Mohon tunggu...
Rohit Mahatir  Manese
Rohit Mahatir Manese Mohon Tunggu... Nelayan - Di lahirkan untuk menjadi pembelajar.

Mahasiswa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengrusakan Mushala dan Daftar Panjang Intoleransi di Indonesia

5 Februari 2020   07:32 Diperbarui: 5 Februari 2020   07:44 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyarakat Indonesia dan khususnya masyarakat yang berada di Sulawesi Utara digemparkan oleh sebagian oknum atas tindakan intoleran yang terjadi pada hari rabu 29 januari 2020 pukul 17.45 wita.  Melalui video yang beredar di media masa, massa datang dan berbuat onar membuat rusak mushala Al-hidayah tempat beribadah umat muslim yang berada di perum agape, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. 

Selain menggemparkan tindakan tersebut membuat masyarakat menjadi resah dan tentunya kejadian ini menjadi antithesis dari moto filosofis masyarakat Sulawesi Utara "Torang Samua Basudara"

Bukan sekedar itu fenomena ini menunjukan ancaman bagi kebebasan beragama dan berkeyakinan di ruang public. Sulawesi utara yang dikenal dengan salah satu daerah yang paling toleran dan pengelolaan kerukunan beragama yang baik, bisa gagal menjadi roll model bagi daerah yang lain. 

Namun yang terpenting adalah tindakan pengrusakan mushala ini mengebiri kemanusiaan atas haknya untuk beragama dan berkeyakinan.

Masalah ini dengan cepat tanggap langsung diatasi dan dilarai oleh aparat ,tokoh agama, serta tokoh masyarakat. Setelah kejadian tersebut berhasil diatasi para tokoh masyarakat, tokoh agama, akademisi dan aktivis berkumpul untuk melakukan dialog terbuka di masjid raya Ahmad Yani Manado. 

Kegiatan ini dilakukan untuk mencari akar permasalahan, dan melakukan dialog terbuka untuk mencegah potensi konflik yang akan terjadi serta mencari solusi atas pengrusakan yang terjadi, beberapa jam kemudian para oknum ditangkap oleh aparat, 6 orang berhasil diringkus oleh aparat. 3 orang dimankan Polres Minahasa utara, 3 orang lainnya dibawah ke Polda Sulut. (Detik.com, 2020)

Menambah daftar panjang Intoleransi

Meskipun langsung diatasi tindakan destruktif ini menambah daftar panjang intoleransi yang terjadi di Indonesia. Mayoritas selalu benar dengan mentalnya berjamaah, sehingga minoritas yang berada dipusarannya menjadi korban. Logika inilah yang sering dipakai oleh massa yang bertindak main hakim sendiri. Mental berjamaah ini lalu didefiniskan lewat praktiknya yang mengancam kebebasan beragama dan berkeyakinan. Lantas hal apa yang membuktikannya ? 

Lihat saja kekerasan yang terjadi pada Tajul Muluk dan para penganut Syiah yang berada di Sampang pada tahun 2011. Di usir hingga hinga pembakaran terhadap madrasah maupun masjid (Cherian George, 2017), karena mereka dianggap sesat dan sebagai penista agama yang mengancam pada lingkaran mayoritas. mereka menjadi korban atas kebiadaban dari tindakan intoleran dan kekerasan.

Hal kemudian juga terjadi pada Ahmadiyah yang berada di Cikeusik, Banten. Tiga pengikut mereka diserang bahkan dibunuh oleh massa yang berkisar 1.000 sampai 1.500 orang . Karena mereka minoritas yang berada dilingkaran yang dominan maka masa bertindak atas dasar mereka sesat dan lain sebagainya padahal hal ini adalah tindakan dehumanisasi yang paling parah terjadi di Indonesia.

Kasus pembakaran rumah ibadah pun demikian mulai dari pembakaran masjid yang terjadi di Tolikara Papua, Pembakaran vihara yang terjadi pada tahun 2016 di Medan, pembakaran gereja yang terjadi di Singkil, Aceh dan kemudian fenomena hari ini pengrusakan rumah ibadah yang terjadi di Minahasa Utara menambah daftar panjang Intoleransi di negara demokratis ini.

Daftar kejadian ini menunjukan kelemahan pengelolaan kerukunan beragama hingga ancaman terhadap kebebasan beragama dan berkeyakina di Indonesia. Masalah sepele, menimbulkan keresahan, adanya ketidaknyamanan hingga masalah pendirian bangunan adalah alasan dari tiap tindakan Intoleran ini. Padahal masalah ini bisa diselesaikan dengan cara yang lebih manusiawi

Apa yang harus dilakukan?

Untuk menanggapi kejadian seperti ini masyarakat tidak perlu terpancing hingga menghasilkan  tindakan yang sama. Karena ketika membalas dengan tindakan yang serupa (Intoleran, kekerasan dan ekstremisme) tidak akan menemukan jalan keluar namun hanya akan menambah masalah yang baru. Kasus-kasus intoleransi di atas merupakan pelanggaran bagi kemanusiaan. 

Intoleransi bukan tindakan yang diajarkan oleh nilai-nilai kemanusiaan dan agama. Tapi sikap tindakan kriminal dan esktremis ini datang dari tidak terbukanya pikiran,  tidak menerima akan perbedaan dan menganggap yang beda sebagai ancaman serta klaim akan kebenaran. Kita percaya bahwa agama apapun pasti menjadi petunjuk untuk membuat kebaikan dan kebajikan dimuka bumi ini.

Maka untuk meretas kejadian seperti ini yang harus dilakukan oleh masyarakat adalah menciptakan sikap saling terbuka dan melebur di Bumi Indonesia ini. Nurani selalu terbuka untuk menerima perbedaan, dalam praksisnya ketika ada bangunan semisal rumah ibadah yang belum diizinkan,  perlu dibantu untuk mendapat pengakuan secara legal formal dari negara. Keterbukaan ini ini akan menjadikan perbedaan sebagai rahmat bukan sebagai bencana

Selain dari pada itu ketika terjadi konflik untuk melarainya langkah komunikatif adalah langkah solutif dan elegan untuk memecahkan suatu permasalahan. Langkah ini menunjukan ruang-ruang dialog agar saling memahami bahwa kita hidup dalam realitas yang plural dan beragam. 

Dalam aras sosiologis perlu melahirkan sikap yang aktif, arif dan konstruktif (Sabara Nurudin, 2020) Aktif sebagai penghormatan serta penghargaan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan sampai terbukanya kerjasama dan dialog yang aktif, Arif dalam artian menghasilkan persaudaraan universal yang humanis tanpa harus ada sekat-sekat keyakinan. 

Konstruktif untuk membentuk sistem kohesi sosial yang akan terarah pada kemajuan peradaban dan persatuan umat manusia yang tentram dan damai. Pikiran yang terbuka akan berdampak pada sikap yang inklusif, toleran dan mendamaikan.

Torang Samua Basudara.

Tulisan ini diulas pada Kamis 30 Januari 2020

Daftar Pustaka

Cherian George, 2017, Pelintiran Kebencian: Rekayasa Ketersinggungan Agama Ancamannya Bagi Demokrasi. (Jakarta:PUSAD)

detik.com/news       (Di akses pada kamis 30 Januari 2019)

blamakassar.co.id          (Di akses pada kamis 30 Januari 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun