Lagi-lagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) melontarkan diksi aktual yang terasa agak out of the box sehingga segera menjadi tren aktual pembicaraan warga masyarakat di media sosial.
Setelah sebelumnya sempat membuat heboh publik dengan pernyataan yang membingungkan bahwa mudik itu berbeda dengan pulang kampung, kali ini Presiden Jokowi kembali melemparkan istilah sensasional yang masih terkait dengan permasalahan lebaran.
Masih berkaitan dengan kebijakan pemerintah terkait penanganan wabah corona atau pandemi Covid-19, melalui unggahan video di akun resmi sosial medianya, Presiden Jokowi menghimbau agar perantau yang tidak bisa pulang kampung bisa melakukan mudik digital.
Apa itu mudik digital? Dijelaskannya mudik digital yaitu aktivitas silaturahim yang dilakukan via panggilan video bersama keluarga.
"Dengan bersabar menahan rindu di perantauan, kita telah mengambil peran dalam memutus rantai penyebaran virus Covid-19," jelas Presiden Jokowi dalam video unggahannya tersebut.
Lalu apakah yang baru dari himbauan mudik digital yang dilontarkan Presiden Jokowi tersebut? Secara esensi tak ada yang baru dan unik dari himbauan tersebut kecuali adanya istilah baru yang terasa lebih milenial, modern dan aktual semata.Â
Apalagi istilah tersebut dilontarkan oleh seorang bertaraf Presiden yang notabene merupakan pemimpin tertinggi sebuah negara.
Dus istilah yang dilontarkan Presiden Jokowi tersebut seolah menjadi sebuah rencana program nasional yang bisa dilaksanakan oleh seluruh warga negara yang taat dan patuh pada pemimpin mereka.
Namun pada dasarnya kalau sekadar silaturahmi digital semata, himbauan mudik digital tersebut sebenarnya sudah dilakukan oleh khalayak sejak dulu dan sekarang-sekarang ini.
Semenjak makin berkembangnya sosial media, masyarakat urban (perantauan) dan masyarakat rural (kampung halaman) sudah mulai marak terkoneksi secara digital.
Apalagi ketika infrastruktur digital sudah semakin baik jangkauannya sehingga jaringan operator telekomunikasi bisa menjangkau daerah-daerah terpencil maka silaturahmi digital tersebut sudah umum dilakukan.
Aktivitas tersebut meningkat semakin intens ketika kebijakan karantina untuk mencegah penyebaran dan menghentikan penularan Covid-19 diterapkan oleh pemerintah daerah.
Jadi tanpa menunggu datangnya lebaran, masyarakat telah melakukan komunikasi atau yang disebut silaturahmi digital tersebut sesuai kebutuhan mereka masing-masing.
Seharusnya Presiden Jokowi memberikan nilai tambah dari istilah mudik digital yang dilontarkannya tersebut dari sekadar silaturahmi digital yang sudah umum dilakukan masyarakat.
Misalnya sebagai saran diberikan instruksi kepada pemerintah daerah agar menggerakkan aparatnya untuk membantu masyarakat buta digital agar bisa melakukan silaturahmi dengan kerabat di perantauan saat lebaran nanti.
Sebab, harus diakui bahwa salah satu kendala silaturahmi digital tersebut adalah masih banyaknya masyarakat desa khususnya yang tua-tua yang benar-benar buta digital alias gaptek, sekaligus sudah susah untuk belajar mengejar ketertinggalan digital mereka.Â
Sebab itulah perlu dipikirkan bantuan seperti apa yang bisa diberikan pada mereka jika kerabat perantauannya ingin melakukan mudik digital.
Mungkin bisa dibentuk call center bantuan mudik digital yang salah satu tugasnya adalah mengupayakan agar kerabat di perantauan dengan keluarga di kampung halaman bisa terhubungkan meskipun terkendala kemampuan dan pengetahuan komunikasi digital.
Terkait masalah teknis terkait masih adanya kesenjangan pengetahuan digital di atas, mungkin pemerintah pusat dan daerah bisa mengupayakan terjaminnya infrastruktur digital seperti kekuatan jaringan sinyal telekomunikasi digital yang dibutuhkan.
Bisa juga diwujudkan bantuan-bantuan wifi gratis di daerah-daerah rural yang dianggap masyarakatnya kurang mampu untuk memenuhi kebutuhan belanja fasilitas digital yang diperlukan.
Tentu saja hal-hal di atas hanyalah sekadar sumbang saran dan pemikiran. Semoga saja lontaran diksi "mudik digital" yang dinyatakan Presiden Jokowi bukan sekadar lontaran kata-kata aktual, yang terasa seksi ketika didengarkan dan dituliskan, tetapi kosong melompong dalam penerapan pada kehidupan yang nyata. Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H