Mohon tunggu...
Rohmat Sulistya
Rohmat Sulistya Mohon Tunggu... Dosen - menulis, karena ingin.

Kesuksesan terbesar adalah mendapat hidayah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pemimpin Muda dan Kendali Informasi

11 November 2019   09:10 Diperbarui: 11 November 2019   09:17 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tren mengangkat pemuda menjadi pemimpin sudah menjadi fenomena di beberapa negara. Dan yang paling hangat terjadi dinegeri ini adalah pengangkatan beberapa orang menjadi Menteri pada usia yang masih muda. Sebut saja Nadiem Makarim, Erick Thohir, dan Wishnutama, ketiganya diangkat menjadi Menteri pada usia dibawah 50 tahun, bahkan dibawah 40 tahun. Di negara lain hal ini juga terjadi. Malaysia, misalnya, mengangkat pemuda pemudi bernama Yeo Bee Yin dan Syed Saddiq sebagai Menteri diusia kurang dari 40 tahun. Di Indonesia, fenomena ini menjadi luar biasa mengingat berpuluh-puluh tahun semenjak Indonesia merdeka, pengelola negara selalu identik dengan orang tua bahkan kakek-kakek. Tetapi, pada periode pemerintahan kali ini Presiden Jokowi membuat terobosan untuk mempercayakan hal-hal paling penting pada beberapa pemuda: Menteri dan wakil Menteri.

Apakah ini sebuah prestasi dan keterbukaan pikiran yang luar biasa? Bisa ya, bisa juga tidak. Menunjuk atau memilih orang muda untuk dijadikan pemimpin adalah sebuah pilihan. Diperlukan pikiran terbuka untuk memutuskan hal ini. Selama bertahun-tahun, hal ini selalu didiskusikan dan diwacanakan. Baru tahun ini hal ini diejawantahkan. Lalu, mengapa pemuda akhirnya diserahi urusan besar yang menyangkut hajat hidup rakyat dan negara?

Dalam pemahaman saya, hal ini bukanlah tren semata.  Ada sebuah kesadaran bersama yang diwakili oleh pemimpin negara, bahwa para pemuda sudah memainkan peran penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jaman ini adalah jaman dimana semuanya serba berbeda sama sekali dari jaman beberapa tahun yang lalu. Dan perubahan besar ini banyak diinisiasi dan dilakukan oleh kaum muda. Fenomena ini sering diistilahkan sebagai disrupsi, dimana sesuatu yang sudah mapan dan bertahan lama digantikan oleh sesuatu yang baru, dimana sesuatu yang baru ini lebih menarik, efisien, dan memudahkan kehidupan manusia.

Pemuda-pemuda cemerlang tersebut sudah memainkan peran secara gemilang di luar sistem pemerintahan (sehingga mereka beradaptasi dengan segala kebijakan pemerintahan). Sekarang mereka ditantang (baca: diberi kesempatan) untuk memainkan perannya didalam pemerintahan dimana mereka akan membuat kebijakan-kebijakan strategis yang berefek secara luas pada semakin maju atau mundurnya sektor-sektor penyokong pemerintahan.

Penunjukan mereka sebagai para pemimpin adalah sebuah pengakuan akan sebuah prestasi yang sudah terbukti. Mereka adalah para professional dan bukanlah politisi karbitan. Profesional dibidangnya dan kesuksesan ini mereka raih pada usia yang masih muda. Inilah jamannya orang muda. Jaman dimana semuanya serba dikendalikan oleh jaringan internet, data yang superbesar, dan realtime. Orang mudalah yang lebih menguasai ini. Saat ini, siapa yang menguasai internet dan data dengan canggih, dialah yang menguasai dunia. Tentu saja semuanya ini didukung oleh softskill yang lain.

Dan sekarang sedang terjadi, driven force dari perubahan-perubahan yang ada adalah kuasa akan informasi dengan dukungan penguasaan teknologi internet. Bahkan,teknologi internet dengan segala seluk beluknya 'mengatasi' negara-negara real yang ada. Artinya, bisa saja suatu negara kacau balau ketika ada tangan-tangan jahat yang mengacaukannya hanya dengan beberapa kali klik saja. Begitu juga sebaliknya.

Kalau kita amati, orang-orang muda yang terpilih ini datang dari mereka yang memegang kendali informasi. Erick dengan Mahaka, Wishnu dengan NET dan Kumparan, maupun Nadiem dengan Gojek. Kesemuanya adalah tentang bisnis informasi, media, dan data. Untuk menjadi manajer dalam sektor tertentu, tidak penting saat ini, seseorang adalah ahli dibidang tersebut. Untuk menjadi mendikbud, menpar, maupun menbumn tidak penting mereka menguasai substansi itu.

Pada beberapa tahun lalu, kita sering mendengar kompetensi terpenting seseorang untuk memimpin adalah kompetensi manajerial: kemampuan untuk menguasai, mengelola, dan mengendalikan. Tetapi pada abad 21 ini, hal itu dirasa tidak cukup. Perlu kemampuan tinggi untuk memprediksi masa depan, jika ingin bangsa ini unggul. Kemampuan memprediksi ini bukanlah didasarkan pada ramalan semata, tetapi lebih kepada membaca data-data superbesar yang setiap saat berubah untuk melihat tren apa yang akan terjadi dimasa depan. Inilah yang disebut memegang kendali akan data dan informasi.  

Karena sebab prestasi, maka akan sangat mungkin capaian besar sebuah kemajuan akan dapat diraih. Mereka memiliki pola pikir terbuka, kritis, berbasis solusi yang akan dijadikan modal mengurai permasalahan dan menjahit capaian kemajuan. Mereka juga memiliki kemampuan komunikasi dan kolaborasi yang tidak diragukan lagi. Mungkin tantangan besarnya adalah mengelola birokrasi secara elegan. Saya yakin, mereka akan bertindak dengan baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun