"Heleh gayamu Tan? Wes rapopo. Gratis iki tas plastikke."
"Nggak pak. Pokoknya gak usah. Bawa plastik cuma 10 menit dari sini nyampe rumah. Sampai rumah langsung dibuang jadi sampah. Nasi bungkusnya paling gak sampai puluhan menit habis kita makan pak. Kantong plastiknya puluhan bahkan ratusan tahun gak hancur-hancur pak. Nah... mubazir kan pak?" jelas Tansyah panjang lebar.
Mendengar celoteh penjelasan Tansyah tersebut, Pak Joko pun hanya manggut-manggut entah mengerti atau enggak, seraya kembali mengeluarkan nasi bungkus pesanan Tansyah dari kantong platiknya.
"Yowes le. Pokokke bener kowe. Ini nasi bungkusmu," ujar Pak Joko sambil menyerahkan bungkusan nasi ke Tansyah, dan membuang kantong plastik yang tak jadi dipakainya ke tong sampah.
...
Tak sampai seperempat jam kemudian, Si Tansyah pun sampai rumah kos-kosannya. Terlihat Lumin kawannya masih asik mengulik burung-burung peliharaannya.
"Uwes dolanan manukke. Ayo kita makan dulu!" ajak Tansyah pada Lumin.
"Siap bos. Burung udah kenyang, sekarang saatnya juragan ikutan makan," jawab Lumin sambil segera bergegas mencuci tangan dan menyusul bergabung dengan Tansyah yang tengah mengeluarkan bungkusan nasi di meja makan.
"Punyaku yang mana? Ra lali tho. Aku tadi pesen yang pedesnya super," tanya Lumin sambil menimang-nimang dua nasi bungkus yang baru saya dikeluarkan Tansyah dari tas risikelnya.
"Yang karet dua. Kalau yang disobek punyaku yang pedesnya sedeng," jawab Tansyah sambil melipat dan menyimpan tas risikelnya. "Tapi gak tahu ya, bisa pedes banget atau enggak. Soale ngerti sendiri thot Harga cabe sekarang lagi tinggi di awang-awang," imbuhnya.
Lumin segera mengambil nasi bungkus berkaret dua yang jadi jatahnya dan bergegas membukanya di atas piring. Setelah nasi daging cincang bersambal kental terpampang gamblang, segera dia ambil handphone dan segera memotretnya. Cepret! Cepret!