Sontak video ini pun juga viral. Warganet yang tersentil rasa penasaran dan kemarahannya, segera berbondong-bondong mencari dan melihat video yang diunggah Ferdian. Ferdian makin bersuka cita karena berhasil mendapatkan apa yang memang diharapkan. Tak perduli hujatan ataupun dukungan yang terpenting baginya adalah melejitnya jumlah viewer dan subscriber yang berkaitan dengan monetisasi yang akan didapatkan.
Sampai akhirnya kemarahan masyarakat mengancam keamanan dirinya dan kasusnya meningkat menjadi kasus hukum di aparat kepolisian, Ferdian Paleka tetap gigih berusaha menjadikan hal itu sebagai strategi meningkatkan performa akun sosmed yang dimilikinya. Ferdian buron dan menjadi target pengejaran dan penangkapan oleh pihak kepolisian.
Namun bukannya segera bertobat dan menyerahkan diri ke polisi, Ferdian justru terus berusaha menjadi momen genting ini sebagai pundi pendongkrak monetisasi yang diharapkan. Dalam persembunyiannya Ferdian kembali mengunggah pernyataan bahwa dirinya ingin menyerahkan diri kepada polisi dan benar-benar mau melakukan penyerahan diri tersebut dengan persyaratan jika followernya telah mencapai angka 30 ribu follower."Gw bukan pansos atau apapun itu, gw bener2 lagi down sekarang dan gatau harus berbuat apa. Intinya tembus 30k followers gw bakal langsung nyerahin diri ke kepolisian," tulisnya seperti dikutip wartaekonomi.co.id (5/5/2020).
Sungguh hal ini merupakan bukti bagaimana monetisasi sosial media terkadang membuat orang nekat melakukan apa saja demi memperoleh apa yang diharapkannya.
konten negatif yang berjibaku seperti ini hanyalah mengaplikasikan "Stop making stupid people famous" secara serius. Artinya abaikan saja. Lawan rasa penasaran, jangan dilihat apalagi diviralkan dalam bentuk apapun.
Sebenarnya platform sosial medianya sendiri sudah memiliki mekanisme pelaporan untuk menghentikan anomali atau penyelewengan konten media sosial seperti ini. Bisa melalui evaluasi tim internal mereka sendiri, namun lebih sering melalui mekanisme pelaporan dari para penggunanya melalui form yang telah disediakan. Namun entah mengapa mekanisme ini agak jarang bisa terlaksanakan kecuali pada kasus-kasus politik yang mempunyai basis massa kolosal yang siap beramai-ramai mengadu secara berjamaah.Yang terjadi justru banyak penumpang gelap atau mereka-mereka yang mengail di air keruh demi memperbesar keuntungan pribadi. Cara melawan konten-Lihat saja yang terjadi, begitu kasus Ferdian mencuat, justru banyak para pemain sosial media yang memanfaatkannya dengan ikut mencari viewer, follower dan subscriber dengan memviralkan video tak etis yang dibuat Ferdian dengan sentuhan-sentuhan tambahan untuk menyamarkan. Misalnya mengemasnya sebagai konten berita, komentar, tanggapan, kritik, dan banyak kreativitas lainnya yang ujung-ujungnya tetap memanfaatkan video Ferdian sebagai alat untuk meningkatkan performa akunnya.
Bahkan ketika video milik Ferdian yang menjadi sumber permasalahan dihapus, malah banyak akun-akun sosmed lainnya yang melakukan unggah ulang (reupload) untuk memanfaatkan godaan penasaran orang-orang yang belum sempat melihatnya agar meramaikan akun mereka.Inilah darurat sosmed yang harus kita perhatikan. Intinya cukup berhenti di kita. Cukup adalah cukup. Stop. Hentikan memviralkan video tersebut dalam bentuk modifikasi apa pun. "Stop making stupid famous." Artinya cukup laporkan ke platform yang bersangkutan, itu saja. Jangan bicarakan, komentari, gosipkan, beritakan, bahkan unggah ulang video yang bersangkutan. Lawan dengan keacuhan. Apalagi jika polisi sudah turun tangan. Ayo sama-sama kita lakukan.
Loh bukankah tulisan ini juga turut membantu kepopuleran kasus Ferdian? Apa boleh buat, ini memang cara terbaik untuk mengingatkan. Jika tulisan ini bisa dimengerti, maka selanjutnya lupakan. Kurang lebihnya mohon dimaafkan. Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H