Hari ini, matari sudah separuh perjalanan.  Sudah tiba saatnya makan siang. Dus Si Tansyah bergegas hendak membeli  makan siang di Warung Tegal Milenial (warteg Milen). Sebuah warung tegal modern yang dekorasinya sudah modern dan pakai AC yang lokasinya ada di pojokan perempatan jalan di simpang kota ini.Biar sekalian jalan karena jarak dari kos-kosan tidaklah dekat, maka Si Tansyah pun menawari kawan sekosnya, Lumintu, untuk nitip dibungkuskan sekalian.
"Aku mau beli makan di warteg milen, kamu mau ikut atau mau nitip aja Min?" tawarnya memberikan pilihan.
"Haduh lagi nanggung nih Tan. Lagian sepertinya korona naga-naganya makin ganas lagi ya, biar aman dan gak bikin kerumunan, aku nitip aja deh. Tapi pakai uangmu dulu sekalian ya," jawabnya sambil asik ngulik sangkar jangkrik makanan burung peliharaannya.
"Waduuuh kebiasaan nih. Udah nitip minta dibayarin lagi. Ntar abis itu lupa ngembaliin bayarannya," sambar Tansyah sambil bersiap-siap beranjak jalan.
"Kamu tuh ikhlas gak sih nawarin bantuan titipan? Kalau nggak ikhlas ya udah gak papa. Â Hehehehe pokonya, mau ikhlas nggak ikhlas yang penting nasi cincang sayur kacang persis sama kesukaanmu yah. Cuma jangan lupa, untuk aku yang pedesnya super ya!" cerocos Lumintu memaksa dan seperti gak mau tahu.
"Ok bos. Nggedobos!!!" ujar Tansyah sambil mendorong kepala Lumin yang makin mrenges cengengesan karena merasa bisa mengerjai teman akrabnya itu. Â
...
"Ini ya mas nasi bungkusnya. Yang pedes karetnya dua. Kalau yang sedeng yang ujung kertasnya disobek ya mas," jelas Pak Joko sambil memasukkan dua bungkus nasi ke dalam kantong plastik.
"Eh pak, nggak usah pakai kantong plastik pak!" sergah Tansyah menghentikan Pak Joko.
"Laaah bawamu gimana?"
"Tenang Pak. Aku bawa tas risikel dari rumah. Sengaja buat diet kantong plastik seperti kata orang-orang pinter itu pak."
"Heleh gayamu Tan? Wes rapopo. Gratis iki tas plastikke."
"Nggak pak. Pokoknya gak usah. Bawa plastik cuma 10 menit dari sini nyampe rumah. Sampai rumah langsung dibuang jadi sampah. Nasi bungkusnya paling gak sampai puluhan menit habis kita makan pak. Kantong plastiknya puluhan bahkan ratusan tahun gak hancur-hancur pak. Nah... mubazir kan pak?" jelas Tansyah panjang lebar.
Mendengar celoteh penjelasan Tansyah tersebut, Pak Joko pun hanya manggut-manggut entah mengerti atau enggak, seraya kembali mengeluarkan nasi bungkus pesanan Tansyah dari kantong platiknya.
"Yowes le. Pokokke bener kowe. Ini nasi bungkusmu," ujar Pak Joko sambil menyerahkan bungkusan nasi ke Tansyah, dan membuang kantong plastik yang tak jadi dipakainya ke tong sampah.
...
Tak sampai seperempat jam kemudian, Si Tansyah pun sampai rumah kos-kosannya. Terlihat Lumin kawannya masih asik mengulik burung-burung peliharaannya.
"Uwes dolanan manukke. Ayo kita makan dulu!" ajak Tansyah pada Lumin.
"Siap bos. Burung udah kenyang, sekarang saatnya juragan ikutan makan," jawab Lumin sambil segera bergegas mencuci tangan dan menyusul bergabung dengan Tansyah yang tengah mengeluarkan bungkusan nasi di meja makan.
"Punyaku yang mana? Ra lali tho. Aku tadi pesen yang pedesnya super," tanya Lumin sambil menimang-nimang dua nasi bungkus yang baru saya dikeluarkan Tansyah dari tas risikelnya.
"Yang karet dua. Kalau yang disobek punyaku yang pedesnya sedeng," jawab Tansyah sambil melipat dan menyimpan tas risikelnya. "Tapi gak tahu ya, bisa pedes banget atau enggak. Soale ngerti sendiri thot Harga cabe sekarang lagi tinggi di awang-awang," imbuhnya.
Lumin segera mengambil nasi bungkus berkaret dua yang jadi jatahnya dan bergegas membukanya di atas piring. Setelah nasi daging cincang bersambal kental terpampang gamblang, segera dia ambil handphone dan segera memotretnya. Cepret! Cepret!
"Weeesss... dasar kebiasaan warga +62. Lha wong cuma nasbung warteg aja kok pakai foto dan upload segala Min... min...," sindir Tansyah gemas.
Lumin dan segera menjawab. Setelah mematut-matut foto nasi bungkus yang diuploadnya di sosial media. Barulah dia menjawab sindiran Tansyah yang tertunda ditanggapi.
"Laaaah yo dirimu kie harus menyadari Tan. Yoiki sing disebut wong-wong pinter kae era disruption. Awake dewe alias kita iki yo harus adaptif ben ra ketinggalan zaman dan terlindas," jawab Lumin sok serius sambil mulai menjejalkan suapan nasi berdaging cincang ke mulutnya. "Kalau gak ikutan kita gak bisa eksis Tan," tambahnya dengan kata-kata yang kurang jelas karena mulut yang penuh.
"Hahahaha.. ya sudah. Sak karepmu Min. Monggo diterusken," ujar Tansyah mengalah sambil membuka nasi bungkusnya.
"Sik... sik... sik Tan," potong Lumin tiba-tiba. "Kok gak pedes ya? Ojo-ojo kliru ini nasimu Tan," cerocos Lumin mempertanyakan kebenaran petunjuk Tansyah tadi. "Ini yang berkaret dua yang super pedes tho?"
"Lha yo ora salah tho. Jelas kok petunjuk Pak Joko tadi."
"Coba aku cicipi sambelmu!" ujar Lumin sambil mencomot sambil di  nasi bungkung Tansyah tanpa meminta ijin.
"Dasar gaj duwe tatakrama kowe!" sergah Tansyah jengkel. "Piye...? Lebih pedas?"
"Waaah... punyamu lebih gak ada rasa cabenya. Luweh anyep!" ujar Lumin usai mencicipi sambel nasi bungkus Tansyah. "Waaah gak bener ini Pak Joko. Bakal aku komplain lewat twitter ini! Warteg Milen tak bisa menjaga kualitas sambelnya," lanjut Lumin gemas.
"Uwes, udah-udah. Gak sah macem-macem. Bahaya kuwi di sosial media. Bisa mencoreng nama baik warteg lumin kowe. Salah-salah awakmu iso dituntut Pak Joko mergo pencemaran nama baik mengko. Iso keno UU ITE nanti kamu!" cegah Tansyah mengingatkan.
Sesaat Lumin pun menghentikan kelincahan jempolnya yang tengah mengetik di hapenya. Sambil tersenyum Lumin pun menanggapi ucapan Tansyah.
"Tenang, aku kan bukan tokoh oposisi yang selalu mengkritik pemerintah Tan. Gak mungkin lah kena tuntunan dan dengan mudah dijerat pakai pasal-pasal UU ITE," ujar Lumin sambil menyeringai seakan-akan pendapatnya lebih kuat.
"Jangan seneng dan ngerasa aman dulu Min. Kamu kan juga bukan golongan mereka-mereka yang disebut-sebut BuzzeRp yang katanya sakti dan kebal hukum itu kan?" tandas Tansyah kembali mengingatkan.
"O... iya. Bener Tan. Bener," ujar Lumin mengiyakan ucapan Tansyah. "Udahlah, yang paling benar dan paling aman ya kita nggak usah main yang aneh-aneh di sosial media. Mau direvisi ataupun enggak UU ITE itu, yang penting aparat hukumnya adil dan nggak tebang pilih ya bro!" lanjutnya.
"Setuju Min," timpal Tasnyah. "Mau direvisi atau enggak. Yang penting adil. Mau UU ITE disebut memiliki pasal karet kita gak peduli. Yang kita peduli adalah pakai karet dua jika super pedas dan disobek jika sedang. Iyo tho Min?"
Akhirnya Tansyah dan Lumin lanjut melahap nasi bungkus daging cincang bersayur kacang dengan lahap, tanpa peduli lagi pada nasib dan kelanjutan UU ITE yang tengah menjadi trending topic sosial media hari itu. Perut kenyang, hatipun tenang. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H