Sedari kecil, saya sudah merasakan. Tadarus atau membaca Al Qur’an—baik itu di rumah, musholla, atau juga di masjid—dengan pola yang tidak ditemukan di luar bulan Ramadhan, adalah satu sisi dalam upaya meraih keberkahan di bulan Ramadhan. Bagaimana tidak?
Begini, tadarus yang umum diketahui, adalah upaya membaca atau men-deres Al Qur’an oleh satu orang, yang akan disimak dengan baik oleh orang lain. Jika ada bacaan yang kurang pas, baik pada cara membaca huruf per huruf atau dari sisi ilmu tajwid, akan saling memberikan koreksi. Hal tersebut dilakukan secara bergiliran antara satu pembaca dengan pembaca lainnya.
Tentu, oleh karena sama-sama saling menyimak, maka bagi pembaca Al Qur’an, akan membacanya dengan perlahan. Tidak seperti pembacaan Al Qur’an dengan cara khataman, yang dituntut cepat dan lebih individual.
Nah, uniknya, sekalipun bisa dianggap sebagai upaya mengakrabi agama selama bulan Ramadhan, tadarus juga menjadi perekat jamaah di musholla atau masjid. Sambil menunggu giliran yang dirasa masih banyak orang yang sedang mengaji, ada jeda lain bagi jamaah untuk mengisi waktu dengan bercengkrama sambil menikmati hidangan. Hidangan itu pun beraneka ragam yang umumnya merupakan pemberian warga sekitar. Bisa berupa kopi, teh, kue basah, dan ada pula makana berat seperti mie ayam atau nasi yang dilengkapi dengan lauk pauknya.
Pada ruang jeda itulah, tanpa disadari, orang-orang mengakrabi agama sekaligus sosial dalam waktu bersamaan yang jarang akan ditemukan di waktu-waktu lain, selain bulan Ramadhan.
Semoga memang demikian adanya.
Tabik!
Kepanjen, 30 Maret 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H