Jika ada aplikasi yg muncul seperti itu, yg dapat meminjamkan dana, dan adanya regulasi dari pemerintah, bisa anda bayangkan jika itu terjadi. Jika dalam skala kecil, hanya dengan modal kepercayaan seseorang bisa meminjam dana sebesar Rp 2 juta rupiah, lalu bagaimana dengan Bank dengan modal inti minim yg bermain di sektor mikro dan multifinance yg modal inti kecil yg masih bermain dengan pinjaman kendaraan roda dua yg nilai pencairannya kecil? Dalam skala besar, jika aplikasi ini langsung disambut antusias oleh masyarakat, layaknya gojek dan grab, apa yg terjadi jika seseorang bisa meminjam dana dp rumah melalui aplikasi dan tanpa jaminan? Akan sangat mudah untuk membeli satu ataupun dua rumah dan akan membuat spekulator tidak terkendali, yg akhirnya mengantar pada kenaikan harga rumah gila – gilaan. Masih ingat yg terjadi di Amerika? Krisis 2008? Bubble yg salah satunya disebabkan oleh spekulator.
Saya ambil contoh jika skema aplikasi tersebut seperti ini. Jika seluruh kontrak melalui aplikasi, walaupun standar sama, dimana harus melampirkan bukti usaha, rekening tabungan dan domisili. Di kontrak perjanjian, sebagai peminjam, anda mengetahui siapa siapa saja yang meminjamkan anda dana berikut dengan tingkat bunga dan tenor pinjaman. Misalnya ada yg menetapkan bunga 10 – 20 % per tahun dengan tenor 3, 6 atau 12 bulan. Sebagai pemberi pinjaman, dijanjikan return sebesar 15 – 20%, dan aplikasi tersebut hanya sebagai pihak ketiga yg mempertemukan antara si pemberi pinjaman dengan si peminjam. Konsep yg sama dengan perusahaan start-up lainnya seperti gojek, grab, OLX,dll. Namun perlunya regulasi dari pemerintah, jika muncul pertanyaan yg antara lain Bagaimana jika si peminjam default? Bagaimana jika si pemberi pinjaman kehilangan uang? Apakah perusahaan aplikasi tersebut akan menggantinya? Regulasi ini yg perlu diatur jika adanya aplikasi seperti ini. Sehingga adanya payung hukum dan mengakomodir kegiatan ini.
Baru – baru ini regulator (OJK) berencana mengeluarkan regulasi dimana ingin membebaskan uang muka kredit kendaraan (DP 0%). Saat ini, dengan DP “ada” saja, masih banyak yg gagal bayar. Korelasinya adalah dengan DP 0% maka potensi NPF (non performing financing) bakal meningkat. Maka perusahaan akan kembali memutar otak untuk mengakomodir peraturan ini, memalui cara memitigasi resiko yang timbul. Walaupun adanya syarat dan prasyarat yg diberikan OJK terkait hal ini, yaitu rasio NPF nya maksimal 2% sedangkan dari sisi konsumen yg akan diberikan DP 0% harus sesuai dengan risk profile dan memiliki financial yang bagus. Walaupun OJK sudah menentukan syarat dan prasyaratnya , saya yakin tidak akan semua perusahaan multifinance menjalankannya, karena tergolong resiko yg tinggi.
Sedangkan regulasi lainnya yg akan dikeluarkan adalah terkait dengan pembatasan fee ke dealer. Perusahaan multifinance mulai mengalami tantangan ke depannya. Perbedaan persepsi antara perusahaan multifinance dari sisi bisnis dan juga OJK dari sisi regulator. Jika dari sisi regulator, dapat dipahami bahwa kenapa fee akan dibatasi. Untuk mengkontrol membengkaknya biaya yg dikeluarkan perusahaan multifinance. Sudah menjadi rahasia umum bahwa besarnya fee yg diberikan perusahaan multifinance terhadap dealer menentukan jalannya bisnis.
Makin banyaknya “angpao” yg diberikan akan berbanding lurus dengan sedikit banyaknya formulir pembiayaan baru yg kemudian masuk ke multifinance. Hal ini yg memicu jor-joran fee yg diberikan multifinance ke dealer. Sedangkan dari sisi bisnis yg dijalankan perusahaan multifinance, hal ini memicu kekhawatiran bahwa bakal berkurangnya penjualan mereka. Namun pemberlakuan pembatasan fee ini terdapat beberapa multifinance yg menurut saya tidak terkena dampaknya secara signifikan, yaitu perusahaan multifinance yg terafiliasi dengan Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM). Peraturan ini menurut pandangan saya tidak akan berpengaruh signifikan. Tanpa “berebut” mereka sudah pasti mendapat jatah.
Hal lainnya yg akan diatur adalah terkait dengan aturan pinjaman multifinance kepada lembaga lain seperti Bank. Besar kecilnya pinjaman akan tergantung dengan besar kecilnya modal. Tapi jika terkait dengan besar kecilnya pinjaman berkorelasi dengan besar kecilnya modal, ini tidak begitu dikhawatirkan.
Hal ini lebih kepada jumlah ekuitas perusahaan multifinance dibandingkan dengan transaksi subrogasi yg mereka lakukan. Sedikit bercerita, saat saya kuliah, hanya satu dosen yg benar benar saya kagumi, Beliau mengajarkan materi kuliah Analisa Laporan Keuangan. Dari sinilah saya mengetahui Debt to Equity Ratio hingga transaksi subrogasi. Ya walaupun gue juga deg-deg an juga kalo Beliau mengajar (Haha). Karena tergolong cukup strength walaupun cukup fair karena Beliau sangat jelas dalam mengajarkan materi. Peraturan Debt To Equity Ratio terakhir yg saya tau adalah 10x dari ekuitas. Namun tidak tau jika peraturan tersebut berubah. Dalam arti, bila ekuitas multifinance tersebut Rp 10 Miliar, maka dia boleh meminjam sebesar Rp 100 Miliar. Memang peraturan ini masih belum saklek. Karena saya yakin Bank krediturnya multifinance akan menerapkan porsi yg berbeda. Bisa yg diijinkan dibawah nilai yang diatur yaitu 8x atau 9x.
Hal ini terkait dengan ekspansi yg akan dilakukan perusahaan multifinance. Subrogasi itu artinya lebih ke pengalihan piutang akibat kreditur baru melunasi seluruh atau sebagian kreditur lama. Berbeda dengan transaksi kredit yang piutang masih nangkring di neraca.
Contohnya seperti ini, Perusahaan multifinance x memiliki piutang pokok sebesar Rp 150 juta kepada Bapak Y yang diikat dalam perjanjian pembiayaan antara multifinance x dan bapak y. Selanjutnya multifinance x mensubrogasikan piutang pokoknya atas nama bapak y sebesar 80% ke bank z. Dari transaksi tersebut, multifinance x akan menerima uang tunai senilai Rp 120 juta dari bank z. Dengan adanya transaksi tersebut, maka piutang pokoknya akan berubah status krediturnya.
Pada awalnya kreditur sepenuhnya adalah multifinance x akan berubah komposisinya menjadi multifinance x sebesar 20% dan bank z menjadi krediturnya sebesar 80%. Logika diatas adalah contoh kasus untuk 1 konsumen. Bayangkan saja jika transaksi ini dilakukan secara massal. Maka akan cukup besar untuk melakukan ekspansi. Hal inilah yg akan diatur oleh OJK. Mengenai besar kecilnya pinjaman kepada Bank harus sesuai dengan besar kecilnya ekuitas. Karena dari ekuitas tersebut akan bisa melakukan ekspansi ataupun melakukan pinjaman (hutang) atau sebutan ekonominya adalah Debt to Equity Ratio. Keuntungan dari melakukan transaksi tersebut adalah perusahaan multifinance dapat menerima manfaat dari selisih Net Present Value (NPV) piutang tersebut yang seharusnya baru akan diterima 1 – 4 tahun yang akan datang.