Konon di zaman modern ini nilai-nilai moral mengalami degradasi, iya, memang. Degradasi, keadaan yang mengalami kemunduran, bukan berarti tidak ada sama sekali. Benih-benih nilai moral yang telah kita taburkan tetap masih ada yang bertumbuh. Tulisan ini hanya sekelumit kisah, di luar sana masih banyak sekali kisah pertumbuhan benih-benih itu dan siap untuk terus bertumbuh, bahkan menghasilkan buah. Fakta itu menjadi spirit tersendiri bagi kita untuk tak boleh lelah untuk terus menabur & memeliharanya.
Suatu siang saya dikejutkan oleh kengambekan anak kami sepulang sekolah, saat ia masih SMA. Tetiba hari itu dia abai terhadap budaya cuci kaki, cuci tangan, ganti baju, bila dari luar rumah. Dia langsung tengkurap di tempat tidur masih dengan seragam sekolahnya. Karena lama tidak keluar dari kamar, saya menemuinya.
"Hai," sapa saya, "Kenapa?"
"Ma, apa masih perlu gitu kita itu hidup jujur?" ucapnya dengan nada getar marah.
"Ada apa rupanya tadi di sekolah?" respon saya sambil mengelus-elus kepalanya.
Poinnya dia marah, malu. Jadi begini, hari itu ada penilaian harian. Sebelum penilaian harian dia ditanya beberapa temannya untuk menerangkan bagian-bagian tertentu dari mapel yang hari itu diujikan. Di kelas, karena postur tubuhnya yang tinggi, maka ia mengambil posisi duduk di barisan paling belakang. Maka saat penilaian dengan jelas dia bisa melihat teman-temannya yang tadi diajari melakukan googling dengan hp mereka, alias nyontek pakai hp. Sementara anak saya memegang prinsip kejujuran. Alhasil dia yang mengajari malah mendapatkan nilai yang lebih rendah dari teman-teman yang dia ajari. Letak marahnya adalah karena teman-temannya tidak jujur dan nilainya lebih tinggi. Saya menghibur menguatkan dan memberi pengertian bahwa hidup di jalan yang benar itu memang tidak selalu mudah, tidak selalu baik hasilnya. Perang batin, itu salah satu tantangannya.
Lanjut saya, "Andai tadi dibalik, kamu ikut nyontek bagaimana perasaanmu? Mungkin nilaimu lebih baik, apakah hatimu akan sejahtera?"
Jawabnya, "Nggak juga sih"
"Nah, kalau begitu kamu lebih memilih hidup dalam kebenaran walau nilai lebih rendah atau memilih nilai lebih tinggi tapi tidak jujur hasil boleh nyontek?" lanjut saya.
"Jujurlah...." jawabnya.
"Ya tentu saja jujur lebih enak di hati, walau harus belajar lebih lagi ya.... sudah nggak pa pa kamu sudah memilih yang benar, sana bebersih dulu terus makan dan istirahat", ucap saya dan diapun beranjak. Agaknya diskusi singkat kami telah melegakan hatinya, setidaknya dia sudah deal dengan perasaannya sendiri untuk memilih jalan yang benar, yaitu jujur.
Kisah di atas terjadi sebelum pandemi sehingga masih pembelajaran tatap muka. Bagaimana, apa kabar dengan kejujuran, rasa tanggung jawab dan kawan-kawannya di saat pandemi dalam masa pembelajaran jarak jauh? Ketika pembelajaran terjadi di ruang kelas maya, sementara segala rupa informasi dapat diakses dengan sangat mudahnya. Ibarat kata, dunia hanya segenggaman. Banyak situs bebas terbuka, apalagi bila tanpa atau kurang pengawasan. Semua hanya tergantung niat dan tanggung jawab si pengakses. Bagaimana dengan anak-anak kita? Siapa yang menjadi penjaga tegaknya norma dan moral kebaikan? Apakah pembelajaran kita sekaligus masih menjadi media penanaman karakter baik akan cukup berhasil dalam situasi yang demikian?
Sementara itu di luaran sana sudah banyak cerita sedih, bagaimana anak-anak yang selama ini jujur berjuang dengan bertanggung jawab mulai gelisah begitu mengetahui banyak orang melakukan kecurangan bahkan bekerja sama demi nilai; masih ada saja yang berusaha mencari celah untuk menyiasati aplikasi ujian tertentu. Alih-alih berusaha belajar, malah berjuang menemukan cheat-nya. Fenomena apa ini? Apalagi bagi kelas 12. Hal ini tentu mempengaruhi kesempatan mendapat jalur SNMPTN (yang sejak tahun 2023 berganti nama menjadi SNBP). Anak-anak yang sudah habit dengan tanggung jawab dan kebaikan tentu saja gelisah, cemas, kuatir dan bahkan perang batin: jujur atau ikut arus? Belum lagi kita bicara tentang kebiasaan buruk siswa saat PJJ; banyaknya kendala dll yang menambah deret masalah pembelajaran di masa pandemi.
Dari sisi hasil, terlebih terkait karakter, mungkin ini merupakan salah satu sisi dari learning loss, yaitu hilangnya pengetahuan dan keterampilan, baik itu secara umum atau spesifik, atau terjadinya kemunduran proses akademik karena faktor tertentu.[1] Â Namun hal itu terjadi selain karena ketidakefektifan pembelajaran juga faktor terbesarnya adalah menurunnya motivasi belajar siswa. Faktor kedua inilah yang terkait dengan bahasan kita dan di sisi inilah ladang kita menabur benih karakter baik itu.
Â
Dari sisi pendidikan, pandemi kemarin memperparah kondisi defisit karakter, seperti yang selama ini sudah dikuatirkan oleh para ahli. Seperti diungkapkan oleh dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami defisit karakter. Untuk itu, lulus sekolah dan mendapatkan ijazah saja tidak cukup untuk menjadi bekal memasuki dunia kerja, tapi harus dibarengi dengan karakter yang kuat. "Negeri ini sedang mengalami defisit karakter, sebuah nilai kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan itu seperti dalam situasi menurun," tegas Imam kepada wartawan, di sela-sela ulang tahun ke-7 Yayasan Nara Kreatif, Jakarta, Kamis, 27 Februari 2020. [2]
Â
Setidaknya ada lima hal yang harus kita tanamkan kepada anak-anak dan/ atau peserta didik kita, sbb:
Â
Pertama, bahwa antara kejujuran dan perolehan nilai (angka) ujian itu tidak boleh dipertentangkan. Mengapa mereka kuatir, bahkan marah dalam perang batin, bisa jadi karena mereka memversuskan keduanya. Atau kalau dia tidak demikian, minimal karena mereka berada di lingkungan sosial yang begitu kompetitif dan mempertentangkan antara kejujuran dengan perolehan nilai, hingga mereka harus atau bisa memilih salah satu di antara keduanya. Artinya perolehan nilai bisa dicapai tanpa kebaikan/kejujuran, merupakan salah satu pilihan. Tidak demikian seharusnya.
Â
Kedua, tujuan yang baik sepaket dengan bagaimana cara mencapainya, harus baik juga. Artinya, nilai yang baik (baca: kesuksesan, keberhasilan) harus dicapai dengan cara yang mulia juga.
Â
Ketiga, bahwa perolehan nilai itu penting, tetapi kejujuran lebih utama. Bagaimana penerapan dari pernyataan ini? Artinya sebisa mungkin anak-anak berjuang menuju keberhasilan dengan cara yang mulia. Tetapi bila dalam kondisi mendesak, mereka berada dalam posisi harus memilih, mereka harus memilih yang lebih utama, yaitu kejujuran (nilai moral kebaikan).
Â
Keempat, perlu juga memberi pengertian kepada anak-anak bahwa jalan kebaikan itu tak selamanya mudah. Orang bilang jujur itu hancur. Artinya tak selalu mudah jalannya. Kita jujur belum tentu selalu berhasil dengan perolehan nilai yang baik. Tetapi memilih kebaikan, kejujuran, akan lebih membahagiakan daripada mendapatkan perolehan nilai yang tinggi dengan cara yang tidak benar. Jujur itu mahal. Mereka harus gelisah bila tidak jujur.
Â
Kelima, kita harus mengarahkan peserta didik untuk mencapai kedewasaan moral pasca konvensional, seperti yang digagaskan oleh Lawrence Kohlberg.[3] Bahwa pada tahap ini seseorang menyadari, bisa dan berani mengambil keputusan untuk berlaku baik secara universal karena kebaikan itu sendiri, bukan karena dilihat orang, bukan demi perolehan nilai yang tinggi atau sesuatu sebagai imbalan; tidak juga karena aturan sosial, tetapi karena kesadaran moral. Atau disebut sebagai perkembangan tingkat berprinsip.[4] Walau mungkin sulit untuk mencapainya tetapi minimal mereka belajar tentang habit  yang baik bahkan memegang prinsip-prinsip kebaikan dan kejujuran itu.
Â
Pendidikan adalah kunci untuk memperkuat karakter, baik itu dalam pendidikan formal, informal maupun nonformal. Kita tak boleh patah arang dengan keadaan di masa pandemi kemarin dan/ atau dampak selanjutnya, sebaliknya harus makin kreatif menemukan cara, metode, sarana pendukung untuk terus menabur benih karakter baik. Dengan demikian kita tak akan kehilangan generasi berkarakter baik, hingga nanti diperkirakan pada tahun 2045 ketika Indonesia akan mendapatkan bonus demografi sungguh-sungguh kita memanen generasi yang mumpuni baik kompetensi akademis, pun karakter baiknya; kondisi dimana karakter baik tak lagi diversuskan, tetapi masa dimana kebaikan, kejujuran dan tanggung jawab selalu beriringan dengan kompetensi akademis, budaya masyarakat dimana karakter baik bukan menjadi pilihan tetapi habit.#
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H