Mohon tunggu...
Warisan Literasi Mama
Warisan Literasi Mama Mohon Tunggu... Freelancer - Meneruskan Warisan Budaya Literasi dan Intelektual Almarhumah Mama Rohmah Tercinta

Mama Rohmah Sugiarti adalah ex-writerpreneure, freelance writer, communications consultant, yogini, dan seorang ibu yang sholehah dan terbaik bagi kami anak-anaknya. Semoga Mama selalu disayang Allah. Alfatihah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sugeng Tindak, Pak Sapardi Djoko Damono, Tak Hanya Dukamu, Karyamu Abadi

19 Juli 2020   14:17 Diperbarui: 19 Juli 2020   15:11 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi beranjak siang, tiba-tiba sebuah kabar duka diberitakan oleh kawan-kawan melalui sosial media. Tak percaya kucoba memastikannya kepada mereka-mereka yang bisa dipercaya. Ternyata benar adanya.

Bahkan beberapa media yang semoat sekilas kubaca juga memberitakan hal yang sama.Sapardi Djoko Damono telah menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Eka Hospital, BSD, Tangerang Selatan, Minggu pukul 09.17 WIB.

"Telah meninggal dunia sastrawan besar Indonesia, Prof Dr Sapardi Djoko Damono di Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan pada hari ini," begitu  informasi yang kabarnya diterima oleh para kuli tinta, Minggu pagi, seperti yang salah satunya dikutip wartakota.tribunnews.com (19/7).

Jadi sudah benar-benar nyata, beliau Sapardi Djoko Damono, sang pujangga besar sastra Indonesia telah berpulang. Karena beliau merupakan sastrawan yang dilahirkan di Solo, pada 20 Maret 1940 lampau, makanya bolehlah kiranya jika aku mengucapkan,"Sugeng tindak Pak Sapardi. In shaa Allah husnul khotimah. Tidak hanya dukamu yang abadi dengan menjadi puisi, tapi karya-karya mu pun pastinya akan abadi bagi setiap generasi.

Kuharap bapak telah menemukan jawaban dari pertanyaan yang pernah bapak tuliskan pada puisi Bunga3: Melati dalam buku kumpulan puisi "Hujan Bulan juni", yang bapak akhiri dengan pertanyaan, "hai siapa gerangan yang membawa pergi jasadku?".

Bunga 3: Melati

seuntai kuntum melati yang di ranjang itu sudah berwarna
        coklat ketika tercium udara subuh dan terdengar
        ketukan di pintu
tak ada sahutan
seuntai kuntum melati itu sudah kering wanginya mengeras
        di empat penjuru dan menjelma kristal-kristal di udara
        ketika terdengar ada yang memaksa membuka pintu
lalu terdengar seperti gema "hai siapa gerangan yang
        membawa pergi jasadku?"

1975
Sapardi Djoko Damono
Buku: Hujan Bulan Juni
Penerbit: Grasindo

Memang jasad bapak akan dibawa pergi, dan nantinya tiada lagi di dunia ini. Namun aku yakin bapak akan tetap abadi. Benar seperti yang Pak Sapardi ungkapkan lewat puisi bahwa yang fana hanyalah waktu. Bapak bersama karya-karya bapak akan abadi di tengah-tengah kami.

YANG FANA ADALAH WAKTU

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu. Kita abadi.

1978
Buku: Hujan Bulan Juni (Grasindo -- 1994)
Karya: Sapardi Djoko Damono

Sekali lagi selamat jalan Pak Sapardi Djoko Damono, sugeng tindak menuju keabadian. Lagi-lagi seperti dalam puisimu, maafkan kita yang masih akan terus bercakap membicarakan puisi-puisimu yang akan terus kami baca sebagai pengisi jiwa kami. Meskipun para pengiring jenasah telah mengantarkanmu di liang lahat. Peristirahatan jasadmu yang tak abadi.

SAAT SEBELUM BERANGKAT

mengapa kita masih juga bercakap
hari hampir gelap
menyekap beribu kata di antara karangan bunga
di ruang semakin maya, dunia purnama

sampai tak ada yang sempat bertanya
mengapa musim tiba-tiba reda
kita di mana. Waktu seorang bertahan di sini
di luar para pengiring jenazah menanti

1967
Sapardi Djoko Damono
Buku: Hujan Bulan Juni

Sekarang sudah bulan Juli. Hujan pun jarang sekali menyambangi. Tentu saja berbeda dengan keindahan puisi-puisi yang kau tuliskan dalam "Hujan Bulan Juni, kepergianmu kali ini membuat kami benar-benar merasa bersedih. Biarlah hujan airmata di bulan Juli ini mengiringi kepergianmu dari kami. Karena engkaulah "Sang Hujan Bulan Juni" itu, sang pujangga sastra Indonesia. Tabik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun