Mohon tunggu...
Rohma Nazilah
Rohma Nazilah Mohon Tunggu... Guru - Seorang Ibu dan perempuan sederhana yang suka berkisah

Bercengkrama dengan Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pendidik, Penindas atau Penyelamat?

17 November 2019   01:20 Diperbarui: 19 November 2019   15:53 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi wajah pendidikan. (sumber: shutterstock)

Siang ini, saya memanjakan otak saya dengan menikmati berbagai tayangan youtube baik yang bersifat serius maupun entertaining untuk mengimbangi kelelahan otak saya yang sudah cukup terkuras.  

Tersadar belum memiliki satupun artikel populer terpublikasikan tahun ini di koran atau majalah memberi sebuah renungan, apakah karena terlalu serius pada tugas akademik. 

Saya tersadarkan bahwa menulis lalu mempublikasikannya membuat saya terhindar dari perasaan teralienasi dari komunitas atau masyarakat secara luas. Menulis akhirnya menjadi bentuk healing pada kesakitan atau kegelisahan yang kita rasakan.

Beberapa chating dengan para penulis dan para profesional senior membantu saya tetap pada track. Mas AE Priyono, penulis yang saya gandrungi memberi sebuah kalimat sakti, ketelitian memilih diksi adalah bentuk tanggungjawab seorang penulis.  

Satu kalimat ini selalu menjadi pengendali setiap saya menulis. Sapaan ringan tentang karya atau sekedar mengabarkan keadaan keluarga dari Pak Asep Sapaat, seorang penggerak pendidikan, membuat saya merasa beruntung berada pada jalur pendidikan. 

Mas G. R. Mukti W, profesional dari sebuah grup penggerak pendidikan, memberi harapan bahwa aktivis pembelajar boleh juga didedikasikan oleh profesional yang bidang geraknya cukup jauh dari dunia pendidikan. 

Masih banyak inspirator lain yang tidak mungkin saya sebut namanya dari berbagai grup penulis, penggerak pendidikan, penggerak literasi atau sekedar grup alumni apapun. Sebuah belieft dan hope saya dapatkan bahwa sebagai pendidik, saya akan baik-baik saja.

Namun hal ini tidak menghilangkan rasa sedih saya, saat menyadari ketidakmampuan saya membuat para murid paham bahwa pengalaman belajar sangat diperlukan agar mereka menjadi jiwa yang mandiri. 

Seorang guru "bule" dalam sebuah event desiminasi di sebuah kampus tempat saya pernah mengajar, keheranan saat melihat seorang guru di sebuah sekolah, memberi instruksi yang tidak jelas bagaimana sebuah tugas harus dikerjakan. 

Tertegun dengan keprihatinannya membuat saya sadar tentang tugas guru menciptakan inkubasi: memberi pemahaman tentang konsep, membuat perintah detail dan operasional, memberi template, memberi pengalaman bagaimana cara sebuah tugas dilakukan, menarik kesimpulan, dan melakukan refleksi.

Saya akan memberi gambaran sederhana untuk memperjelas apa yang saya sebut dengan rangkaian proses ini. Untuk memberi pemahaman tentang arti kata milenial, sebuah model assesment yang mungkin 'belum lazim' bagi pembelajaran konvensional, saya desain. 

Umumnya, sebuah ulangan (test) masih dikaitkan dengan sejumlah soal yang dipresentasikan pada sebuah kertas dalam bentuk soal pilihan ganda maupun soal uraian. Guru bahasa biasanya menggunakan teks yang ditulis dalam genre tertentu. 

Dalam kajian bahasa, teks saat ini diterjemahkan lebih luas sehingga sebuah tayangan video talkshow dari sebuah televisi terkategori sebagai sebuah teks. Sebuah video dengan tema milenial dipilih sebagai materi teks. 

Pertanyaan seperti, 'find 5 till 10 keywords related to the topic' setelah pertanyaan 'apa topik' dalam diskusi dalam video. Pertanyaan berikutnya adalah 'write a brief description and your opinion from the discussion' dapat dijawab dengan memanfaatkan android asal jawaban adalah dari bahasa mereka sendiri.

sumber: kimberlybrown22.wordpress.com
sumber: kimberlybrown22.wordpress.com
Dengan pola ini, terekam bagaimana nalar para murid bekerja. Dengan memberi sedikit kalimat menekan bahwa tidak ada karya yang sama meski hanya sebuah kalimat.  

Toleransi tidak diberikan baik bagi pemberi jawaban maupun penerima jawaban. Siswa yang biasanya menunggu jawaban terlihat serius mengerjakan pekerjaannya sendiri. Instrumen Moonlight Soneta karya Beethoven diputar saat murid menulis sehingga suasana tidak terlalu hening dan menegangkan.  

Dari tayangan video tentang pandangan orang terhadap kata milenial, murid tidak sekedar mengerjakan ulangan tetapi juga mengerti arti kata milenial, mengenali sifat dan karakter milenial (mengenal diri mereka sendiri). Mereka mendengarkan apa kata para pakar tentang diri mereka, sisi negatif mereka maupun sisi positif mereka. 

Sebuah video pendek berdurasi 6 menit interview milenial dan hasil pandangan ahli tentang sikap positif milenial ditambahkan sebagai referensi agar terlihat sisi positif para milenial dari sudut pandang milenial maupun sudut pandang pakar. Konsep diri positif akan terbentuk dari video tambahan ini.

Para guru dan pendidik yang suka membaca, menulis dan mengaplikasikan berbagai macam tulisan karya orang lain adalah sebuah harapan bagi pendidikan Indonesia. 

Saat sedang galau, terbayangkan bagaimana Kartini pasti sangat tersiksa dengan fenomena masyarakat saat itu. Saat melihat kebiasaan copy paste di berbagai WAG dilakukan para pendidik membuat saya merasakan mengapa Kartini memilih menuliskan perasaannya kepada sahabat Belandanya. Saat seseorang berada dalam kegalauan, menulis adalah media menyalurkan kegalauan.

Saya membayangkan murid yang frustasi karena tidak paham bagaimana mengerjakan sesuatu malah mendapatkan penghakiman yang membuat mereka semakin putus asa. 

Pola assesment dengan menggunakan video sebagai teks dengan tema tentang diri mereka sendiri adalah sebuah upaya agar mereka mengenal diri mereka dengan cara merefleksikan pemahaman melalui tulisan yang akan memerdekakan mereka. Apalagi mereka tahu bahwa karyanya akan dihargai tanpa takut pada penghakiman dan akan ada penghargaan sekecil apapun yang tertulis. 

Meminjam konsep tujuan humanisasi pendidikan yang memanusiakan oleh Paulo Freire, pendidikan itu berorientasi pada pengenalan realitas diri secara objektif maupun subyektif. Mengatakan milenial tidak punya kesopanan tidak membuat mereka tahu arti kata sopan, tetapi justru melebarkan gap.

Guru dari generasi apapun, akan menjadi penindas atau menjadi penyelamat bagi muridnya, bergantung dari seberapa kreatif dia mampu menciptakan inkubasi yang membuat muridnya mengenal dirinya. Where is your position, educators? I am standing for my pupils. 

'Layar Sentuh cafe', Ngaglik, Sleman
16 November 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun