Salah satu lawan kekhusyukan suasana ibadah bulan suci Ramadan adalah berisiknya bunyi berbagai jenis petasan mulai dari yang produksi rumahan sampai dengan yang pabrikan.Â
Tentu saja untuk petasan pabrikan makin ke sini makin banyak mendapatkan larangan, terutama dari kepolisian. Apalagi kasus kecelakaan akibat membuat atau bermain petasan pabrikan memang berbahaya dan seringkali menimbulkan kecelakaan yangn tragis bahkan mematikan.
Namun entah kenapa, aku selalu merindukan berisiknya dentuman petasan yang bersahut-sahutan, yang tak jarang disusul dampratan atau omelan orang-orang yang terkagetkan. Mungkin ini karena aku dilahirkan dan dibesarkan di perkampungan dengan komplek pesantren yang tidak mengharamkan petasan.
Di depan masjid pesantren yang dianggap sakral, --konon ceritanya dibangun pada zaman kehidupan wali songo, ada sebuah pekarangan yang cukup luas dan lapang. Laiknya masjid-masjid tradisional di zaman itu, masjid pesantren ini pun dilengkapi dengan dua buah blumbang tradisional yang diairi air bersih dari sumber mata air alami. Sehingga bisa dimanfaatkan para jamaah untuk bersuci dan berwudhu.
Sebagai peneduh alami, di pekarangan lapang itu dibiarkan tumbuh tiga pohon sawo manila yang sangat rindang, sebuah pohon buah mentega tua yang menjulang tinggi dan sebuah pohon buah Kepelan yang katanya sekarang sudah termasuk tanaman buah langka. Karenanya seringkali ada buah sawo manila matang yang jatuh karena hembusan angin kencang atau tersenggol tupai maupun burung-burung blekok yang pulang ke sarangnya setelah seharian berkelana mencari makan.
Rupanya karena besar dan rindangnya pohon sawo manila tersebut, setiap sore sehabis Ashar atau menjelang Maghrib kanopi pohon sawo yang didukung hijaunya tanaman lain di komplek pesantren tersebut, disukai oleh burung-burung blekok untuk bersarang. Mungkin jumlahnya mencapai ratusan bahkan ribuan. Ketika mereka datang dan pergi saat pagi dan petang, kepak sayapnya bergemuruh tak karuan.Â
Pemandangan Langit di sela pepohonan nampak seperti diserang burung ababil yang didongengkan ustadz mengaji kami.Sayangnya tanah di bawah pepohonan jadi banyak diwarnai bercak-bercak putih kotoran burung-burung blekok tersebut. Baunya agak amis dan anyir meskipun cepat hilang tertiup angin segar dari pepohonan.Â
Anehnya, meskipun jumlahnya ratusan, kotoran burung blekok itu jarang jatuh mengenai jamaah yang hendak beribadah di masjid. Hanya kadang-kadang ada orang yang sedang sial atau memang karena ada burung blekok yang nakal, tiba-tiba ada kotoran yang menimpa tubuh atau kepala ketika lewat di pekarangan itu."Pluk," begitulah bunyi kotoran burung yang tahun mengenai badan.Â
Namun tak terdengar sumpah serapah. Melainkan sekedar gerutuan kecil yang mungkin untuk mengalihkan emosi. "Ah gapapa. Kena kotoran adalah petanda akan dapat rejeki tak diduga!" ujarnya membesarkan hati. Memang orang-orang tua dulu sering mengatakan bahwa terkena kotoran merupakan petanda akan mendapatkan rejeki. Entah, apakah itu benar atau itu hanya sebagai strategi untuk menyabarkan diri, yang jelas banyak dari kami yang mempercayai. Â
Berbeda dengan pohon sawo manila, pohon mentega tak banyak dihinggapi burung-burung blekok untuk bersarang. Mungkin karena daunnya yang lebar-lebar dan batangnya yang kekar, membuat burung blekok tidak nyaman untuk hinggap di atasnya. Binatang yang senang menyambangi pohon mentega adalah tupai dan lelawa.Â
Tupai atau yang lebih akrab disebut orang-orang di sini sebagai bajing tersebut, suka datang ketika subuh dan petang. Tidak untuk bersarang namun sekedar berburu sedapnya buah mentega yang lezat dan terasa lembut jika sudah matang. Pun dengan kalong dan lelawa yang juga datang di waktu malam. Sama-sama datang untuk mencari buah mentega matang yang mereka rindukan.
Usai sholat subuh, biasanya bocah-bocah suka "ngluru" --mencari buah jatuh, sisa kalong, lelawa maupun codot. Pasalnya binatang-binatang itu, biasanya tak bisa menghabiskan buah matang yang mereka dapatkan. Selalu saja buah-buah itu terjatuh sebelum sempat mereka habiskan. Seringkali baru mereka makan kurang dari separuh. Mungkin karena matang, tangkai buah itu tak kokoh lagi.Â
Akibatnya selalu jatuh ketika binatang-binatang itu berusaha menikmatinya.Buah jatuhan sisa kalong, lelawa ataupun codot, dipastikan memiliki kelezatan yang maksimal. Sebab, binatang-binatang itu terkenal memiliki indra penciuman yang tajam, sehingga ahli menemukan buah-buahan yang benar-benar telah matang di pohon dengan sempurna. Tak heran bocah-bocah selalu kegirangan dan berebut cepat agar berhasil menemukannya.
Namun keasyikan di pekarangan depan masjid ini berbeda dari biasanya ketika Ramadan tiba. Lokasi itu, jadi ajang menyalakan petasan dan kembang api. Biasanya ramai setelah sholat tarawih dan setelah sholat shubuh berjamaah. Biasanya para pemuda dan remaja menyalakan mercon pabrikan yang dianggap berbahaya. Sedangkan bocah-bocah dan anak balita menyalakan petasan karbit dan petasan dari busi, dop pentil ban maupun jeruji bekas sepeda dan motor.
Tentu saja  suara ledakan dan dentumannya sangat beragam. Seperti kencaduan, setiap hari selama Ramadan berjalan, permainan itu selalu diulang-ulang. Apalagi pak Kyai dan para ustadz tidak pernah melarang apalagi mengharamkan. Pak Kyai malah melarang serpihan-sepihan bekas petasan pabrikan yang berserakan untuk dibersihkan. Akibatnya pekarangan bawah pohon sawo manila itu pun penuh dengan serpihan-serpihan kertas yang berhamburan dan menumpuk mengalahkan jumlah dedaunan kuning dan kering yang jauh dari pepohonan.
"Biarlah itu menjadi petanda ini bulan Ramadan. Bulan kegembiraan bahwa pahala ibadah kita tengah dilipatgandakan. Nanti setelah sholat Idul Fitri barulah serpihan-serpihan itu kita bersihkan. Seperti bersihnya hati kita yang telah sebulan dibersihkan oleh ibadah puasa yang kita tunaikan," begitu wejangan Pak Kyai menjawab pertanyaan orang-orang yang heran melihat pekarangan masjid tidak dibersihkan.
Kini aku di perantauan. Kenangan Ramadan yang berisik namun asyik itu hanyalah tinggal kenangan. Bukan karena aku jauh dari kampungku, tapi karena kudengar tradisi itu tak lagi dilakukan. Pesantren tradisional yang ada di kampungku tersebut kini telah menjadi pesantren modern.Â
Pembangunan telah membuat kampungku maju dan berkembang. Bocah-bocah tak lagi mau bermain mercon (long) pendem, mercon bumbung (meriam bambu), petasan busi dan jeruji maupun petasan-petasan tradisional lainnya. Kini bocah-bocah kampung pun lebih asyik bermain handphone dan gadget lainnya. Ramadan jadi lebih tenang dan lengang, meskipun belum tentu lebih khusyu maupun tumaninah.
Apalagi Ramadan kali ini wabah virus Corona tengah melanda. Seperti daerah-daerah lainnya, kampungku pun harus melaksanakan karantina. Saat ini pesantren tengah diliburkan dan santri-santri dipulangkan untuk sementara. Kudengar dari telepon dengan bapak, meski tak dilarang untuk menggelar sholat berjamaah, Ramadan kali ini terasa sangat berbeda. Terasa sepi bahkan sampai di lubuk hati. Semoga saja negeri ini segera terbebas dari pandemi ini. Tabik. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H