Dianggap telah kehilangan golden momen atau saat-saat terbaik untuk menghentikan serangan virus Corona atau Covid-19 di Indonesia, akhirnya pemerintah Indonesia memilih untuk berdamai dengan corona dan berencana untuk menerapkan protokol "New Normal" sesuai anjuran WHO dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.Pilihan penerapan protokol kehidupan "New Normal" tersebut dianggap pilihan paling rasional di tengah ancaman pandemi pengangguran dan krisis ekonomi karena penerapan alternatif-alternatif lainnya dalam pencekalan virus corona.
Keputusan untuk melakukan lockdown, karantina mandiri, isolasi, PSBB akhirnya dianggap kurang efektif dan beresiko besar terhadap mandegnya perekonomian sehingga mengancam terjadinya pandemi kemiskinan ang konon dianggap lebih membahayakan. Pun dengan harapan akan segera ditemukannya vaksin anti virus corona serta obat-obatan yang mujarab bagi pengobatan penyakit Covid-19 sepertinya masih tipis untuk segera ditemukan.
Berdasarkan hitung-hitungan ilmiah yang logis konon penelitian yang dilanjutkan penciptaan vaksin serta obat bagi Covid-19 tersebut paling cepat hanya bisa dilakukan dalam jangka waktu setahun ke depan. Â
Sedangkan untuk keselamatan perekonomian, dilihat dari berlakukan karantina dan PSBB yang telah dilaksanakan oleh beberapa daerah di Indonesia beberapa waktu kemarin, sepertinya sudah megap-megap dan diambang kejatuhan yang mengkhawatirkan. Gelombang PHK langsung menerjang dan kebangkrutan pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan tak bisa dihindarkan.
Akhirnya memang, mau tak mau solusi berdamai dengan corona dalam bentuk penerapan protokol kesehatan "New Normal" dalam menjalankan kehidupan sehari-hari memang harus dilakukan. Namun penerapan protokol "New Normal" tersebut memerlukan pemahaman yang luas serta kedisiplinan yang tegas, serta pengetahuan yang tuntas agar bisa berjalan dengan baik dan pas.
Ujung tombak dari protokoler "New Normal" tersebut adalah masyarakat itu sendiri yang semestinya sangat menyadari ancaman yang ada serta tindakan-tindakan yang harus dilakukan. Karena itu, sebagai awal istilah "New Normal" harus benar-benar dimengerti oleh seluruh masyarakat dari kalangan paling bawah hingga kalangan jetset.
bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia sehingga bisa dimengerti oleh setiap warga negara dengan baik. Apalagi "New Normal" tak bisa diterjemahkan mentah-mentah ke dalam bahasa Indonesia menjadi "Normal Baru".Istilah "Normal Baru" bisa dibilang cacat atau invalid dalam bahasa Indonesia karena kata "Normal" dalam bahasa Indonesia merupakan kata sifat. Berbeda dalam bahasa Inggris yang bisa berarti adjvetiva maupun nomina.
Pertama-tama yang diperlukan adalah adopsi istilah "New Normal" dariPakar bahasa Indonesia yang merupakan pendiri narabahasa, Ivan Lenin mengusulkan istilah "Kenormalan Baru" Â sebagai padanan pas dari "New Normal" tersebut.
Â
"Saya pakai "kenormalan baru" sebagai #padanan "new normal". "Normal baru" tidak dipakai karena "normal" dalam bahasa kita termasuk adjektiva, sedangkan dalam bahasa Inggris ia bunglon: bisa sebagai adjektiva; bisa pula sebagai nomina," usul Ivan Lenin seperti yang dipaparkannya melalui akun linkedin-nya.
Namun sebenarnya istilah "kenormalan baru" tersebut masih memiliki beberapa istilah pesaing yang mungkin bisa menyelam lebih dalam ke pemikiran warga masyarakat yang paling sederhana pengetahuannya.
Istilah tersebut yaitu "kewajaran baru" dan "kelaziman baru". Ketika wacana pencairan istilah yang pas ini dilemparkan ke khalayak via social media maka munculah istilah-istilah lainnya seperti kebiasaan baru, tatanan hidup baru/norma baru, normalitas baru, kelumrahan baru, atau normal yang baru.Kelaziman baru sebagai padanan dari "New Normal" telah dipilih oleh negara Malaysia. Lazim dianggap lebih bernuansa bahasa Melayu dibandingkan dengan normal. Hal tersebut nampak dari pidato yang diucapkan oleh Ketua Pengarah Kesihatan, Datuk Dr Noor Hisham Abdullah dikutip bharian.com."Kita perlu mengamalkan dan membudayakan kelaziman baharu dalam kehidupan seharian kita seperti penjarakan sosial, mengelak (mengadakan dan menyertai) perhimpunan, pastikan sentiasa basuh tangan dengan air dan sabun serta sangat digalakkan memakai penutup mulut dan hidung di tempat awam." ujar Ketua Pengarah Kesihatan, Datuk Dr Noor Hisham Abdullah dalam pidatonya tersebut.
Namun kelaziman tersebut dianggap kurang sesuai dengan bangsa Indonesia yang gemar dengan istilah plesetan. Pasalnya "Kelaziman Baru" riskan untuk diplesetkan menjadi "Kezaliman Baru". Daripada kelaziman sebenarnya kewajaran lebih cocok dengan bahasa Indonesia. Hanya saja baik istilah kelaziman maupun kewajaran bisa terasa terlalu jauh atau terdistorsi dari kata aslinya "New Normal".
Jika dipertimbangkan berdasarkan azas kepopuleran, maka sebenarnya istilah kewajaran bisa dianggap lebih populis dibandingkan kenormalan. Apalagi normal sendiri sebenarnya bukan istilah asli bahasa Indonesia. Tetapi berdasarkan pertimbangan kemudahan maka lembaga bahasa Indonesia bisa saja mengambil jalan pintas dengan mengadopsi, menyerap atau memasukkan istilah "New Normal" ke dalam kamus bahasa Indonesia.
Entah berdasarkan pertimbangan apa saja, yang jelas akhirnya pemerintah Indonesia telah menetapkan istilah "Kenormalan Baru" sebagai padanan dari "New Normal" yang dipakai secara resmi sekarang. Meskipun begitu, seperti biasanya istilah baku bahasa Indonesia selalu jarang digunakan oleh masyarakat.Yang banyak terjadi adalah masyarakat banyak yang tetap menggunakan "New Normal", atau malah memplesetkannya menjadi lebih gaul dan bernuansa milenial seperti "Nyu Normal" dan istilah-istilah generasi Z lainnya yang fun, nyleneh dan unik.
Biarlah berbagai macam istilah muncul sebagai padanan untuk "New Normal" tersebut. Yang terpenting adalah bukan istilah yang disukai oleh masyarakat atau pejabatnya, melainkan pemahaman dan pengetahuan atas istilah itu sendiri dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H