Pancasila (1 Oktober) kemarin, kembali viral di berbagai media sosial, kisah pembicaraan informal antara Presiden Indonesia, Sukarno dengan Presiden Yugoslavia Josef Broz Tito terkait dengan Pancasila yang kita miliki sebagai dasar negara tercinta ini. Kira-kira beginilah kisah yang viral dan menjadi aktual kembali tersebut.Ceritanya, suatu saat Bung Karno pernah bertanya kepada Presiden Yugoslavia, Josef Broz Tito, yang kurang lebih beginilah pertanyaan berikut: "Tuan Tito, jika anda meninggal nanti, bagaimana nasib bangsa anda?"
Bertepatan dengan peringatan Hari KesaktianMendengar pertanyaan menggelitik tersebut, dengan bangga, Tito berkata, "Aku memiliki tentara-tentara yang berani dan tangguh untuk melindungi bangsa kami."
Dus, usai menjawab pertanyaan ini dengan jawaban yang menurutnya tepat, lalu Tito pun balik bertanya kepada Bung Karno, "Lalu bagaimana dengan negara anda, sahabatku?"
Â
Sembari menyunggingkan senyum dikulum, dengan tenang Bung Karno pun berkata, "Aku tidak khawatir, karena aku telah meninggali bangsaku dengan sebuah way of life, yaitu Pancasila."
Tanya jawab informal antara dua kepala negara yang bersahabat ini pun segera mendapatkan perhatian banyak kalangan intelektual, negarawan, akademisi, para pakar, pengamat, peneliti, ahli sejarah dan banyak lainnya.
Berdasarkan analisa para pakar kenegaraan serta menurut analisis para ahli sejarah di Serbia, sebenarnya di antara Indonesia dan Yugoslavia, yang paling berpotensi mengalami perpecahan atau mengalami disintegrasi berdasarkan data dan fakta-fakta yang dimiliki, seharusnya Indonesialah yang riskan tersebut.
Alasan rasional mereka memang sangat masuk logika. Jika dibandingkan secara apple to apple, Yugoslavia bisa dibilang memang jauh lebih beruntung dibandingkan Indonesia. Secara geografi dan demografi wilayah Yugoslavia tidak terpisah-pisah, seperti halnya pulau-pulau di nusantara dan tidak memiliki keberagaman etnis sebanyak yang ada di Indonesia.
Namun yang terjadi kemudian sangatlah bertolak belakang dari analisa yang diberikan. Pada akhirnya, bangsa Yugoslavia justru sekarang ini terpecah menjadi 7 (tujuh) negara-negara kecil seperti: Serbia, Kroasia, Bosnia, Slovenia, Montenegro, Kosovo dan Macedonia.
Perjalanan sejarah bangsa akhirnya memberikan jawabannya yang nyata. Ternyata, justru bangsa Indonesialah di atas kertas ringkih, tetapi justru yang lebih beruntung karena memiliki pegangan hidup yaitu Pancasila. Pancasila-lah yang mampu menjadi perekat dan pemersatu yang ampuh, yang menyatukan perbedaan penduduk Indonesia dengan keberagaman suku/golongan, agama, kepercayaan, adat istiadat, bahasa, budaya, dan dipisahkan banyak kondisi alam sebagai negara kepulauan.
Pancasila adalah the way of life yang dianugerahkah Tuhan kepada Indonesia. Pancasila bukanlah ciptaan tokoh-tokoh perumusnya, melainkan memang landasan bernegara yang sudah ada seiring dengan kelahiran Indonesia itu sendiri. tepat seperti yang ditegaskan Bung Karno, "Aku tidak mengatakan aku yang menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami tradisi-tradisi kami sendiri dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah".
Lalu, apakah eksistensi Pancasila sebagai "the way of life" masyarakat Indonesia ini masih bisa kokoh dan bertahan hingga sekarang? Hal inilah yang semestinya selalu bisa kita jaga tak perduli seberapa cepat perkembangan zaman yang terjadi, seberapa cepat perkembangan teknologi modern berhasil diciptakan, seberapa bebas teknologi informasi bisa mendisrupsi kehidupan sosial kita, dan seberapa besar tantangan yang mengancam persatuan dan kesatuan kita.
Harus kita sadari bahwa akhir-akhir ini, polarisasi sangat mengancam kehidupan masyarakat Indonesia karena kepentingan politik yang mewarnai. Jika dulu kita mengenal adanya Jong Java, Jong Celebes, Jong Borneo, Jong Ambon, Jong Sumatra, Jong Papua dan banyak jong lainya begitu bersemangat untuk menjaga persatuan di tengah perbedaan yang mereka miliki masing-masing, kenapa hal itu seperti tak bisa lagi di teladani?
Kenapa kini yang muncul adalah bong (cebong) dan drun (kadrun) dari beragam suku/golongan yang saling mencaci maki, saling menebar benci, saling mengumbar aib, dan banyak aksi negatif lainnya yang berpotensi mengadu domba, memecah belah, mencerai-beraikan persatuan yang sebelumnya mampu menyejukan masyarakat dalam kedamaian yang menenteramkan? Â
Padahal seharusnya harapan akan persatuan dan keutuhan bangsa adalah yang utama di atas segalanya. Jika kita kalah dalam percaturan politik, kita bisa mengulangnya dalam perjuangan pergelaran politik lima tahunan yang selalu kita gelar ulang. Jika kita kehilangan kebanggaan akan tokoh idola karena kekalahan yang kita alami saat ini, kita bisa kembali berjuang memenangkannya kembali di petarungan mendatang. Pun jika kita kehilangan uang hari ini, kita bisa mencarinya lagi di esok hari.
Namun sadarkah kita bahwa jika kita kehilangan negeri seperti halnya yang terjadi di Yugoslavia, kemana lagi kita akan bisa kembali mencarinya? Benar seperti pesan yang banyak diviralkan bertepatan dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila kemarin. Kalau kita kehilangan negeri, kita tak bisa lagi mencarinya. Pedihnya kehilangan negeri, atau kehilangan tanah air memang sama dengan kehilangan diri kita sendiri. Darah kita ada di sana, peluh, keringat, napas, jiwa, dan sejarah kita ada di negeri yang kita cintai ini. Di sana tempat lahir beta, di sana tempat nenek moyang kita disemayamkan, di sana tempat akhir menutup mata kita. Akankah kita rela kehilangan semua itu hanya demi ambisi yang sebenarnya bukan ambisi kita sendiri. Â
Mari, kita cintai negeri ini, kita jaga kedamaiannya, kita jaga dengan segenap jiwa raga dengan berhenti saling mencaci maki yang boleh jadi bukan untuk kepentingan kita sendiri. Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H