Momentum pemberlakuan #NewNormal yang direncanakan oleh pemerintah dianggap terlalu terburu-buru tanpa mempertimbangkan data dan kurva korban covid-19 yang belum mencapai puncaknya. Momentum rencana pemberlakukan #NewNormal tersebut dianggap lebih mempertimbangkan usulan, keluhan atau desakan dari sisi pengusaha semata. Pemerintah dianggap hanya mengakomodir desakan dari kalangan pengusaha yang menyatakan tidak kuat bertahan jika karantina terus diterapkan hingga beberapa bulan mendatang.
Menurut kalangan ang menolak ini, seharusnya pemerintah memperhatikan data perkembangan korban covid-19 yang ada sekarang. Penerapan protokol kembali aktif dibawah payung #NewNormal tersebut harusnya dilakukan ketika kurva korban yang terinfeksi covid-19 sudah melampaui puncaknya, dalam arti sudah mulai menurun. Dengan begitu apa yang ingin dicapai dari strategi awal, yaitu pemberlakukan karantina (PSBB) telah menunjukkan hasil positif barulah dilanjutkan dengan strategi selanjutnya yaitu: protokol #NewNormal tersebut.
Selain momentum yang tepat, pemerintah harus mempertimbangkan kesiapan budaya yang ada dalam masyarakat. Peningkatan kedisiplinan, kepatuhan, kesabaran, ketenangan masyarakat dalam menjalani #NewNormal harus benar-benar disiapkan dengan matang terlebih dahulu.
Data di lapangan jelang Idul Fitri 1441 H kemarin, menunjukkan bahwa kesiapan budaya dan psikis masyarakat masih perlu dibina lebih dewasa. Euforia dan abainya masyarakat terhadap protokol kesehatan yang harus dijalankan masyarakat harus menjadi perhatian pemerintah dalam menerapkan #NewNormal tersebut.
Pemerintah perlu melakukan sosialisasi, kampanye edukasi, dan mekanisme transfer pemngetahuan yang lebih intensif dan masif agar pengetahuan masyarakat tentang #NewNormal tersebut benar-benar cukup dan mumpuni. Upaya-upaya simulasi, pelatihan, penyadaran, pembinaan, pengarahan dan media-media lainnya sebagai mekanisme pemerataan pengetahuan mengenai Covid-19 dan #NewNormal tersebut harus semakin ditingkatkan.
Jangan sampai pemberlakuan #NewNormal tersebut dianggap masyarakat sebagai lampu hijau bahwa Covid-19 sudah mulai bisa diatasi dan ditangani dengan baik. Akibatnya masyarakat bisa lupa diri dan mengabaikan protokol keselamatan yang harus ditaati. Tanpa edukasi yang cukup, #NewNormal bisa menjadi jebakan batman yang membuat banyak orang membahayakan dan menjerumuskan diri sendiri.
Sebenarnya tak ada yang bisa menolak bahwa strategi herd immunity (kekebalan komunitas) adalah strategi tercepat dalam mengatasi pandemi Covid-19 ini, sekaligus menjadi perekonomian tetap berjalan dengan normal. Namun harus disadari bahwa pemberlakuan herd immunity ini agak mengabaikan faktor kemanusiaan yang semestinya dijunjung tinggi.
Strategi herd immunity dengan payung #NewNormal tersebut ibarat hukum rimba dalam negara. Mereka yang kuat imunitasnya akan bertahan dan selamat, sedangkan mereka yang lemah akan punah. Mereka yang memiliki pengetahuan cukup akan mampu bertahan sedangkan mereka yang banyak tidak mengerti akan tertimpa tragedi. Siapa kuat, pintar dan siap maka akan selamat. Sebaliknya siapa lemah, tidak mengerti apa-apa dan tidak siap makan dia tak akan selamat. Nah inilah yang seharusnya menjadi tanggung jawab kemanusiaan dari pemerintah untuk melindungi golongan yang lemah ini.
Belajar atau Mengulang Sejarah
Mereka yang menolak pemberlakuan #NewNormal secepat yang direncanakan oleh pemerintahan Jokowi mencoba mengingatkan pemerintah untuk belajar dari sejarah. Mereka mengingatkan, bahwa salah satu contoh pandemi/wabah besar yang bisa menjadi referensi kasus Covid-19 saat ini adalah pandemi Flu Spanyol yang terjadi beberapa tahun lampau.
Pandemi Flu Spanyol yang terjadi pada tahun 1918 merupakan contoh wabah terbesar yang layak dijadikan acuan penanganan. Pandemi yang terjadi selama kurang lebih dua tahun tersebut konon berlangsung dalam tiga gelombang serangan. Tak kurang pada waktu itu jatuh korban sebesar 50-100 juta kematian dari sekitar kurang lebih 500 juta manusia yang terinfeksi.