Kenapa kini yang muncul adalah bong (cebong) dan drun (kadrun) dari beragam suku/golongan yang saling mencaci maki, saling menebar benci, saling mengumbar aib, dan banyak aksi negatif lainnya yang berpotensi mengadu domba, memecah belah, mencerai-beraikan persatuan yang sebelumnya mampu menyejukan masyarakat dalam kedamaian yang menenteramkan? Â
Padahal seharusnya harapan akan persatuan dan keutuhan bangsa adalah yang utama di atas segalanya. Jika kita kalah dalam percaturan politik, kita bisa mengulangnya dalam perjuangan pergelaran politik lima tahunan yang selalu kita gelar ulang. Jika kita kehilangan kebanggaan akan tokoh idola karena kekalahan yang kita alami saat ini, kita bisa kembali berjuang memenangkannya kembali di petarungan mendatang. Pun jika kita kehilangan uang hari ini, kita bisa mencarinya lagi di esok hari.
Namun sadarkah kita bahwa jika kita kehilangan negeri seperti halnya yang terjadi di Yugoslavia, kemana lagi kita akan bisa kembali mencarinya? Benar seperti pesan yang banyak diviralkan bertepatan dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila kemarin. Kalau kita kehilangan negeri, kita tak bisa lagi mencarinya. Pedihnya kehilangan negeri, atau kehilangan tanah air memang sama dengan kehilangan diri kita sendiri. Darah kita ada di sana, peluh, keringat, napas, jiwa, dan sejarah kita ada di negeri yang kita cintai ini. Di sana tempat lahir beta, di sana tempat nenek moyang kita disemayamkan, di sana tempat akhir menutup mata kita. Akankah kita rela kehilangan semua itu hanya demi ambisi yang sebenarnya bukan ambisi kita sendiri. Â
Mari, kita cintai negeri ini, kita jaga kedamaiannya, kita jaga dengan segenap jiwa raga dengan berhenti saling mencaci maki yang boleh jadi bukan untuk kepentingan kita sendiri. Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H