Ada yang menarik dari perjalanan Bu Risma setelah terpilih menjadi Walikota Surabaya. Berbagai hantaman yang muncul lebih bersifat politis. Hantaman yang muncul itu datang dari DPRD Surabaya untuk memakzulkan dia.
SIDANGparipurna yang dilaksanakan pada hari senin (31/01) dihasilkan rekomendasi pemberhentian walikota Surabaya dari DPRD Surabaya. Kecuali fraksi PKS, semuanya merekomendasikan pemberhentian Risma sebagai walikota Surabaya.
Dalam kondisi yang demikian, PDIP sebagai pengusung Risma saat Pilwali lalu, sudah seharusnya dan selayaknya membantu Risma dalam memerangi hambatan yang datang dari para anggota dewan di DPRD Surabaya. Namun, sikap yang demikian tak terlihat. Malah, fraksi PDIP juga turut memberikan rekomendasi pemberhentian walikota Surabaya.
Muncul pertanyaan, mengapa rumah tangga politik PDIP dan Risma yang sangat harmonis saat pilwali, kemudian berubah menjadi hubungan yang tidak harmonis? Kiranya ketidakharmonisan antara PDIP dengan Risma yang mengarah pada perceraian hubungan politik antara keduanya bisa jadi disebabkan karena beberapa hal.
Pertama : Klaim Risma sebagai walikota pilihan rakyat, dan bukan karena partai. Kiranya, statmen tersebut melukai hati PDIP. Pasalnya, PDIP sebagai pendukung Risma saat pilwali, memberikan bantuan politik bagi kemenangan risma. Selain suara yang sangat banyak yang diberikan oleh para pendukung PDIP. Menjadi calon walikota telah diberikan oleh PDIP kepada Risma, meskipun dengan deal-deal politik yang tersembunyi antara kedua belah pihak.
Akan tetapi, di sisi lain, dengan statmen yang sering diutarakan sebagai walikota pilihan rakyat, Risma terkesan mengganggap rakyatlah yang memberikan kemenangan kepada dirinya. Bukan karena partai yang mengusungnya. Dari hal tersebut terlihat bahwa Risma sangat percaya diri untuk mengesampingkan kontribusi yang diberikan oleh PDIP.
Kepercayaan diri Risma bisa jadi karena beliau memiliki modal yang cukup ketika maju menjadi calon walikota Surabaya. Baik itu modal kinerja ketika menjabat sebagai kepala Bapekko Surabaya, maupun jaringannya kepada ibu-ibu yang memberikan suara ketika pilwali.
Kedua : Kepentingan-kepentingan PDIP tidak diakamodir oleh Risma. Dengan artian, majunya Risma dengan memakai perahu PDIP dalam pilwali, bisa dipastikan ada deal-deal tertentu dari kedua belah pihak. PDIP menawarkan posisi terhadap Risma, sedangkan Risma menginiginkan posisi. Lebih dari itu, jika Risma terpilih, PDIP menginginkan kepentingan-kepentingannya dapat dicapai melalui tangan dingin Risma.
Akan tetapi, kepentingan-kepentingan yang dimiliki oleh PDIP tak tercapai. Risma disinyalir lebih mementingkan orang-orang terdekatnya di lingkungan Pemkot Surabaya. Hal tersebut tak sesuai dengan harapan awal PDIP ketika mengusung Risma menjadi Walikota Surabaya. Kekecewaanpun semakin terlihat
dari PDIP. Hal itu, tercermin dalam pernyataan, Whisnu Sakti Buana, selaku Ketua DPC PDIP Kota Surabaya, yang merasakan ada pergeseran secara fundamental : Dari pemerintahan PDI Perjuangan – Sebagai Konsekuensi kemenangan partai dalam pilkada - menjadi pemerintahan Risma. (Jawa Pos : 30/01).
Sebagai konsekuensi dari disharmonisasi antara PDIP dan Risma, Risma tidak mendapatkan dukungan yang penuh dari PDIP. Salah satu buktinya adalah tidak terlihatnya peran signifikan yang dimainkan oleh Bambang DH sebagai wakil walikota Surabaya. Meskipun Bambang DH, saat ini menjabat sebagai wakil walikota Surabaya, pengalamannya dalam memimpin kota Surabaya di periode sebelumnya, dapat menjadi modal yang lebih dari cukup untuk melawan kepentingan-kepentingan lawan politiknya di DPRD Surabaya.
PDIP sendiri, malah dalam beberapa kebijakan yang diputuskan oleh Risma, terkait pembangunan tol tengah kota, maupun kenaikan pajak reklame, cenderung bersikap diam, dan kadangkala bersikap kontradiktif. Tentunya, apa yang terjadi antara Risma dan PDIP, sejatinya merupakan dinamika politik yang sangat lumrah dalam pentas politik.
Hal ini dikarenakan, dalam politik bukanlah hubungan kekeluargaan atau persahabatan, akan tetapi, hubungan kepentingan. Sehingga, jika kepentingan tidak tercapai, maka konsekuensinya adalah retaknya hubungan yang harmonis. Sangat diharapkan apa yang terjadi antara PDIP dan Risma, tidak menimbulkan gejolak yang meluas. Dengan artian, deal-deal untuk kembali menjalin hubungan yang harmonis, masih dalam kerangka politik Pancasila, yang mengarah pada kebaikan bersama seluruh rakyat. Bukan pada kebaikan bersama yang hanya sebatas kalangan atas, antara Risma dan PDIP. Semoga
*Aktivis HMI Cabang Surabaya& Peneliti di Lembaga NusantaraCentre Jakarta.
http://www.nusantaracentre.co.id/
(Opini Radar Surabaya, 05 Februari 2011 M)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H