biskuit kaleng menjelang lebaran Idul Fitri selalu melonjak tajam. Pasalnya biskuit kaleng merupakan jajanan paling praktis yang efektif dan efisien sebagai persiapan untuk sajian tamu-tamu di saat lebaran.
PenjualanNamun ternyata lebaran Idul Fitri 1441 H kemarin lebih banyak berlangsung dalam kesenyapan.Â
Pasalnya masih terjadinya pandemi Covid-19 yang mengharuskan banyak daerah melakukan PSBB, gerakan #dirumahsaja atau Stay at Home bahkan gerakan "tutup pintu" untuk menghindari silaturahmi door to door, menjadikan rumah sepi-sepi saja.
Alhasil apakah penjualan biskuit kaleng tersebut menjadi terpuruk? Menurut pengakuan beberapa penjual memang pada lebaran 2020 kali ini, penjualan kue lebaran mereka turun bahkan sampai mencapai 50%. Bahkan beberapa penjual memilih untuk tidak lagi berjualan kali ini karena merasa khawatir penerapan PSBB akan membuat dirinya merugi.
Meskipun dikabarkan turun hingga 50%, produsen kue kaleng ternama tetap memproduksi dagangannya sebagai produk andalan untuk lebaran. Jika tidak untuk sajian di meja tamu, setidaknya produk kaleng kue lebaran tersebut masih dijadikan barang bingkisan (parcel), hadiah maupun hantaran. Setidaknya dengan kue kalengan, akan memudahkan pembeli dalam mengemas, membawa, menyimpan dan mengirimkannya.
Lalu ada pertanyaan lainnya, sebenarnya apa yang diincar para pembeli dari pembelian kue kalengan tersebut?Â
Apakah mengincar kalengnya, produk yang jadi isinya, atau keduanya?Â
Tentunya jawaban yang paling banyak ya mengincar keduanya. Baik isinya maupun kalengnya.Â
Apalagi membeli biskuit kalengan bisa meningkatkan prestise bagi pembelinya. Gengsinya menurut mereka berbeda jika hanya membeli produk-produk tersebut dalam bentuk bungkusan atau plastikan semata. Pun ketika disajikan.Penyajian dalam kaleng tentunya jauh lebih keren dari pada dalam box atau toples plastik.
Beruntunglah mereka yang membeli biskuit kalengan karena mengincar kalengnya semata. Berbeda nasibnya dengan mereka yang sebenarnya mementingkan isinya namun tergiur oleh daya pikat kalengnya.Â
Kenapa begitu? Pasalnya, baru-baru ini viral di kalangan netizen bahwa biskuit Oreo versi kalengan telah mengecewakan karena isinya mengejutkan. Mengejutkan di sini dalam arti tidak sesuai yang diperkiraan.Â
Bagaimana tidak, ternyata dibalik kalengnya yang cantik dan besar, ternyata tersimpan isi yang jauh lebih sedikit jumlahnya daripada yang diperkirakan.Â
Melalui sistem pengemasan yang unik dan cerdik, biskuit Oreo yang belum lama ini menjadi sensasi karena kolaborasinya dengan merek Supreme, berhasil menyiasati volume kaleng sehingga hanya berisi sedikit biskuit saja.
"Mending kita beli yang bungkusan aja," ujar seorang warganet yang kecewa dengan isi kaleng Oreo tersebut. "Itu sih intinya kita beli kalengnya. Kan lumayan nanti bisa diisi dengan rengginang seperti halnya yang terjadi pada Khong Guan," jawab warganet lainnya sambil mengirimkan emoticon tertawa ngakak.
Ternyata pengalaman warganet yang viral tersebut juga dialami penulis pada merek biskuit lainnya, yaitu biskuit "Selamat". Pada lebaran hari kedua, penulis mendapatkan bingkisan biskuit "Selamat" coklat sandwich kalengan dari kerabat dekat. Seperti halnya kaleng biskuit "Oreo", kaleng biskuit "Selamat" ini pun juga nampak cantik dan menarik jika dilihat kalengnya saja.
Bahkan biskuit ini mampu tetap cantik ketika kita buka dan lihat isi di dalamnya. Mereka mampu tampil tetap cantik dan artistik dalam menyiasati besarnya volume kaleng yang hanya terisi oleh biskuti yang kurang dari separuh volume kaleng tersebut. Adapun cara menyiasati isi kaleng tersebut, kurang lebih sangat mirip dengan yang dilakukan oleh Oreo. Melalui kerangka plastik yang memungkinkan biskuit tetata rapi dengan berbagai ruang kosong yang ada.
Apakah sistem pengemasan biskuit kaleng seperti itu memang merupakan trend atau strategi baru yang diterapkan oleh produsen kue kaleng dalam menyiasati ancaman kerugian akibat krisis yang disebabkan oleh Pandemi Covid-19 sekarang?
Dengan strategi menyiasati isi agar muat sedikit tersebut otomatis margin profit yang didapat produsen lebih tinggi sehingga bisa sedikit membantu mereka mendapatkan laba lebih besar guna mengatasi kerugian di saat pandemi sekarang.
Atau mungkin para produsen kue kaleng ini memang sengaja menjual kemasan dengan isi produk yang terbatas, agar kalengnya bisa segera digunakan. Artinya mereka memang sengaja hanya fokus menjual kalengnya saja dan isinya hanya sebagai pelengkap semata.Â
Bagaimana pun juga biaya produksi kaleng yang tentunya lebih tinggi dari kemasan bungkus karton, box atau plastik biasa, memang tentunya sangat mempengaruhi biaya produksi mereka.
Hanya saja produksi kue dalam kemasan kaleng tersebut memang harus terus dilakukan sebagai salah satu strategi membangun citra produk, prestise, media branding yang bisa menembus sudut-sudut rumah konsumennya.
Meskipun akhirnya nanti kaleng-kaleng produk mereka tersebut  isinya telah digantikan oleh kacang, rengginang dan jajanan homemade masyarakat lainnya, setidaknya branding di kaleng tersebut tetap selalu dipajang di meja-meja tamu dan dilihat oleh banyak orang.
Bagaimana menurut Anda sendiri? Silahkan tuliskan di kolom komentar jika ada pendapat lain yang bisa mencerahkan. Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H