Sosialisasi atas rencana penerapan "the new normal" oleh pemerintah pusat setelah selesainya pemberlakuaan PSBB dari pemerintah-pemerintah daerah dalam mengendalikan kecepatan penyebaran wabah virus Corona sekarang ini sepertinya sudah menyebar cepat ke segenap masyarakat.
Karenanya, meskipun pemerintah daerah masing-masing belum mengumumkan secara resmi adanya penerapan protokol "the new normal" tersebut di daerah-daerah mereka masing-masing, namun gegap gempita sambutan dan kegembiraan yang dipersiapkan masyarakat sudah terlihat di sana-sini.Di Jakarta, pada hari Jumat (4/6) yang notabene tepat dengan waktu terakhir pemberlakuan kebijakan PSBB, masyarakat spontan sudah berbondong-bondong mendatangi masjid-masjid jami dan mendirikan sholat Jumat berjamaah di sana.
Bahkan suasana unik, dimana terjadi sholat Jumat rasa sholat lebaran Idul Fitri karena barisan jamaah sampai membludak di jalan-jalan, terasa menggembirakan. Pasalnya membludaknya jamaah hingga di jalanan aspal tersebut terjadi karena para jamaah menerapkan salah satu protokol "new normal" yaitu menjaga jarak. Karena penerapan jaga jarak tersebut maka kapasitas masjid tak mencukupi hingga luber ke jalanan dan lokasi-lokasi yang kosong di sekitar masjid layaknya Sholat Idul Fitri di hari lebaran.
Selain mulai didirikannya kembali sholat berjamaah di masjid-masjid, indikasi penyambutan masyarakat atas berakhirnya PSBB dan beranjak ke protokol "new normal" tersebut juga ditandai dengan mulai ramainya penjual nasi uduk di gang-gang kampung di pagi hari.
Terasa pas sekali karena rencana penerapan protokol "new normal" tersebut bertepatan dengan telah berakhirnya puasa Ramadan dan lebaran Idul Fitri. Jadi, bersamaan dengan dibukanya portal-portal bertuliskan "Karantina Mandiri" yang menutup ujung-ujung gang serta jalan-jalan kampung di sini. Karena itu, begitu portal mulai dibuka kembali maka emak-emak penjual nasi uduk yang telah biasa meramaikan pagi segera beroperasi kembali.
Dagangan berupa penganan, jajanan, gorengan, kudapan dan kuliner produksi rumah tangga mulai nampak bergulir kembali meramaikan suasana pagi masyarakat yang sebelumnya berupaya keras menahan diri untuk berdiam di rumah-rumah masing-masing.
Meski masih ragu dan takut-takut karena membaca kurva perkembangan pasien positif covid-19 yang belum juga mencapai puncaknya hingga saat ini, aku pun tergoda untuk sedikit ikut menikmati suasana euforia ini. Dengan persiapan APD sesuai protokol kesehatan standar yang melengkapi diri, akupun nekat keluar rumah dan mencoba melihat-lihat keadaan lingkungan sekitar dengan ekstra hati-hati.
Sedia Kain Kafan Gratis
Selangkah dua langkah kaki melangkan, sekilo dua kilo kendaraan berjalan mengelilingi lingkungan sekawasan, aku melihat memang masyarakat memang menyambut rencana penerapan protokol "new normal" dengan gembira, bahkan gegap gempita dan cenderung seperti agak lupa bahwa bahaya sejatinya belum reda seperti yang diduga.
Bahkan aku pun ikut terbawa suasana menjadi agak lupa akan bahaya yang masih ada, sampai akhirnya di sebuah jalan kampung tetangga kutemukan sebuah spanduk di pagar sebuah rumah yang membuat mulutku ternganga.
Bagaimana tidak, sebuah spanduk sederhana namun sangat jelas terlihat berisi sebuah tulisan "Di Sini Tersedia Kain Kafan Gratis". Jujur saja spontan bulu kudukku berdiri karena merasa ngeri. Bagaimana tidak bergidik ngeri, jika di banyak posko, spanduk dan poster-poster yang bertebaran di pagar-pagar pinggir jalan lainnya yang ada adalah informasi mengenai pembagian bantuan sembako, bantuan APD, himbauan untuk melakukan protokol kesehatan untuk menjaga keselamatan, namun yang kutemukan ini adalah poster gratis kain kafan.Apalagi di tengah pandemi covid-19 ini selama #dirumahaja atau stay at home, kita banyak membaca, mendengar dan menonton berita tentang banyaknya korban--korban meninggal akibat keganasan virus corona tersebut, mendadak saya mendapatkan poster pembagian kain kafan gratis. "Meski gratis siapa yang mau?" begitu sekilas pikirku. "Buruan kabur dari sini ah. Ngeri," gumamku sambil bergegas pergi meninggalkan lokasi itu.
Sudah agak jauh aku meninggalkan lokasi poster itu. Namun, kata-kata yang tertulis dalam poster tersebut terus saja menggelayut di benakku. "Keterlaluan, dimana-mana trending sembako gratis dan aktivitas bansos lainnya kok ini malah gratis kain kafan," omelku dalam hati. Bukankah para korban meninggal akibat corona sudah diurus dengan baik oleh rumah sakit yang menanganinya. Bahkan siapa pun tak bisa merumatnya lagi. Semuanya sudah tuntas dari rumah sakit. Bahkan menghadiri penguburannya pun kita tidak bisa. Jadi korban Covid-19 tidak memerlukan kain kafan ini.
Mahalnya Meninggal di Jakarta
Mendadak aku tersadar. Ini bukan lagi tentang wabah corona. Berapa banyak korban meninggal karena wabah Corona? Tentunya masih lebih banyak warga yang meninggal karena sebab-sebab lainnya. Tentunya penggagas sumbangan gratis kain kafan tersebut tidak menyasar para korban wabah corona secara langsung. Bisa jadi mereka menyasar mereka-mereka yang tertimpa duka cita, dalam kondisi yang kesusahan atau miskin papa. Baik karena terdampak wabah corona maupun tidak.
Jadi, jika dipikirkan secara mendalam maka kita akan bisa mengerti bahwa bantuan berupa kain kafan gratis tersebut pastinya akan banyak yang membutuhkan. Orang meninggal harus diperlakukan dengan semestinya. Jenazah wajib dimandikan dan dikafani oleh kita umat muslim yang masih hidup. Jangan sampai karena ketidakmampuan duniawi, keluarga yang ditinggalkan tidak mampu membeli kain kafan. Karena itu pemberian bantuan kain kafan tersebut sangat masuk akal.
Bukankah kalau di kampung-kampung itu ada dana sosial gotong-royong dimana biasanya digunakan untuk kasus-kasus seperti itu? Boleh jadi bantuan dari gotong royong seperti itu bisa didapatkan oleh warga yang diperhitungkan keberadaannya. Bagaimana dengan warga-warga ilegal, warga tak beridentitas, warga kolong jembatan dan lain-lainnya yang keberadaan tidak dikenal bahkan tidak disadari oleh masyarakat sekitar. Tentunya bantuan-bantuan yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan untuk memuliakan jenazah memang dibutuhkan.
Terkait hal ini aku jadi teringat dengan apa yang dilakukan oleh penyayi gaek Dorce Gamalama beberapa waktu lalu. Sebagai kepedulian kepada masyarakat, Dorce memberikan bantuan sosial kepada masyarakat yang membutuhkan berupa layanan memandikan jenazah, memberikan kain kafan cuma-cuma hingga layanan penguburan gratis.
“Aku punya yayasan menyiapkan kain kafan, pemandian jenazah gratis. Jadi setiap bulan memang ada 4 sampai 5 orang yang nggak mampu untuk penguburan. Kalau aku nggak mikirin dunia, nggak ada, jauh,” terang Dorce seperti yang dikutip cumicumi.com (13/9/19) lampau.
Konon kepedulian Dorce tersebut dilandasi bahwa nanti dirinya setelah mati juga tidak tahu siapa yang akan memuliakan jenazahnya kelak jika dirinya meninggal.
“Iya, siapin saja. Kalian juga harus mempersiapkan. Saya juga nggak tahu siapa yang mandiin aku, nguburin aku, nggak tahu, kita sudah mati,” sambung Dorce bijak.
Jadi, meskipun terasa seram, namun bantuan sosial berupa kain kafan gratis ternyata tersebut sesungguhnya ada yang membutuhkan. Ternyata di kota-kota besar ini, masih banyak orang meninggal yang keluarganya yang ditinggalkan tidak mampu untuk merumatnya atau memuliakannya.Hanya saja karena kita baca di tengah suasana merebaknya pandemi Covid-19 yang mencekam karena adanya banyak korban, maka bantuan sosial ini terasa sangat menyeramkan.
Seperti sebuah peringatan terhadap warga masyarakat yang tengah mengalami euforia atas penerapan "The New Normal" bahwa ancaman virus corona yang mematikan masih mengancam. Mari kita kembali beraktivitas dan kembali produkif, namun Iingat jangan lupa diri. Jangan lupakan protokol yang mesti dijalani, atau bisa-bisa Anda akan membutuhkan kain kafan gratis yang ditawarkan. Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H