Usai sholat subuh, biasanya bocah-bocah suka "ngluru" --mencari buah jatuh, sisa kalong, lelawa maupun codot. Pasalnya binatang-binatang itu, biasanya tak bisa menghabiskan buah matang yang mereka dapatkan. Selalu saja buah-buah itu terjatuh sebelum sempat mereka habiskan. Seringkali baru mereka makan kurang dari separuh. Mungkin karena matang, tangkai buah itu tak kokoh lagi.Â
Akibatnya selalu jatuh ketika binatang-binatang itu berusaha menikmatinya.Buah jatuhan sisa kalong, lelawa ataupun codot, dipastikan memiliki kelezatan yang maksimal. Sebab, binatang-binatang itu terkenal memiliki indra penciuman yang tajam, sehingga ahli menemukan buah-buahan yang benar-benar telah matang di pohon dengan sempurna. Tak heran bocah-bocah selalu kegirangan dan berebut cepat agar berhasil menemukannya.
Namun keasyikan di pekarangan depan masjid ini berbeda dari biasanya ketika Ramadan tiba. Lokasi itu, jadi ajang menyalakan petasan dan kembang api. Biasanya ramai setelah sholat tarawih dan setelah sholat shubuh berjamaah. Biasanya para pemuda dan remaja menyalakan mercon pabrikan yang dianggap berbahaya. Sedangkan bocah-bocah dan anak balita menyalakan petasan karbit dan petasan dari busi, dop pentil ban maupun jeruji bekas sepeda dan motor.
Tentu saja  suara ledakan dan dentumannya sangat beragam. Seperti kencaduan, setiap hari selama Ramadan berjalan, permainan itu selalu diulang-ulang. Apalagi pak Kyai dan para ustadz tidak pernah melarang apalagi mengharamkan. Pak Kyai malah melarang serpihan-sepihan bekas petasan pabrikan yang berserakan untuk dibersihkan. Akibatnya pekarangan bawah pohon sawo manila itu pun penuh dengan serpihan-serpihan kertas yang berhamburan dan menumpuk mengalahkan jumlah dedaunan kuning dan kering yang jauh dari pepohonan.
"Biarlah itu menjadi petanda ini bulan Ramadan. Bulan kegembiraan bahwa pahala ibadah kita tengah dilipatgandakan. Nanti setelah sholat Idul Fitri barulah serpihan-serpihan itu kita bersihkan. Seperti bersihnya hati kita yang telah sebulan dibersihkan oleh ibadah puasa yang kita tunaikan," begitu wejangan Pak Kyai menjawab pertanyaan orang-orang yang heran melihat pekarangan masjid tidak dibersihkan.
Kini aku di perantauan. Kenangan Ramadan yang berisik namun asyik itu hanyalah tinggal kenangan. Bukan karena aku jauh dari kampungku, tapi karena kudengar tradisi itu tak lagi dilakukan. Pesantren tradisional yang ada di kampungku tersebut kini telah menjadi pesantren modern.Â
Pembangunan telah membuat kampungku maju dan berkembang. Bocah-bocah tak lagi mau bermain mercon (long) pendem, mercon bumbung (meriam bambu), petasan busi dan jeruji maupun petasan-petasan tradisional lainnya. Kini bocah-bocah kampung pun lebih asyik bermain handphone dan gadget lainnya. Ramadan jadi lebih tenang dan lengang, meskipun belum tentu lebih khusyu maupun tumaninah.
Apalagi Ramadan kali ini wabah virus Corona tengah melanda. Seperti daerah-daerah lainnya, kampungku pun harus melaksanakan karantina. Saat ini pesantren tengah diliburkan dan santri-santri dipulangkan untuk sementara. Kudengar dari telepon dengan bapak, meski tak dilarang untuk menggelar sholat berjamaah, Ramadan kali ini terasa sangat berbeda. Terasa sepi bahkan sampai di lubuk hati. Semoga saja negeri ini segera terbebas dari pandemi ini. Tabik. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H