***
 Saat terbangun, hari sudah pagi. Cahaya matahari kian memaksa masuk dari celah jendela kamar. Aku menggeliat dengan sedikit menoleh kearah pintu, aku melihat pintu tertutup rapat. Kucoba merenggangkan otot-otot untuk mulai beranjak. Kuraih segelas susu panas yang telah tersedia di meja dekat kasur.
Tak ada siapa-siapa dirumah. Senyap.
Adik yang biasanya ribut dengan mainannya, entah kemana. Mungkin sedang bermain di luar. Kepalaku pusing karena lelah dan kelaparan, membuatku tak mampu untuk bangun. Lututku terlihat memar karena bekas terjatuh dari motor. Lagi-lagi aku lupa dengan apa yang terjadi akhir-akhir ini. Ahh, ada apa dengan diriku, gumamku.
Di bawah tudung saji, semangkuk bubur ketan menyita perhatianku. Alangkah baiknya hati ibu. Mungkin ibu sudah tahu, kalau sebangun nanti aku akan merasa lapar dan menuju arah dapur.
Tuhan, berkatilah ibuku.
Terdengar suara pintu terbuka, dari arah ruang tamu. Ternyata itu ibu yang baru pulang dari pasar. Terlihat kantong hitam yang ditenteng ibu.
" Bu, itu apa?".
" ini belanjaan ibu nak".
" kenapa nak, kok kamu kelihatan pucet?".
" ndk kenapa-napa bu, Cuma laper aja. Hihi". Sambil cengar cengir memegang perut.
Tiba-tiba ibu memelukku, dan berkata. " Â Nak, ini ibu belikan makanan kesukaanmu". Terlihat ketan merah yang terbungkus daun pisang.
Ibu tiba-tiba berpaling. Aku melihatnya sangat letih. Ketika balik menatapku, matanya sembab. Dia mengusap mata sembabnya dengan tangan. Mungkin usia beliau sudah mendekati lima puluh tahun, atau malah lebih, tapi masih terlihat kuat. Di balik keriputnya, terlihat ketangguhan yang luar biasa. Dari beberapa tahun bersama ibu, aku belum pernah melihatnya bermuram durja. Aku mendekati ibu perlahan, dengan sedikit khawatir yang terngiang. Ibu menoleh, dan terlihat cairan bening yang mengalir dari mata bundarnya. Tersendu-sendu tanpa henti, kulihat pandangan kosong yang tenggelam kearahku dari tatapan itu. Mungkin, ibu sedih karenaku. Gumamku.
" Bu, siapa yang menyakiti ibu?"
" tidak seorangpun yang menyakiti ibu nak". Gumamnya tersedu-sedu.
" lantas, kenapa ibu menangis?"
" kamu sudah besar ya nak, suatu saat nanti, kamu pasti akan menikah dan pergi ninggalin ibu" Mata berkaca-kaca.
Aku tertunduk tanpa kata.
Ibu masih menagis. Matanya berair. Deras sekali.
***
Terik matahari sore mulai terlihat di kornea, aku mulai memijit-mijit kakiku yang lebam. Pantulan sinar begitu menyilaukan mata. Kemudian, aku mulai teringat akan buku harian yang kutulis beberapa bulan lalu. Di buku itu, aku punya keinginan untuk punya masa depan yang mapan, dengan pakaian dinas layaknya pengusaha besar. Di buku itu juga, aku curahkan kesedihan dan kepedihan. Aku menulis, bukan untuk belajar menjadi lemah. Bukan! Melainkan jadi kekuatan dan semangatku.
Panjang umur ya bu.
Ketika pikiranku mulai bergelanyut, ibu muncul dari belakang sambil menepuk pundakku.
Aku terkejut dan menoleh. "Ada apa, bu?"
" ada sesesorang yang ingin bertemu denganmu."
Dadaku berdebar. "siapa?'
"ini aku san, Reza" ucap reza.
" kok kamu enggak kuliah hari ini?" Tanya sani.
"A-aa aku nggak enak badan Za" Sambil gugup.
"Bagaimana keadaanmu sekarang?"
"Sudah lumayan membaik Za."
Benakku sibuk menebak-nebak untuk apa Reza menanyakan kedaanku, sampai datang kerumah segala.
Reza menatapku sambil tersenyum. Terlihat gingsul dan lesung pipinya, membuat aku semakin meliriknya. Duh, reza kok perhatian sekali, aku semakin suka. Kataku dalam hati.
***
Beberapa saat aku pergi ke dalam untuk bertemu ibu. Kata demi kata terucap dari bibirnya sampai berdentum-dentum dikepala. Aku menghembuskan nafas pelan, sambil mendengarkan ibu yang sedang berbicara. Aku merasakan kegelisahan karena kedatangan Reza tadi. Bukan amarah. Bukan!. Itu rasa khawatir karena cinta pada anaknya. Mata ibu kembali sembab. "jangan terlalu percaya pada laki-laki, nak. " kata ibu padaku. Ibu tidak ingin kamu disakiti oleh laki-laki. Cukup, Cukup orang lain saja yang rasakan, kamu jangan. Lakunya.
Aku berbalik. Menyembunyikan air mata.
"menangislah san!"
Aku mengelap air mata dengan punggung tanganku.
"Tuhan menciptakan air mata bukan berarti dia lemah." Tegas ibu.
Aku berusaha tersenyum, mencoba memasang wajah riang, tapi air mataku masih mengalir. Aku memeluk ibu dengan erat, dan berkata. " Bu, aku sayang ibu"
***
 Terdengar suara dari teras depan. Ternyata diluar masih ada Reza yang sedang menunggu. Tak sadar aku telah meninggalkannya masuk untuk menemui ibu. Aku keluar dengan mata sembab  sambil menunduk sendu. Perlu waktu lama untuk memecahkan kebisuan. Kekhawatiran ibu masih terngiang-ngiang di benakku, bahkan sampai terlihat dihadapan Reza. Â
"Kamu kenapa, san?" Tanya Reza.
Aku mengerlik sambil meraih tisu. "tak ada apa-apa, Za"
Dia mendehem, dengan sedikit nafas peluh. Mungkin Reza tahu kalau aku sedang berbohong.
Reza tersenyum, "Kamu unik"
Aku terenyuh mendengar  kata-kata Reza barusan. Kadang aku ikut tertawa, atau sekedar tersenyum. Itu cukup membuatku terhibur dan memasang wajah malu. Duh, Za, kamu ini ada-ada saja. Jantungku mengentak-entak.
Karena keasyikan ngobrol, aku terlambat menyadari kehadiran ibu, didekatku. Ibu menyuruhku untuk kembali beristirahat, karena aku masih dalam keadaan kurang sehat. Reza menatapku sambil tersenyum, "San, aku, pulang dulu ya." Ungkap reza.
"i-iya, Za" jawab Sani. Reza pun kembali setelah berpamitan.
 Ibu kembali menatapku, setelah tengah berdua. Lamat-lamat hening, membuat suasana Nampak begitu serius baginya. Aku mengusap air mata itu, iya, air mata. Air mata yang terlihat jelas dan deras diwajah ibuku itu.
Untuk mengalihkan suasana, aku kembali ke kamar untuk beristirahat.
***
dari dulu, setiap ada yang dekat dengan anak-anaknya. Ibu selalu khawatir dan parnoan. Mungkin itulah perasaan seorang ibu kepada anaknya. Kecewa, sedih, dll, itulah yang selalu ada di benak seorang ibu saat anak-anaknya sudah mulai beranjak dewasa  dan mengenal cinta.
Aku berjalan kearah pojokan jendela. Angin yang seolah memeluk dan mendekapku erat-erat, seakan-akan ingin mengatakan. Betapa beruntungnnya aku memiliki orang tua yang begitu menyayangiku. Â
"Tutup jendelanya kak, San," ucap adik Sani.
Lamunanku berakhir seketika adikku berbicara untuk menutup jendela yang  terbuka. Yah, saat itu hujan deras, dan aku masih asyik dengan hembusan angin. Diam seringkali lebih menenangkan tatkala kecemasan menggila. Di dalam hati aku berjanji, setelah ini, aku tak akan membuat ibu khawatir. Aku akan lebih berhati-hati dengan lelaki.
Tiba-tiba, terdengar derap langkah yang seperti gelegar petir menyambar kuping. Arahnya datang dari depan pintu kamar. Ternyata itu suara adikku yang sedang bermain kejar-kejaran. "Ah, berisik sekali!"
Dengan pandangan mata sembab, kupandangi ibu dan adik-adikku yang tengah berada di depan televise. Dengn tangan ibu yang mengelus-elus kepala adik. Aku sadar, bahwa kehawatiran seorang ibu ialah tanda cinta kasih kepada anaknya.
Sekian.
Pringgabaya, 14 Desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H