"Aku dahulu tidak menyukai kaum perempuan dan hubungan seksual ketika pertama-tama memasuki jalan ini (tasawuf). Hal ini berlangsung kira-kira delapan belas tahun hingga Aku menyaksikan tingkat yang lebih tinggi. Pada saat itu Tuhan telah membuat Aku mencintai perempuan, dan Aku menjadi makluk yang paling kuat dalam menjaga dan memenuhi hak-haknya.
Kecintaan seseorang kepada sesuatu, yang pada akhirnya mampu membawanya menyerap sifat-sifat dan nama-nama Tuhan, itu berarti sesuatu tersebut, memang telah menjadi "cermin" Tuhan. Ibarat orang yang mampu melihat matahari ditempat rindang melalui cermin, maka berarti cermin telah mampu memantulkan cahaya matahari dengan sempurna.
Dalam satu hadisnya, Nabi pernah mengatakan; "Tiga hal dari dunia ini dibuat memikat padaku: yaitu kaum perempuan, parfum, dan kesejukan mataku ketika shalat"(HR. Ibnu Majah). Nabi Muhammad, sebagai sosok Insan Kamil paling ideal (akmal al-Insan al-Kamil) dibuat tertarik dan mencintai tiga hal yang tentunya baik, dan menurut para sufi mampu menghantarkan pada Tuhan. Dalam shalat, Nabi menemukan kedamaian dan merasa beraudiensi dengan Tuhan. Kemudian dalam hal bau-bauan harum, ini akan membawa pada pencitraan keindahan (jamal) Tuhan, dan pada sosok perempuan, ketertarikan itu akan membawa pada alam "imajinasi Ketuhanan". Ini memperlihatkaan bahwa sosok perempuan itu menyimpan kemampuan yang luar biasa, salah satunya adalah sebagai "cermin Tuhan" di dunia.
Menurut para sufi, segala cinta dan kesenangan itu tertuju pada Tuhan. Begitupun kecintaan seseorang pada perempuan, itu sebenarnya perwujudan kecintaan pada Tuhan. Seperti halnya Nabi Muhammad sebagai manusia paling sempurna yang tidak mungkin salah menunjukan rasa cintanya, itu mencintai kaum perempuan. Hal ini menunjukan bahwa pada hal-hal yang dicintai Nabi itu terdapat kebaikan dan kemuliaan, karena Nabi tidak mungkin dibuat mencintai sesuatu selain Tuhan.
Jadi, secara keseluruhan, sebenarnya kaum perempuan mempunyai potensi jasmaniyah maupun spiritual untuk memantulkan "bayangan Tuhan" di alam ini. Permasalahannya kemudian, apakah potensi itu dilatih atau tidak. Ketika kaum perempuan tidak mau mengasah dan menjaga potensinya, maka dia hanya laksana cermin buram lagi retak yang tidak bermakna, lebih-lebih mampu membiaskan cahaya suci ketuhanan di alam semesta.
Dan meski tidak bisa menjadi sosok ideal "cermin Tuhan" secara utuh, paling tidak bisa membiaskan sebagian atau mampu memantulkan unsur sifat keindahan Tuhan (jamal) dari dalam dirinya. Kalau inipun masih belum bisa, maka paling tidak setitik sinar Tuhan (nur Allah) harus ada dihatinya, sebagai petunjuk jalan, dan obor dalam keremangan kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H