Mohon tunggu...
Rohma Nazilah
Rohma Nazilah Mohon Tunggu... Guru - Seorang Ibu dan perempuan sederhana yang suka berkisah

Bercengkrama dengan Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Diary

Aku Tidak Sedang Bermimpi

23 Maret 2021   11:24 Diperbarui: 23 Maret 2021   12:26 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Pagi ini udara Jogja cukup hangat. Sebenarnya banyak deadline, tetapi ntah kenapa, otakku cukup malas berpikir. Mungkin sisa beban dua minggu ini sangat berat. Terkadang kita perlu sedikit rela memanjakan diri dan pikiran kita. 

Artikel terakhir yang saya tulis bertahun 2019. Saya senang dan bangga dengan sapaan Pak beberapa sahabat kompasianer yang mampir ke lapak saya. Hal itu membuat kami terasa seperti sebuah keluarga. 

Saat ini, saya hanya ingin sedikit berbagi apa yang saya lakukan sepanjang dua tahun ini sehingga saya tak lagi menulis di Kompasiana. 

Sebagai seorang guru sebuah sekolah menengah swasta di Jogjakarta, saya sering galau dan overthinking. Seperti itu mungkin suami saya sering mengkritik saya yang tak berhenti berpikir meski kami sedang santai bahkan tubuh kami sudah terbaring di atas tempat tidur. 

Seorang profesor, guru saya saat saya menempuh S2 meledek saya dan mengatakan, "Untuk apa kamu kuliah lagi? Seorang guru berkuliah doktor". Demikian kami memang suka berkelakar dan saling meledek saat di kelas. Atmosfir ini saya sukai. Tidak ada sub ordinasi dalam kelas kami, kami saling egaliter dan cukup merdeka mengemukakan pendapat tanpa takut judging apalagi mempengaruhi penilaian yang akan kami peroleh sebagai mahasiswa. 

Selama empat tahun menikmati tugas tambahan di managemen sekolah, membuat saya gelisah lagi karena saya harus mendapatkan sebuah kenyataan bahwa idealisme tak selamanya akan dapat kita raih saat berhadapan dengan banyak kepentingan. Tetapi, saya bukanlah jenis orang yang bahagia dengan kondisi stagnan. 

Kegelisahan ini memicu saya untuk menuntaskan mimpi saya untuk bersekolah lagi meski saya hanyalah guru yang sebenarnya ga perlu-perlu amat untuk menuntaskan studi hingga doktor. Jadilah satu tahun menjelang tugas tambahan saya selesai, saya setiap hari menyempatkan diri menghirup atmosfir perpustakaan kampus yang sangat tenang dan memicu adrenalin akademik saya berkutat dengan berbagai macam literatur tentang perkembangan ilmu bahasa. 

Saat itu saya sedang mencoba mengukur apakah mimpi saya dapat saya wujudkan. Ditolak sekali saat seleksi karena proposal yang sangat mentah dan nilai PAPs (TPA) saya kurang memenuhi standard, saya masih mencoba keberuntungan saya dengan tidak berputus asa dan menyerah dengan penolakan itu. Toh dalam hidup kita, kita sering mendapatkan penolakan dan ketidaksesuaian anatara harapan dan keinginan. Jadi biasa sajalah ditolak. Beruntungnya seorang sahabat menghibur saya dan mendoakan saya untuk tidak menyerah dan mencoba keberuntungan saya lagi. 

Saya tidak sedang berminpi saat di tahun 2019, saya menginjakkan kaki di kampus dan berkuliah dengan semangat yang membuat adrenalin saya semakin meningkat dari waktu ke waktu. Saya mulai akrab dengan aliran filsafat kritis yang akan menjadikan saya seorang pakar suatu saat nanti. 

Saya tidak sedang berminpi karena berhasil mempublikasi kan sebuah karya pada sebuah jurnal internasional  berindeks sehingga berhasil membuat saya memiliki scopus.id pada November 2020 lalu. 

Di sini saya mendapat dua perasaan yang sangat kontradiktif. Di satu sisi, saya ingin mengatakan bahwa saya tidak sedang bermimpi, karena seorang guru mampu menembus dan mendapatkan scopus.id namun di sisi lain, email pemberitahuan kabar gembira kepada seorang sahabat yangs selalu menyemangati saya tak berbalas karena ternyata dia sudah dipanggil Allah di bulan sebelumnya. Sebuah perasaan yang sungguh tragis. 

Saat ini saya tak sedang bermimpi karena saya hampir melampaui tahun kedua dan separo waktu lagi saya akan mendapatkan sesuatu yang bagi orang lain disebut kemustahilan. 

Saya membuat sebuah kemustahilan menjadi kenyataan. Saya tidak sedang bermimpi. 

Balairung, 23 Maret 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun