Ya, syarat mutlak bagi pendamping desa, adalah membaca. Baik membaca dengan makna membaca buku atau lewat ruang digital---baik untuk produk-produk regulasi maupun untuk meningkatkan kapasitas mandiri---juga membaca desa sebagai bentuk pengamatan dari berbagai sisi dan ruang lingkupnya yang kompleks.
Bagaimana hal itu, aktivitas membaca, tidak bisa dihindari? Selama perjalanan setengah tahun perjalanan ini, banyak produk hukum yang dilalui desa, baik dari pusat dan daerah, yang tidak bisa tidak untuk melibatkan pendamping desa. Dan harus dibaca dan dipahami.
Tidak cukup itu. Selain membaca dan memahami, juga harus diujikan kepada penerima dan pelaksana---misalnya tentang regulasi dana desa yang 20% dari anggaran tersebut diperuntukkan ketahanan pangan di desa---yang tidak lain adalah pemerintah desa.
Dari pengalaman selama ini, satu regulasi yang diterbitkan misalnya, tidak cukup satu kali untuk dibaca, dipahami, dan disampaikan serta menjadi pemahahaman bersama. Tapi perlu membahasnya berulang kali hingga menjadi pemahaman seragam hingga bisa terlaksana sesuai harapan.
Seakan, pendamping desa juga bertugas menjadi penafsir terbaik dari aturan-aturan yang diterbit-publikasikan untuk mengatur desa. Membaca teks, menafisirinya, dan 'didakwahkan' kepada pemerintah desa untuk kemudian ditindaklanjuti.
Tapi demikian, serumit apapun regulasi untuk desa, tetap saja desa memiliki hukum adat sendiri. Menerjemahkannya secara otodidak dan mendiskusikannya. Memiliki pakem untuk memfilter mana yang haq dan bathil. Dan akhirnya, 'desa mawa cara, negara mawa tata, beda desa beda cerita.' Wallahul Hadi. (*)
Â
*) Penulis adalah Pendamping Lokal Desa Kecamatan Pakisaji
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H