Mohon tunggu...
Rofni Lolaen
Rofni Lolaen Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Hobi Nulis Apa Saja

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Dua Tahun Gaduh, Menteri Harus Tegas Stabilkan Unima

26 Oktober 2017   19:49 Diperbarui: 4 Juni 2019   12:17 1499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

REKTOR Universitas Negeri Manado (Unima) Julyeta Paulina Runtuwene belum bisa duduk nyaman. Sudah satu tahun lebih dilantik sebagai nahkoda Unima periode 2016-2020, tetapi hingga kini kursinya masih panas.

Sekelompok elit yang mengaku ingin menegakkan kebenaran di Kampus Biru, begitu rajin meminta dan mendesak Menteri Riset, Teknologi, dan  Tinggi (Menrisetdikti) Mohammad Nasir untuk memberhentikan Paula Runtuwene sebagai rektor.

Alasannya, ijasah strata tiga (S3) istri Wali Kota Manado Vicky Lumentut itu, diyakini aspal atau diperoleh dengan cara ilegal. Desakan kelompok ini dikuatkan juga dengan hasil pemeriksaan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang kemudian merekomendasikan Kemenrisetdikti untuk meninjau dan mengevaluasi kembali jabatan rektor Paula.

Ranking Universitas di Indonesia Terbaru

Sempat pasang surut, pada Oktober 2017 ini, tensi kembali naik. Mohammad Nasir dihadapkan pada situasi pelik; melegitimasi ijasah Paula dan meneruskan jabatannya, atau sebaliknya menganulir ijazah dan memberhentikannya. Tentu tidak mudah bagi sang menteri.

Bagi saya sebagai alumni, gejolak di Unima hampir dua tahun ini, sudah terlalu panjang, tidak sehat, dan jelas merugikan civitas kampus khususnya dan masyarakat Sulut umumnya. Dari sanksi terhadap mantan rektor Philoteus Tuerah hingga dibatalkannya Harold Lumapow sebagai rektor, gejolak di Unima belum juga selesai.

Energi pemimpin Unima banyak terkuras untuk mempertahankan posisinya dan bukan lagi berkonsentrasi pada bagaimana memajukan Unima. Di saat perguruan tinggi lain terbang, Unima malah masih jalan di tempat. Banyak persoalan di kampus yang sebenarnya tidak kalah penting dan genting, tetapi abai mungkin karena konflik yang tak berkesudahan ini.

Masalah di Unima dan beberapa perguruan tinggi hari ini, bagi saya sebenarnya adalah wujud dari belum matangnya bangsa kita. Sejak orde baru terguling kemudian masa reformasi 1998 bergulir, Indonesia masih mewarisi penyakit dari segi mentalitas maupun karakter. Indonesia saat ini memang belum sembuh dari sakit itu.

Tidak heran, sekarang masalah bangsa kita masih berjibun di banyak sektor pemerintahan. Perilaku korupsi kolusi nepotisme (KKN), telah merasuk di berbagai sendi bangsa, baik di lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Perilaku yang lahir dari mentalitas corrupt dan cacat karakter. Saya kira ini adalah alasan digaungkannya revolusi mental dan pendidikan karakter pemerintahan Jokowi.

Pelanggaran bahkan kejahatan dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah gejala dari bangsa yang sakit mental dan karakter itu. Masalah plagiarisme dan juga nepotisme di Universitas Negeri Jakarta, skandal akademik Unima tahun 2016, dan kasus-kasus lain, adalah bukti bahwa penyakit mentalitas itu juga mengakar dan menyebar di jajaran Kemenrisetdikti.

Oleh karena itu, tudingan bahwa ijazah Paula diperoleh dengan cara ilegal dapat dipahami. Di tengah kondisi bangsa yang sakit, di mana keadilan, kebenaran dan jabatan dapat dibeli, maka tidaklah mengherankan bila ada pihak yang menganggap ijasah rektor perempuan pertama Unima itu diperoleh dengan tidak benar.

Bahkan seorang hakim di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang merupakan tumpuan terakhir pencarian keadilan, ternyata bisa disuap, apalagi hanya meloloskan ijazah. Tentu di bangsa yang sakit, itu adalah praktik yang mudah dan lumrah. Demikian logika skeptis yang terbangun karena perilaku koruptif yang berderet oleh pelakon negara.

Namun harus diingat, dengan sudut pandang skeptis yang sama, rasanya pantas dan adil bila mempertanyakan apakah gerakan yang meminta Muhammad Nasir agar memberhentikan Paula telah dibangun atas dasar mentalitas dan karakter yang tidak sakit? Saya ragu!

Mereka yang meminta menteri mencopot Runtuwene demi revolusi mental, bisa jadi merekalah yang justru perlu direvolusi mentalnya. Apakah semua yang tergabung dalamnya, adalah para akademisi yang karya-karyanya originil? Apakah gelar yang diperoleh juga telah melalui sebuah proses yang benar? Atau justru juga merupakan bagian dari pelaku plagiasi? Tentu saja, dalam bangsa yang sakit, hal-hal improsedural seperti itu berpeluang dilakukan siapa saja.

Yang tak kalah penting adalah soal integritas. Meminta menteri memberhentikan Paula dengan alasan menegakkan kebenaran di kampus tidak salah. Namun di satu sisi, bungkam terhadap berbagai persoalan di kampus seperti praktek pungutan liar (pungli), membuat kemurnian hati dan totalitas menyucikan Unima perlu dievaluasi lagi.

Karena mereka yang lantang bersuara ijasah ilegal, bisa jadi adalah pelaku dan penyubur pungli di kampus. Jika masih menjadikan 'amplop' mahasiswa sebagai ladang pencarian padahal jelas-jelas sudah dilarang, artinya gerakan 'penggulingan' ini sama saja sedang bersandiwara. Jika demikian, maka omong kosonglah koar-koar kebenaran itu.

Gerakan suci yang ditunjukkan tak menutup kemungkinan hanyalah dalih dari mentalitas oportunis yang memang telah mewabah dalam mentalitas banyak anak bangsa. Bisa jadi perjuangan itu dilandasi motivasi akumulasi modal, pengincaran jabatan, proyek, atau sudah disponsori oleh pengusaha bahkan penguasa di belakangnya.

Pantas dipertanyakan karena persoalan di kampus Unima begitu banyak, dan mengapa hanya fokus pada posisi rektor? Bagaimana dengan skandal akademik Unima, pungli, nasib mahasiswa geothermal farmasi, monopoli beasiswa, nepotisme bidikmisi, plagiasi, kenaikan UKT, dugaan korupsi, proposal fiktif? Isu-isu yang selama ini tidak ditangani dengan transparan oleh pimpinan Unima. Mengapa terhadap isu-isu ini hanya bungkam? Menandakan gerakan ini juga telah terjangkit penyakit mentalitas haus kekuasaan.

Air keruh di Unima akan tambah keruh apabila kepentingan politik masuk tanpa hati dan tata krama di dalamnya. Politik untuk pendidikan adalah perlu, bukan pendidikan untuk politik. Sejatinya pelaku politik di bangsa dan daerah ini memahami batasannya ketika melibatkan diri dalam kampus yang seharusnya menjadi benteng moral dan karakter bangsa.

Partai berkuasa PDIP saya kira tidak akan sembarang terlibat dalam kasus ini dan pasti menghargai kewibawaan Menrisetdikti Mohammad Nasir untuk menentukan keputusannya. Kehormatan ORI juga tidak akan pudar walau rekomendasinya kelak ditolak.

Media cetak sekaliber Kompas sejatinya pula, perlu memberi ruang konfirmasi bagi pihak yang selama ini dituding (karena selama ini diberitakan sepihak). Agar pemberitaan cover both side. Saya kira Bapak Kompas Jacob Oetama selalu menekankan verifikasi berita dan mengedepankan jurnalisme kebaikan. Tidak hanya terhadap isu nasional, namun total hingga isu daerah.

Bagaimanapun, reputasi Kompas tetap terbaik di mata saya. Kalaupun ada satu dua produknya yang agak miring, itu hanya ulah oknum saja.

Pada akhirnya, Menristekdikti Mohammad Nasir dan Irjen Jamal Wiwoho akan mengambil keputusan. Tidak ada jaminan jika Paula Runtuwene lengser kemudian akan digantikan dengan yang lebih baik dan membawa perubahan di Unima. Bisa jadi malah tambah buruk.

Mungkin ada satu dua akademisi yang relatif clean and clear, dan bisa dipilih. Tapi bagaimana dengan kawan di sekelilingnya? Makanya sekali lagi, tak ada jaminan perubahan, karena memperbaiki Unima haruslah secara kolektif bersih.

Mereka yang mengincar kekuasaan di Unima, sebaiknya bersabar menunggu. Karena tidak sampai tiga tahun lagi akan dimulai proses demokrasi di Kampus Biru. Tapi sebelum itu, buktikanlah perjuangan Anda adalah total dan murni untuk kebenaran.

Menristekdikti Mohammad Nasir dan Irjen Jamal Wiwoho sebaiknya memantapkan hati untuk meneruskan periode kepemimpinan rektor Paula saat ini. Karena apabila ada keputusan signifikan, tentu akan berdampak tidak baik bagi generasi yang sedang menimba ilmu di kampus sekarang. Unima akan dimulai dari awal lagi dan pasti banyak energi, waktu, dan dana yang akan terbuang percuma.

Sebagai pribadi yang berprinsip teguh, rasanya tidak mudah keputusan Pak Nasir dan Pak Wiwoho akan goyah walau diserbu dari seluruh penjuru mata angin. Kedua tokoh ini harus mencari cara agar Unima benar-benar stabil setelah hampir dua tahun terus gaduh. Ketegasan adalah syaratnya.

Sementara itu, mahasiswa Unima seharusnya tidak hanya menjadi penonton, tapi mengambil peran dalam upaya transformasi Unima. Karena konflik yang tidak sehat di tataran elit ini, telah merugikan mahasiswa sendiri.

Mahasiswa perlu berpikir secara kritis dan mengambil sikap terhadap dinamika yang sementara terjadi di Unima saat ini. Tetapi juga, perguruan tinggi yang kuat adalah yang mendapat dukungan dan perhatian dari para alumninya. Salam.

 

Rofni Lolaen

Alumni Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang

Fakultas Bahasa dan Seni Unima

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun