Koperasi memang biasa dikenal sebagai pelaku usaha kecil dan menengah, koperasi dapat membantu perihal simpan pinjam serta pemasaran produk bagi anggotanya, namun kini telah banyak koperasi yang memiliki atau memperoleh omzet yang sangat besar dan bahkan telah memiliki banyak anak usaha.Â
Sebagai contoh adalah Koperasi Telekomunikasi Seluler (Kisel) yang merupakan koperasi yang menjalankan bisnis di bidang telekomunikasi serta nontelekomunikasi, Kisel mampu menghasilkan omzet sebesar Rp5,9 triliun dalam satu tahunnya, selain Kisel juga terdapat Koperasi Warga Semen Gresik (KWSG) yang bergerak di bidang simpan pinjam, ekspedisi darat, ritel, restoran, perdagangan industri dan bangunan hingga bisnis pengelola acara.
Besarnya Tarif Pajak Penghasilan terhadap Badan Koperasi dikategorikan sesuai dengan jumlah pendapatan yang diperoleh badan usaha tersebut dalam satu tahun pajak, sehingga jumlah pajak penghasilan badan yang dikenakan terhadap koperasi yang memiliki peredaran bruto tertentu akan berbeda dengan jumlah pajak penghasilan badan bagi koperasi yang memiliki peredaran bruto tidak tertentu.
Jika dilihat dari jumlah omzet yang dimiliki, maka Wajib Pajak Badan koperasi dibedakan menjadi tiga, yaitu:
- Wajib Pajak Badan koperasi dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar per tahun. (peredaran bruto tertentu)
- Wajib Pajak Badan koperasi dengan omzet lebih besar dari Rp 4,8 miliar dan kurang dari Rp 50 miliar per tahun.
- Wajib Pajak Badan koperasi dengan omzet lebih dari Rp 50 miliar per tahun.
Koperasi yang memiliki peredaran bruto (omzet) tidak lebih dari Rp 4,8 miliar termasuk sebagai Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu yang akan dikenakan tarif Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan ketentuan PP Nomor 23 Tahun 2018 yaitu sebesar 0,5% dikalikan dengan seluruh pendapatan bruto dari hasil usaha koperasi dalam satu tahun pajak.Â
Sedangkan koperasi yang memiliki peredaran bruto (omzet) lebih dari Rp 4,8 miliar dalam satu tahun pajak (baik koperasi dengan omzet lebih besar dari Rp 4,8 miliar dan kurang dari Rp 50 miliar per tahun maupun koperasi dengan omzet lebih dari Rp 50 miliar per tahun) bukanlah termasuk sebagai koperasi yang memiliki peredaran bruto tertentu sehingga koperasi tersebut tidak dikenakan Pajak Penghasilan PP Nomor 23 Tahun 2018.Â
Namun terhadap koperasi yang memiliki peredaran bruto tidak tertentu tetap dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan, yaitu Pajak Penghasilan Pasal 25.
Sejak diberlakukannya PP Nomor 23 Tahun 2018 dan PMK Nomor 99/PMK.03/2018 yang memberikan opsi bagi Wajib Pajak terhadap Pajak Penghasilan Final, maka Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut tidak hanya berlaku bagi koperasi yang memiliki peredaran bruto tidak tertentu.Â
Dengan adanya ketentuan di dalam Pasal 9 ayat (1) PMK Nomor 99/PMK.03/2018 maka Wajib Pajak Badan Koperasi yang mulai Tahun Pajak pertama wajib membayar Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan adalah :
a. Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto melebihi Rp 4,8 miliar pada suatu Tahun Pajak atau dikatakan sebagai koperasi dengan peredaran bruto tidak tertentu,
 b. Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan memilih untuk dikenai PPh berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan, dan;
c. Wajib Pajak PPh Final PP Nomor 23 Tahun 2018 yang telah melewati jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam PP Nomor 23 Tahun 2018.
Terhadap koperasi yang memiliki peredaran bruto tertentu dan memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan Pasal 25 oleh pemerintah diberikan fasilitas pengurangan tarif terhadap Pajak Penghasilan Badannya.
Di dalam Pasal 31E UU Pajak Penghasilan fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif pada Pasal 17 ayat (2a) yaitu sebesar 25% yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar, pengurangan tarif tersebut diberikan kepada Wajib Pajak Badan dalam negeri yang memiliki peredaran bruto sampai dengan Rp 50 miliar.
Sebagai contoh, Koperasi Gubeng yang bergerak dibidang usaha dagang pada Tahun 2019 memiliki penerimaan bruto (omzet) dalam setahun sebesar Rp500.000.000 dan seluruh biaya-biaya yang berkaitan dengan usaha (seperti biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa dan lain-lain yang sesuai dengan ketentuan perpajakan) sebesar Rp425.000.000.Â
Koperasi Gubeng memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan Badan berdasarkan ketentuan Pasal 25. Diketahui bahwa Penghasilan Kena Pajak Koperasi Gubeng adalah sebesar Rp500.000.000 - Rp425.000.000 = Rp75.000.000.Â
Karena Koperasi Gubeng memiliki omzet di bawah Rp 4,8 miliar dan memilih untuk dikenai PPh Badan berdasarkan ketentuan Pajak Penghasilan Pasal 25, maka Koperasi Gubeng berhak untuk mendapatkan fasilitas pengurangan tarif Pajak Penghasilan sehingga Pajak Penghasilan yang terutang adalah Rp75.000.000 x 25% x 50% = Rp9.375.000. Dan angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayar oleh Koperasi Gubeng setiap bulannya adalah Rp9.375.000 dibagi 12 = Rp781.250.
Berikut adalah contoh penghitungan pajak penghasilan final terhadap koperasi yang memiliki penghasilan lebih dari Rp 4,8 miliar sampai dengan Rp 50 miliar. Koperasi Dharmawangsa memiliki peredaran bruto pada tahun 2018 mencapai lebih dari Rp 4,8 miliar. Pada tahun 2019 peredaran brutonya mencapai Rp 30 miliar dengan penghasilan kena pajak sebesar Rp 3 miliar.
Sehingga penghitungan pajak penghasilan badan Koperasi Dharmawangsa adalah pertama-tama menghitung bagian penghasilan kena pajak yang memperoleh fasilitas Pasal 31E yaitu (Rp 4,8 miliar/Rp 30 miliar) x Rp 3 miliar = Rp 480 juta, sehingga pajak penghasilan badan yang memperoleh fasilitas adalah (50%x25%) x Rp 480 miliar = Rp 60 juta.Â
Selanjutnya adalah menghitung bagian penghasilan kena pajak yang tidak memperoleh fasilitas yaitu Rp 3 milar -- Rp 480 juta = Rp 2,52 miliar. Sehingga pajak penghasilan badan yang tidak memperoleh fasilitas adalah 25% x Rp 2,52 miliar = Rp 630 juta. Dengan demikian, total Pajak Penghasilan Badan keseluruhan Koperasi Dharmawangsa yang harus dibayar adalah Rp 60juta + Rp 630 juta = Rp 690 juta.
Sehingga berdasarkan pemaparan di atas maka terdapat 3 klasifikasi tarif Pajak Penghasilan yang berlaku bagi Wajib Pajak Badan Koperasi berdasarkan tingkat peredaran brutonya, yaitu sebagai berikut:
- Terhadap koperasi yang memiliki peredaran bruto tertentu (penghasilan bruto kurang dari Rp 4.8 miliar), maka tarif pajaknya adalah sebesar 0,5% dikalikan dengan peredaran brutonya. Namun apabila koperasi tersebut memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan Pasal 25 maka tarif pajaknya berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (2a) dan Pasal 31E UU PPh yakni sebesar 25% dan memperoleh fasilitas pengurangan tarif sebesar 50%, sehingga perhitungannya adalah 50% x 25% dikalikan dengan Penghasilan Kena Pajak.
- Terhadap koperasi yang memiliki penghasilan lebih dari Rp 4,8 miliar sampai dengan Rp 50 miliar, maka tarif pajak yang berlaku adalah (50% x 25% dikalikan dengan Penghasilan Kena Pajak yang memperoleh fasilitas) + (25% x Penghasilan Kena Pajak yang tidak memperoleh fasilitas)
- Terhadap koperasi yang memiliki penghasilan lebih dari Rp 50 miliar, maka tarif yang dikenakan adalah sebesar 25% dan perhitungannya adalah 25% x Penghasilan Kena Pajak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H