"Janganlah menasehati orang yang bodoh karena dia akan membencimu. Nasehatilah orang yang berakal karena dia akan mencintaimu " -Khalifah Ali bin Abi Thalib
Slogan "Stop Making Stupid People Famous" yang pertama kali dipopulerkan oleh seniman jalanan kota Los Angeles, Plastic Jesus (PJ) pada tahun 2013 itu, tak terasa sudah 7 tahun digaungkan oleh banyak kalangan. Boleh dikatakan hampir semua orang setuju dan sependapat dengan pesan yang dilontarkan tersebut. Namun lucunya, meski dibenarkan, disetujui, didukung dan juga diviralkan oleh banyak kalangan, pesan slogan ini seperti tak berkutik mebghadapi budaya milenial terutama tren yang terjadi di media sosial.
Setelah sebelumnya kasus yang mengindikasikan "Making Stupid People Famous" tersebut banyak dilakukan oleh media-media mainstream, yang terutama dilakukan oleh korporasi, maka yang terjadi sekarang ini menjadi lebih mengerikan lagi. Pelaku "Making Stupid People Famous" terus beregenerasi dan berekspansi dari korporasi menjadi individual-individual yang menjadi sensasi dan kekayaan diri.
Begitu banyak platform media sosial yang mulai memberikan monetisasi atas konten-konten yang dirilis akun penggunanya, maka kasus aksi-aksi kebodohan yang bertujuan sekedar mencari sensasi, mencari penonton (viewer), pengikut (follower) dan pelanggan (subscriber) pun marak dilakukan. Aksi-aksi bodoh pencari sensasi seperti prank (jebakan yang mempermalukan atau melecehkan), drama kebohongan untuk mencuri perhatian terus-terusan bermunculan dengan tujuan mencari monetisasi maupun kepopuleran.
Seperti halnya aksi "jibaku" para pelaku berani melakukan hal-hal yang mengandung resiko tinggi, seperti merusak atau membunuh citra diri atau orang lain, demi mendapatkan target viewer, follower atau pun subscriber yang diharapkan untuk memenuhi persyaratan monetisasi yang ditentukan. Gak papa cemar, gak papa dipermalukan, gak papa dihujat, gak papa dibenci, nanti kalau sudah memenuhi target monetisasi bisa bertobat dan baru bikin konten yang baik dan benar. Bersakit-sakit dahulu, panen doku kemudian. Itulah kira-kira semboyan mereka atas kelakuan yang mereka jalankan.
Contoh yang paling aktual adalah apa yang dilakukan oleh seorang youtuber bernama Ferdian Paleka. Memanfaatkan kondisi akibat pandemi Covid-19 yang sekarang tengah mencekam, dia membuat video prank berupa pemberian bantuan sembako yang isinya sampah dan batu-batuan. Tentu saja banyak korban yang dengan mudah termakan jebakan yang dilakukan, karena kondisi tengah memprihatinkan dan pemberian bantuan sembako tengah menjadi hal ayng galib dilaksanakan dimana-mana.
Meski jelas-jelas menginjak-injak rasa kemanusian, namun Ferdian berargumen dengan moral hazard bahwa para penerima bantuan, yaitu waria dan anak-anak yang menjadi korban prank tersebut juga melanggar aturan PSBB yang ditetapkan oleh pemerintah. Melalui pembenaran bahwa dirinya ingin memberi pelajaran, Ferdian merasa boleh melanggar etika dan sisi kemanusiaan.
Spontan konten kontroversial ini pun segera mampu viral secara instan. Meski gampang diduga bahwa viralnya konten video prank ini lebih kepada keprihatinan, kekecewaan, kritik, hujatan bahkan lontaran kemarahan karena apa yang dilakukan benar-benar mengabaikan rasa kemanusiaan apalagi di tengah kondisi pandemi saat ini yang sangat memprihatinkan.
Lalu seperti halnya banyak kejadian yang serupa sebelum-sebelumnya, Ferdian pun segera melanjutkan memposting video konten permohonan maaf atas kelakuan dan kesalahan yang dilakukannya. Ternyata dalam video permohonan maaf ini pun Ferdian masih ingin melakukan tindakan kontroversial agar terus mendapatkan viewer, follower dan subscriber yang lebih banyak lagi.
Caranya, di akhir video yang semula menampakkan penyesalan dan permohonan maaf yang serius dan sungguh-sungguh, tiba-tiba dirinya mengingkari pernyataan maafnya tersebut dan menutupnya bahwa itu bohong dan dia tidak sungguh-sungguh minta maaf.