11 Juli 2018
Malang-Tayangan televisi menjadi teman keseharian jika tak ada aktivitas lain yang ingin dilakukan. Beragam sajian yang disuguhkan semakin memanjakan penonton, apalagi musim liburan sekolah yang panjang dimanfaatkan anak-anak untuk memuaskan diri di depan TV. Salah satu tayangan kesukaan anak-anak adalah kartun. Kartun adalah film yang menciptakan khayalan gerak sebagai hasil pemotretan rangkaian gambar yang melukiskan perubahan posisi.Â
Namun, bagaimana jika tayangan tersebut justru buruk bagi perkembangan emosional anak. Hal itulah yang sedang diteliti oleh kelompok mahasiswa Universitas Negeri Malang yang beranggotakan Wardhani sebagai ketua, Intan dan Rohmatul sebagai anggota.
Wardhani sebagai ketua tim mengaku bahwa dalam penelitian ini terdapat hal yang perlu segera disadari yaitu, terjadinya kekerasan simbolik melalui tayangan televise berupa kartun.Â
Hal ini terlihat dari perilaku dan aktivitas yang dilakukan oleh anak-anak tersebut. Kekerasan simbolik merupakan kekerasan yang terjadi secara tidak disadari oleh penerimanya. Hal ini dikarenakan kekerasan ini bersifat sangat halus dan tidak terlihat secara langsung. Hasil adanya kekerasan simbolik hanya dapat terlihat dari perubahan perilaku atau komponen sehari-hari seperti bahasa, pakaian, atau bahkan pemikiran yang berbeda dari biasanya.
Hasil penelitian di Desa Kucur menunjukkan bahwa telah terjadi kekerasan simbolik pada anak-anak melalui tayangan kegemarannya yaitu kartun. Menurut hasil wawancara, diketahui bahwa anak-anak gemar menonton kartun ditambah lagi pada saat observasi, anak-anak tersebut menirukan apa yang ditontonnya.Â
Tayangan kartun merupakan tayangan yang paling digemari oleh anak-anak di Desa Kucur dan kemungkinan besar merupakan tayangan kegemaran bagi anak-anak di berbagai wilayah lain. Oleh karena itu, perlu adanya pendampingan dari orang tua atau anggota keluarga lain untuk anak dapat menonton tayangan kartun tanpa terpengaruh dampak negatifnya seperti kekerasan simbolik.
 Wardhani sebagai ketua tim mengatakan bahwa pada saat wawancara dan observasi terdapat kendala yaitu marasumber atau anak-anak yang diwawancara dan observasi tidak dapat diganggu karena sedang asyik bermain.Â
Akan tetapi, pada saat tersebut hasil observasi memperlihatkan bahwa apa yang dimainkan oleh anak-anak merupakan permainan yang sama seperti pada tayangan kartun, seperti bermain polisi dan pencuri pada tayangan Sepongebob Squarepants, bermain mainan rakitan seperti mobil-mobilan, robot, dan lain-lain.Â
Pada saat bermain, bahasa yang digunakan oleh anak-anak terkadang berbeda dengan biasanya, pada kehidupan sehari-hari bahasa yang sering digunakan adalah bahasa jawa atau bahasa Indonesia. Akan tetapi, pada saat bermain tak jarang anak-anak menggunakan bahasa seperti bahasa Malaysia atau bahasa yang sedang trend di media sosial. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak tersebut telah mengalami kekerasan simbolik.
Dampak negatif dari kekerasan simbolik ini adalah anak-anak menjadi tidak bebas dalam memilih, tidak dapat berpikir secara terbuka, dan pada akhirnya generasi kritis menjadi menurun.Â
Oleh karena itu, kewaspadaan dan perhatian lebih dari orang tua sangat diharapkan untuk diberikan pada anak-anak sehingga kekerasan simbolik melalui tayangan televise ataupun tayangan kartun dapat diminimalisir.Â
Selain itu, orang tua juga tidak diperkenankan untuk mendoktrin anak sehingga orang tua juga wajib mengerti apa yang dimaksud dengan kekerasan simbolik, bagaimana bentuknya dan bagaimana menanganinya, sehingga kewaspadaan pada kekerasan simbolik dapat terwujud dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H