD menjadi pelopor sistem kerja restoran cepat saji. Sistem ini kemudian diikuti oleh restoran cepat saji saat ini seperti KFC, CFC, TFC, dan lain-lain.

Menilai sistem kerja ini pada saat ini, Ritzer mengatakan bahwa sistem kerja tersebut adalah sistem yang irrationality of rationality. Karena dalam sistem ini yang dipentingkan adalah persoalan untung dan rugi. Manusia diibaratkan sebuah mesin yang tidak memiliki nilai-nilai sehingga bisa melakukan segala yang sudah terprogram. Atau dengan kata lain ada proses dehumanisasi.

Efisiensi yang ditawarkan oleh McD untuk mengubah lapar menjadi kenyang dalam waktu sekejap berubah menjadi pemborosan waktu antrian panjang dan melelahkan. Hal serupa juga dapat dilihat di supermarket, untuk membayar di kasir saja butuh waktu yang lama karena antrian yang panjang. Demikian juga ketika ingin memesan satu jenis lagi, maka si konsumen harus antri lagi dari belakang. Pada antrian tersebut, para konsumen tidak saling mengenal siapa di depan atau dibelakangnya sehingga interaksi yang terjadi sangat kering karena tidak adanya komunikasi antarkonsumen. Demikian juga pada saat membayar di kasir, tidak ada komunikasi dua arah antara konsumen dengan kasir. Hal ini sangat berbeda jika kita memasuki rumah makan konvensional atau rumah makan ampera (khas Padang) atau berbelanja di warung konvensional di dekat rumah, interaksi antara konsumen dengan penjual atau antarkonsumen terjalin cukup baik. Konsumen tidak hanya berkomunikasi sebatas apa yang dibelinya tetapi menyangkut persoalan lainnya seperti isu-isu yang sedang hangat di daerahnya. Demikian juga sebaliknya dengan penjual.

Proses dehumanisasi yang terjadi juga terlihat dari kandungan gizi dari makanan yang dijual pada restoran cepat saji seperti burger atau ayam goring karena telah diolah dengan kapasitas besar. Dengan alasan efisiensi, maka penggunaan teknologi telah mengurangi kandungan gizi pada makanan tersebut. Teknologi yang dipakai juga telah memberikan dampak pada pencemaran lingkungan.

Diantara para pekerja di restoran cepat saji, juga ibarat robot yang bergerak sesuai dengan program yang sudah diatur. Tidak ada tegur sapa antarpekerja kecuali sesuai dengan prosedur kerja, tidak ada tegur sapa antara pembeli dengan penjual kecuali sekedar mengucapkan pesan apa, tersenyum, menyebutkan harga, dan kalimat “terima kasih, selamat menikmati”. Perlakuan penjual tersebut kepada konsumen bukanlah tindakan yang iklas, tetapi tindakan terpaksa yang harus ditampilkan di depan umum[8] sesuai dengan arahan yang sudah ditentukan sebelum bertugas.[9]

Di restoran cepat saji konsumen tidak memiliki tawar menawar terhadap komposisi menu yang akan dibeli. Semua menu yang dijajakan sudah diatur dalam berbagai paket dengan menjanjikan keuntungan karena adanya bonus-bonus. Dengan bonus tersebut, konsumen akan terpancing untuk mengambil paket penjualan yang tentunya harganya lumayan mahal. Bila kita cermati bonus yang diberikan tersebut bukanlah sebenarnya bonus yang benar-benar gratis. Sepertipemberian hadiah berupa CD lagu-lagu produksi KFC setiap pembelian paket tertentu, ternyata setelah dihitung-hitung, konsumen telah membayar CD tersebut dengan harga yang lebih mahal dari pada yang dijual di pasar. Demikian juga untuk kalangan anak-anak, KFC juga diberikan paket dengan hadiah mainan yang sedang popular. Hadiah mainan ini tentu menjadi daya tarik utama anak-anak untuk tetap membeli KFC paket anak-anak tersebut untuk mendapatkan hadiahnya sedangkan makanannya belum tentu dimakan.

Orang Minang dan Restoran Cepat Saji: Analisis Baudrillard

Kehadiran restoran cepat saji di Kota Padang ternyata cukup laris dan berkembang pesat setidaknya terlihat dari semakin banyaknya cabang-cabang restoran Kentucky Fried Chicken di Kota Padang. Baudrilard melihat hal ini bahwa masyarakat Kota Padang sudah menjadi masyarakat konsumsi. Pemikian Baudrilard ini berangkat dari pemikiran Karl Marx tentang pembagian kelas berdasarkan faktor produksi. Namun pemikiran tersebut diperbaharui oleh Baudrilard dengan mengatakan bahwa masyarakat saat ini ditentukan oleh faktor konsumsi. Penguatan konsumsi sejalan dengan penguatan dari control produksi itu sendiri. Konsumsi dianggap sebagai sesuatu yang diorganisiroleh tatanan produksi sebagai perluasan kekuatan produksi serta merupakan kekuatan produktif yang penting bagi kapital itu sendiri.[10]

Dengan konsep tersebut, Baudrillard mengatakan bahwa masyarakat konsumsi memliki 4 logika objek, yaitu:

1.Nilai fungsional, yaitu tentang tujuan instrumental dalam hal penggunaan sebuah objek (dalam konsep Marx disebut sebagai nilai guna objek atau komoditas);

2.Nilai tukar, yaitunilai ekonomis dari sebuah objek konsumsi;

3.Nilai tukar simbolis, yaitu nilai yang telah dibangun bersama dalam masyarakat untuk sebuah objek konsumsi dibandingkan dengan objek lain;

4.Pertukaran nilai tanda objek merupakan pertukaran dalam perbandingan dengan objek-objek lain dalam suatu sistem objek

Baudrillard mengartikan konsumsi bukan lagi sekedar memanfaatkan objek sesuai kebutuhan tetapi merupakan tindakan sistematis dalam memanipulasi tanda dan untuk menjadi objek konsumsi, objek harus mengandung atau menjadi tanda. Artinya dengan mengkonsumsi sebuah objek dengan sendirinya orang tersebut juga mengkonsumsi tanda yang sama dan secara tidak sadar mirip dengan orang lain yang mengkonsumsi objek yang sama. Seperti halnya dengan restoran cepat saji, katakanlah orang yang makan di KFC, maka orang tersebut menjadi bagian dari orang lain yang juga makan di KFC.

Sesuai dengan 4 logika objektersebut dapat kita analisa tentang orang Minangkabau yang memiliki konsep makanan sesuai budayanya mengkonsumsi makanan di restoran cepat saji seperti KFC, McDonald, Pizza Hut, dan lain-lain.

1.Nilai fungsional, orang makan tujuannya adalah agar terpuaskan akan rasa lapar sehingga merasa kenyang. Jadi dengan makan di restoran cepat saji harusnya akan mendapatkan kepuasaan akan rasa kenyang;

2.Nilai tukar, ternyata makan di restoran cepat saji harus mengeluarkan uang yang lebih banyak dibandingkan ia berbelanja di pasar tradisional dan memasak sendiri di rumahnya. Bandingkan saja satu paket KFC seharga Rp.60.000,- hanya mendapatkan dua potong ayam, 2 porsi nasi yang takarannya sangat sedikit, dan minuman ringan. Jika membeli satu ekor ayam di pasar tradisional beserta bumbu masaknya, nasi (tentu dengan porsi yang sesuai kebutuhan), plus minuman yang bisa dibuat sendiri, harganya tidak akan mencapai Rp60.000,- sehingga makan di restoran cepat saji sebenarnya tidak ekonomis;

3.Nilai tukar sosial, dengan makan di restoran cepat saji ternyata menjadi tanda dari struktur sosial tertentu.Tanda ini dibangun oleh masyarakat global bahwa makan di KFC atau sejenis restoran cepat saji merupakan bagian dari struktur masyarakat tertentu. Tanda yang dibangun oleh masyarakat global ini terbangun pula pada masyarakat di Kota Padang sehingga memiliki persepsi yang sama tentang mengkonsumsi tanda tersebut. Sehingga dengan membeli produk KFC misalnya, orang tersebut tidak hanya membeli makanan, tetapi juga membeli pencitraan KFC terhadap nilai-nilai sosial orang tersebut. Konsekwensi dari tindakan ini adalah kemakmuran seolah-olah diciptakan dari simbol konsumsi tersebut. Padahal ini hanyalah permainan kaum kapitalis yang menciptakan struktur bagi para konsumennya agar tetap eksis di dunia pasar kapitalis;

4.Pertukaran nilai tanda objek merupakan pertukaran dalam perbandingan dengan objek-objek lain dalam suatu sistem objek. Orang terkadang tidak memikirkan nilai guna suatu barang atau objek konsumsi tetapi lebih mengutamakan pada nilai tanda pada objek tersebut. Orang memilih makan di KFC bukan di CFC misalnya, karena masyarakat telah membangun nilai tanda yang lebih baik di KFC dibanding CFC, dan CFC lebih baik dari pada makan di rumah makan ampera. Dengan demikian pilihan-pilihan restoran cepat saji menjadi nilai tanda yang akan membedakan dengan orang-orang yang tidak mengkonsumsi objek yang sama dengan kita. Pilihan tersebut diperlukan karena kita memerlukan status sosial dan nilai sosial.

Dengan analisis di atas, pada kasus orang Minangkabau di Kota Padang, konsep makanan yang dipahami dalam budayanya sudah bukan menjadi acuan dalam mengkonsumsi makanan. Tatakrama dalam budaya minangkabau sudah tergantikan oleh logika yang dibangun oleh kaum kapitalis. Walaupun dalam sistem yang berlaku di restoran cepat saji sebenarnya tidak sesuai dengan budaya minangkabau, tetapi sebagai masyarakat yang egaliter, sistem tersebut dapat diterima untuk mendapatkan pengakuan terhadap nilai-nilai sosial baru yang diciptakan oleh kapitalis.

Dengan kondisi ini Baudrillard menyebutkan bahwa manusia saat ini hidup di abad simulasi.[11] Proses simulasi ini mengarah pada simulacra yaitu reproduksi objek dan atau peristiwa sehingga sulit membedakan mana yang tanda dan yang realita. Seperti halnya dengan restoran cepat saji akan sulit dibedakan mana realitas sebagai orang yang memang membutuhkan makanan untuk kenyang dan mana yang hanya sekedar untuk mendapatkan nilai tukar sosial. Karena cara gampang untuk mendapatkan pengakuan atau pengelompokkan sebagai bagian dari struktur masyarakat berkelas (middle class ataupun high class) dengan menjadi bagian dari orang-orang yang mengkonsumsi tanda yaitu komoditas yang disajikan restoran cepat saji tersebut. Bahkan orang yang secara ekonomi tidak mampu pun bisa menjadi bagian dari masyarakat berkelas dengan mengkonsumsi tanda tersebut. Disinilah yang dikatakan oleh Baudrillard sebagai dunia simulasi atau simulacra.

Demikiankontrol terhadap massa konsumsi dapat dilakukan melalui logika tanda objek yang dikonsumsi dengan membangun realitas yang semu. Artinya masyarakat dapat dikendalikan sesuai dengan pemaknaan terhadap tanda suatu objek. Pemaknaan tersebut dibangun sesuai dengan keinginan penguasa atau kapitalis ataupun keinginan masyarakat sehingga akan mengurangi tekanan sosial ataupun tindakan revolusioner.

Penutup

Orang Minangkabau yang memiliki budaya kuliner khas khususnya di Kota Padang ternyata juga menjadi bagian dari masyarakat konsumsi. Persoalan nilai guna dari komoditi tersebut tidak menjadi penting tetapi bagaimana mendapatkan nilai tukar sosial sehingga menjadi bagian dari struktur yang diciptakan oleh masyarakat konsumsi itu sendiri. Untuk mendapatkan hal tersebut terkadang harus melakukan simulasi (simulacra) sehingga “diterima”menjadi bagian dari struktur tersebut.

Masyarakat yang menjadi bagian dari struktur tersebut hanya berlaku pada saat ia mengkonsumi tanda tersebut dan akan menjadi dirinya sendiri, menjadi orang Minangkabau ketika ia kembali pada keluarganya atau komunitas adatnya dengan segala seluk beluk adat istiadatnya. Ketika ia menjadi bagian dari masyarakat kapitalis, semua simbol-simbol budayanya ditanggalkan digantikan oleh simbol-simbol yang diciptakan oleh masyarakat konsumsi tersebut.



Daftar Pustaka

Baudrillard, Jean P. 2004. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta: Kreasi Wacana

Maryetti. 2007. “Masakan dan Struktur Budaya Minangkabau: Studi Kasus di Nagari Kapau Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam Sumatera Barat”. Thesis Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2005. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media.

https://www.pizzahut.co.id/

http://home.allgameshome.com/results.php?category=web&s=

http://www.mcdonalds.co.id/about-us/corporate-information/history/

http://www.kfcindonesia.com/

http://www.cfcindonesia.com/

http://www.texaschicken.co.id/?t=menu&kid=5

[1]https://www.pizzahut.co.id/

[2]http://home.allgameshome.com/results.php?category=web&s=

[3] Tentang McDonald dapat dilihat pada http://www.mcdonalds.co.id/about-us/corporate-information/history/

[4] Tentang Kentucky Fried Chicken dapat dilihat pada http://www.kfcindonesia.com/

[5] Tentang California Fried Chicken dapat dilihat pada http://www.cfcindonesia.com/

[6] Tentang Texas Fried Chicken dapat dilihat pada http://www.texaschicken.co.id/?t=menu&kid=5

[7] George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2005. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media. Hal.564 – 567.

[8] Dalam teori dramaturgi disebut sebagai panggung depan

[9] Dalam teori dramaturgi disebut sebagai panggung belakang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun