Islam merupakan agama universal yang fleksibel dalam berinteraksi dengan budaya lokal di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Kesatuan ini tampak dalam cara Islam beradaptasi dengan falsafah Jawa, menciptakan harmoni yang memperkaya kehidupan sosial, spiritual, dan politik masyarakat. Menurut I. A. Mansurnoor interaksi antara nilai-nilai Islam dengan tradisi dan falsafah Jawa, termasuk bagaimana masyarakat Jawa memadukan ajaran tauhid dengan konsep-konsep lokal seperti manunggaling kawula lan Gusti. (Mansurnoor, I. A. (1990). Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta.)
Tidak hanya itu falsafah jawa memiliki konsep-konsep mendalam lain seperti memayu hayuning bawono (menciptakan keharmonisan dunia), dan ngunduh wohing pakarti (memetik hasil perbuatan). Nilai-nilai ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan harmoni sosial, dan tanggung jawab moral. Keduanya memadukan aspek spiritual dan sosial untuk menciptakan kehidupan yang bermakna.
 Di kabupaten Gresik tepatnya di wilayah Gresik Selatan terdapat sebuah kecamatan yang bernama Driyorejo, sebuah wilayah pinggiran yang berdekaan dengan kota Surabaya dan juga kabupaten sidoarjo yang hanya dipisahkan oleh Sungai brantas, Di sisi lain kecamatan Driyorejo memiliki beberapa desa salah satunya Kesamben wetan, desa yang memiliki wilayah yang cukup luas dan penduduk yang lumayan padat, tidak hanya itu dahulu desa ini merupakan tanah yang luas serta bukit dan lembah yang sangat indah. Terdapat juga banyak pepohonan yang besar, salah satunya pohon kesambi, atau sering disebut pohon trenggili, oleh karena itu para leluhur desa menamakan desa ini "Kesamben" (dipengaruhi juga kebiasaan orang jawa mengganti logat, yang asalnya kesambi menjadi kesamben) dan kata "wetan" sendiri berasal dari Bahasa jawa yang memiliki arti "Timur" karena letak des aini di wilayah timur. Maka terbentuklah nama yang cukup unik yaitu "Kesamben Wetan" yang dikenal sampai saat ini.
Di dasa kesamben wetan juga memiliki keunikan sendiri dalam konteks tradisinya salah satunya ialah tradisi renungan malam. Tradisi renungan malam ini menjadi contoh nyata bagaimana nilai-nilai Islam, tradisi, dan falsafah Jawa diterapkan. Agenda taunan yang digelar setiap malam HUT RI yaitu pada tanggal 16 agustus, dengan nuansa unik dan khidmat bertepatan di makam desa setempat. di isi dengan pengajian, sholawatan, dan doa bersama yang diikuti umat lintas agama. Kehadiran warga non-Muslim dalam tradisi ini juga menunjukkan penghormatan terhadap keberagaman dan toleransi yang merupakan esensi ajaran Islam. Karna tujuan dari acara ini ialah untuk mempererat jalinan sosial dan spiritual di tengah Masyarakat. Momen ini menjadi istimewa bukan karena agenda setiap taunanya, melainkan refleksi penghormatan terhadap leluhur terdahulu yang memperjuangkan kerifan desa pada saat itu. Memilih lokasi pelaksaan di makam leluhur desa seolah melestarikan sejarah perjuangaan generasi terdahulu, begitupun dengan sholawatan dan doa bersama Masyarakat tidak hanya bisa mengenang, tetapi bisa menyampaikan penghormatan secara spiritual pada mereka yang berjasa.
Menurut Bahtiar Effendy dalam bukunya "Islam and the State in Indonesia" (2003) menjelaskan Islam tidak hanya berperan sebagai panduan spiritual tetapi juga sebagai ideologi yang mendorong keadilan, musyawarah, dan persatuan. Kearifan lokal Jawa memperkuat panduan ini dengan pendekatan budaya yang inklusif. Di Kesamben Wetan sendiri contohnya kolaborasi antara pemerintah desa dan masyarakat dalam menjaga tradisi renungan malam mencerminkan prinsip syura (musyawarah) dan gotong royong. Di sisi lain juga, tradisi ini juga berperan sebagai bentuk pendidikan budaya yang efektif bagi generasi muda. Dengan melibatkan mereka dalam kegiatan ini, nilai-nilai sejarah dan spiritual diwariskan secara langsung, membangun kesadaran akan pentingnya menghormati leluhur dan mempertahankan tradisi lokal di tengah arus modernisasi. Tidak hanya itu agar tradisi ini bisa berkelanjutan pada masa selanjutnya
Melalui tradisi ini, politik lokal diajarkan sebagai alat untuk melestarikan budaya, membangun persatuan, dan mewujudkan kesejahteraan bersama. Falsafah Jawa memayu hayuning bawono mengingatkan pemimpin untuk tidak hanya mengejar kekuasaan tetapi juga menciptakan harmoni di tengah masyarakat. Tradisi ini juga menunjukkan bagaimana Islam dapat bersinergi dengan budaya lokal untuk menciptakan harmoni dalam masyarakat modern. Dalam hal ini, Islam menjadi instrumen yang memperkuat nilai-nilai kebangsaan, sekaligus menjadi pengingat akan pentingnya menjaga warisan leluhur sebagai fondasi moral dan sosial. Jadi antara Islam dan falsafah Jawa dapat membentuk identitas kultural masyarakat Indonesia yang unik. Contohnya tradisi renungan malam di Desa Kesamben Wetan menjadi bukti konkret bagaimana nilai-nilai Islam dan kearifan lokal dapat menyatu dalam menciptakan kehidupan yang penuh makna.
Dan dapat juga sebagai penawar landasan etika yang kuat, mengarahkan pemimpin untuk melayani masyarakat dengan menjaga warisan budaya. Dengan melestarikan tradisi seperti renungan malam, masyarakat tidak hanya merawat warisan leluhur tetapi juga memperkuat identitas nasional berbasis spiritualitas dan kearifan lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H