Mudik adalah salah satu budaya penyerta lebaran yang telah mendarah daging bagi masyarakat Indonesia. Jika ungkapan dalam bahasa Perancis yang pernah diucapkan filsuf ternama yang legendaris, Descartes, "Cogito Ergo Sum" yang artinya "Aku Berpikir Maka Aku Ada", maka untuk mudik juga ada istilah adaptasinya yaitu: "Mudico Ergo Sum" yang artinya "Aku Mudik Maka Aku Ada"Ungkapan yang pertama klai dilontarkan oleh intelektual muda muslim Ulil Abshar Abdalla melalui cuitan di twitternya beberapa waktu lampau tersebut, seolah menunjukkan betapa penting dan bermaknana arti mudik bagi para perantau khususnya masyarakat Indonesia.
Konon sebagai sebuah tradisi, kekuatan emosional yang didapat dari mudik ini tidak bisa ditandingi dengan iming-iming apapun. Pun secara sosiologi, mudik dianggap sebagai salah satu cara ampuh untuk melakukan penemuan kembali ataupun penyegaran kembali jati diri seorang perantau yang sudah sekian lama tercerabut dari tanah asalnya.
Karena itulah segala upaya untuk menghentikan atau mengubah budaya mudik yang sudah seperti mendarah daging tersebut, diperlukan energi dan kerja keras yang tidak ringan. Kira-kira itulah yang harus dihadapi pemerintah sejak awal datangnya Ramadan 1441 hingga saat ini.
Mewabahnya virus corona yang tidak pernah diduga sebelumnya, telah membuat Indonesia kalang kabut dalam menanganinya. Kecepatan penularan dan penyebaran virus corona tersebut telah menyebabkan perlunya diterapkan protokol kesehatan yang ketat. Dan salah satunya adalah larangan mudik untuk lebaran sekarang ini. Pasalnya jika hal itu tidak dilakukan, maka puncak penyebaran dan penularan Covid-19 ini akan terjadi dengan berlangsungnya arus mudik lebaran tahun 2020 ini.
Karena itulah pemegang kekuasaan yaitu pemerintah harus menerapkan aturan tegas mengenai larangan mudik lebaran Idul Fitri 1441 H sekarang. Tentu saja hal ini bukanlah sesuatu yang gampang. Begitu larangan diberlakukan, berbagai macam komentar dan polemik mengenai hal tersebut banyak bermunculan. Bahkan keraguan juga muncul dari dalam pemerintahan itu sendiri. Ketidakkompakan pendapat antarpejabat pun kerap terjadi. Sampai-sampai Presiden Joko Widodo sendiri harus mengeluarkan wacana yang kontroversial mengenai mudik dan pulang kampung yang diyakininya sebagai sesuatu yang berbeda. Tidak sejalan dengan pendapat mayoritas masyarakat yang berpendapat bahwa itu merupakan hal yang sama.
Sebagai sebuah budaya dan tradisi yang sudah mendarah daging, tentu saja larangan untuk jangan mudik dulu tersebut terasa kontrasosial. Banyak kalangan masyarakat yang tidak mengindahkannya. Bahkan aturan laranngan mudik yang tegas pun, dibalas dengan upaya-upaya melanggarnya secara culas. Ada yang nekad mudik dengan bersembunyi di bagasi bus, ada yang memakai mobil derek, bahkan ada yang berjalan kaki untuk mengelabui barikade pengawasan aparat yang ketat.
Salah satu jalan terbaik untuk mengatasi hal ini adalah memberikan kesadaran tentang bahaya mudik di saat pandemi ccovid-19 ini, melalui edukasi dan sosialisasi pengetahuan tentangnya yang jelas dan gampang dimengerti. Dan kebetulan pemerintah sebenarnya memiliki waktu yang cukup panjang untuk melakukan hal tersebut.
Pandemi Covid-19 yang menimpa sebelum tibanya bulan Ramadan, memberikan banyak kesempatan bagi pemerintah untuk melakukan kampanye-kampanye penyadaran yang diperlukan. Salah satunya adalah melalui iklan layanan masyarakat (ILM) yang bisa ditayangkan melalui berbagai media yang ada. Baik media utama (mainstream), maupun melalui berbagai platform social media yang ada.
Dan pemerintah pun telah melakukan hal ini. Salah satu contohnya adalah serial iklan TV bertajuk "Nggak Mudik Asyik". Salah satu versi dari serial ILM "Nggak Mudik Asyik" ini menampilkan para menteri sebagai endorsernya. Diantaranya ada Menkominfo Johnny G Plate, Menlu Retno Marsudi, Menpora Zainudin Amali, Menaker Ida Fauziah, Menhub Budi Karya Sumadi, dan Kepala KSP Moeldoko.
Sedangkan versi pejabat pemerintahan lainnya ada salahs atu versi yang menampilkan kepala-kepala daerah (Kada) di Indonesia seperti: Gubernur Jabar Ridwan Kamil, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, dan Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto.
Yang lucu untuk versi Kepala daerah ini adalah absennya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam video tersebut. Tidak jelas apakah ini kesengajaan karena kesibukannya sehingga tak bisa ikutan, atau karena ada alasan politis lainnya entahlah.
Yang jelas kualitas video ILM "Nggak Mudik Asyik" versi Para Menteri Negara dan Kepala-kepala daerah ini bisa dibilang hancur sebagai produk sebuah iklan. Pasalnya dari sisi gambar, suara maupun musiknya bisa dibilang cukup memalukan dan memaksakan.
Lihat Bahasan Terkait: Standar Kerja Rendah Video Pemerintah
Memang dilihat dari target audience-nya yang notabene sebagian besar merupakan kalangan masyarakat akar rumput yang memerlukan penyadaran lebih banyak, ILM ini harus mampu tampil merakyat dan membumi. Namun sepertinya produser yang memimpin produksi ILM ini salah mengerti bahwa konsep merakyat, membumi dan alami atau apa adanya itu bukanlah eksekusi yang asal-asalan. ILM Â "Nggak Mudik Asyik" versi para menteri dan kada ini terasa sangat mentah dan amatir sekali.
Padahal kalau dilihat pada pendukung produksi yang dilansir di sekuel terakhir ILM ini, nampak ada stasiun TV Indosiar, SCTV, O Channel, dan platform social media Vidio. Kita tentunya sangat mengetahui bahwa sebagai stasiun TV swasta terkemuka di Indonesia, stasiun-stasiun TV tersebut memiliki sumber daya pendukung seperti studio rekaman maupun studio editing yang mumpuni. Karena itu meskipun perekaman video audio masing-masing endorser dilakukan di rumah masing-masing karena tidak mau melanggar protokoler WFH, seharusnya hasil mixing terakhir video iklan ini tidak ditanyangkan begitu saja.
Melihat hasil video yang kualitas seperti itu, maka yang dipertaruhkan adalah standar kualitas dari lembaga pemerintahan itu sendiri, termasuk pada menteri dan kada yang sepertinya tidak serius dalam menghimbau dan menyadarkan masyaraka untuk tidak mudik pada lebaran 2020 sekarang.
Apakah jebloknya kualitas video ILM ini dikarenakan penghematan biaya yang difokuskan untuk penanganan covid-19 dan bantuan sosial semata? Jika memang itu alasannya, maka harus disadari bahwa pembuatan materi-materi kampanye sosialisasi maupun edukasi untuk keperluan penyebaran pengetahuan dan penyadaran masyarakat terkait masalah-masalah krusial mengenai Covid-19 adalah salah satu unsur penting yang harus diutamakan dalam upaya melawan penyebaran covid-19. Pasalnya peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terkait apa yang harus dilakukan tersebut merupakan salah satu kunci kesuksesan penanganan Covid-19 itu sendiri.
Jika memang biaya yang menjadi alasannya, seharusnya institusi pemerintah mampu mengupayakan pencarian dana alternatif melalui sponsorship, penggalangan kerjasama dengan relawan yang profesional, maupun jalur-jalur dukungan alternatif lainnya. Jika Najwa Shihab dengan NarasiTV-nya, KompasTV, Platform KitaBisa.com, dan artis-artis lainnya bisa menggalang dana yang tidak sedikit, tentunya berbekal sedikit kreativitas saja, ILM "Nggak Mudik Asyik" ini bisa dicarikan dana atau bantuan tenaga profesional agar kualitasnya benar-benar disukai masyarakat.
Sebagai pembanding sederhana coba ketengahkan apa yang bisa dilakukan oleh komposer Eka Gustiawan misalnya. Eka Gustiawan yang dulu sempat beberapa kali membuat aransemen video mixing dari tokoh-tokoh terkenal menjadi musik dan lagu yang enak didengarkan tersebut sepertinya bisa diajak untuk membantu. Entah apakah hal ini sudah pernah diajukan atau belum yang jelas video ILM "Nggak Mudik Asyik" yang beredar sekarang jelas tidak ada sentuhan profesional yang menggarapnya.
Padahal dengan konsep yang kira-kira hampir sama, Eka Gustiawan dalam waktu yang hampir bersamaan telah berhasil membuat video musik "Jangan Mudik Dulu" yang dinyanyikan dalam 80 bahasa daerah dengan berkolaborasi dengan 118 peserta dari 102 wilayah seluruh Indonesia. Ucapan sebanyak 80 bahasa daerah itu, didapatkan Eka Gustiawan dari kiriman para relawan yang ada di berbagai daerah. Karena dilakukan oleh relawan maka dalam video garapannya tersebut masih ada kesalahan penulisan, pengucapan, bahasa dan nama kota.
"Btw harap diperhatikan juga, KOTA yang tertulis adalah kota asal tempat tinggal si peserta pengirim video, BUKAN asal bahasanya. Jadi jangan heran kalau ada kota Jakarta tapi bahasanya Minang, itu artinya barangkali sang peserta pengirim video sudah merantau ke Jakarta," jelas Eka Gustiawan dalam pengantar posting video tersebut di channel youtube resminya.
Namun meskipun sumbernya dari berbagai orang yang diambl secara random, ternyata hasilnya dari sisi aransemen musik, penyetaraan vokal dari orang yang beragam, mixing dan aransemen keseluruhan yang dilakukan, video musik garapan Eka ini sangat layak dan bahkan enak untuk didengarkan. Sangat berbeda jauh dengan ILM "Nggak Musik Asyik" versi para menteri dan Kada yang berantakan dan ambyar.
Apalagi jika dibandingkan dengan video-video kampanye #JanganMudikDulu versi simpatisan seperti karya Didi Kempot, Band Radja, dan lain-lainnya, bahkan versi Mbah Minto yang mampu mencuri perhatian banyak warga masyarakat dari berbagai kalangan.
Kegagalan ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk memberikan standar kualitas yang layak bagi kualitas kerja yang terkait dengan lembaga pemerintahan. Seharusnya dengan bekerja sama dengan para profesional pemerintah malah bisa membuka lapangan kerja di banyak orang kehilangan pekerjaan karena PHK.
Malah jika pemerintah sigap, melihat banyaknya waktu yang dimiliki saat dimulainya serangan wabah corona hingga datangnya masa-masa mudik lebaran 2020 kemarin, bisa saja pihak pemerintah menjadikannya sebagai lomba yang bisa memberikan peluang aktivitas positif, produktif dan kreatif bagi masyarakat di tengah keharusan untuk berhenti kerja atau bekerja dari rumah yang harus mereka lakukan.
Sekarang apa boleh buat, beras sudah menjadi ketupat. Lebaran benar-benar sudah dekat. Janganlah salahkan masyarakat jika himbauan para bapak dan ibu menteri, serta bapak dan ibu kepala daerah dalam kolaborasi nyanyian "Nggak Mudik Asyik" cuma sekedar numpang lewat tanpa ada pesan yang bisa melekat di hati dan pikiran mereka.
Setidaknya meski tak ada kesadaran yang didapat dari video himbauan para menteri dan kepala daerah di atas, masyarakat sudah cukup mendapatkan penyadaran yang menyenangkan dari video musik "Jangan Mudik Dulu" karya terakhir Didi Kempot, serta karya-karya kreatif kalangan non pemerintah lainnya, termasuk pesan Mbah Minto yang benar-benar menancap kuat di hati kita semua. Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H