Belum dipotong biaya ngopi  di warung, pupuk sekalian pestisida, pakan ikan dan biaya operasional anaknya selama kuliah untuk kos dan makan. Seperti layaknya kondektur bus dan pegawai POM bensin, uang untuk SPP saya urutkan berdasarkan nominal.Â
Tidak lupa halus dan leceknya uang saya atur dengan sangat cermat. Masa itu hampir semua anak desa yang kuliah ke kota, selalu membawa uang kontan.Â
Jarang yang menggunakan jasa perbankan dalam bentuk transfer. Nirkartu, ATM hanya untuk numpang ngadem mendinginkan badan dari panasnya Surabaya.Â
Membawa uang kontan SPP di dalam saku celana panjang berbahan jeans cukup mengandung resiko tangan jahil di keramaian. Ingat pesan orang tua, hati-hati ketika turun bus di Terminal Osowilangun Surabaya selalu waspada dengan barang bawaan. Itulah guna mengelabui copet terminal, biasanya saya menggunakan pakaian seadanya yang terkesan nggembel.Â
Pernah saat naik bus, kondektur mengira saya adalah pengamen. Tidak apalah terlihat seperti itu yang penting menjadi pengamen yang dalam dompetnya ada sebuah Kartu Tanda Mahasiwa (KTM) yang untuk mendapatkannya perlu perjuangan berat. Dua kali ikut tes masuk perguruan tinggi negeri.
 Saat ini namanya SPMB penganti UMPTN dan tahun kedua baru bisa lolos. Dari terminal untuk sampai kampus perlu naik angkot. Dalam angkot masih ada komplotan copet maupun penipu yang beroperasi. Mereka tidak sendiri, menjadi tukang sandiwara dengan berbagai adegan yang tidak biasa.Â
Ada yang pura-pura kaki kram ketika perhatian teralihkan, sebelah korban sudah ada yang mengambil barang berharganya. Ada juga sandiwara membawa sebuah bungkusan kertas coklat yang berisi burung.Â
Konon burung itu menang berbagai kontes dan karena butuh uang dijual murah. Korban yang tertarik semakin tersugesti karena ada anggota komplotannya yang bisa bersiul dengan sangat merdu menyerupai burung yang dimaksud.Â
Setelah itu deal dan mereka meninggalkan angkot. Beberapa kali saya melihat dengan mata kepala sendiri kejadian itu dalam angkot dengan tidak lupa menjaga kewaspadaan. Siaga satu memegang dompet atau segepok uang SPP yang berada dalam saku celana pendek yang dilapisi celana jeans.Â
Itulah cerita susah tapi penuh waspada mahasiswa era awal 2000-an. Saya belum mengenal pembayaran via transfer. Tidak kontan dianggap kurang berkesan.