Kasus pembakaran rumah ibadah pun demikian mulai dari pembakaran masjid yang terjadi di Tolikara Papua, Pembakaran vihara yang terjadi pada tahun 2016 di Medan, pembakaran gereja yang terjadi di Singkil, Aceh dan kemudian fenomena hari ini pengrusakan rumah ibadah yang terjadi di Minahasa Utara menambah daftar panjang Intoleransi di negara demokratis ini.
Daftar kejadian ini menunjukan kelemahan pengelolaan kerukunan beragama hingga ancaman terhadap kebebasan beragama dan berkeyakina di Indonesia. Masalah sepele, menimbulkan keresahan, adanya ketidaknyamanan hingga masalah pendirian bangunan adalah alasan dari tiap tindakan Intoleran ini. Padahal masalah ini bisa diselesaikan dengan cara yang lebih manusiawi
Apa yang harus dilakukan?
Untuk menanggapi kejadian seperti ini masyarakat tidak perlu terpancing hingga menghasilkan  tindakan yang sama. Karena ketika membalas dengan tindakan yang serupa (Intoleran, kekerasan dan ekstremisme) tidak akan menemukan jalan keluar namun hanya akan menambah masalah yang baru. Kasus-kasus intoleransi di atas merupakan pelanggaran bagi kemanusiaan.Â
Intoleransi bukan tindakan yang diajarkan oleh nilai-nilai kemanusiaan dan agama. Tapi sikap tindakan kriminal dan esktremis ini datang dari tidak terbukanya pikiran, Â tidak menerima akan perbedaan dan menganggap yang beda sebagai ancaman serta klaim akan kebenaran. Kita percaya bahwa agama apapun pasti menjadi petunjuk untuk membuat kebaikan dan kebajikan dimuka bumi ini.
Maka untuk meretas kejadian seperti ini yang harus dilakukan oleh masyarakat adalah menciptakan sikap saling terbuka dan melebur di Bumi Indonesia ini. Nurani selalu terbuka untuk menerima perbedaan, dalam praksisnya ketika ada bangunan semisal rumah ibadah yang belum diizinkan, Â perlu dibantu untuk mendapat pengakuan secara legal formal dari negara. Keterbukaan ini ini akan menjadikan perbedaan sebagai rahmat bukan sebagai bencana
Selain dari pada itu ketika terjadi konflik untuk melarainya langkah komunikatif adalah langkah solutif dan elegan untuk memecahkan suatu permasalahan. Langkah ini menunjukan ruang-ruang dialog agar saling memahami bahwa kita hidup dalam realitas yang plural dan beragam.Â
Dalam aras sosiologis perlu melahirkan sikap yang aktif, arif dan konstruktif (Sabara Nurudin, 2020) Aktif sebagai penghormatan serta penghargaan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan sampai terbukanya kerjasama dan dialog yang aktif, Arif dalam artian menghasilkan persaudaraan universal yang humanis tanpa harus ada sekat-sekat keyakinan.Â
Konstruktif untuk membentuk sistem kohesi sosial yang akan terarah pada kemajuan peradaban dan persatuan umat manusia yang tentram dan damai. Pikiran yang terbuka akan berdampak pada sikap yang inklusif, toleran dan mendamaikan.
Torang Samua Basudara.
Tulisan ini diulas pada Kamis 30 Januari 2020