Oleh : Rofiqi*
Jika melihat kiprahnya, terpilihnya Tri Rismaharini (Ibu Risma) menjadi walikota Surabaya tak lain dan tak bukan disebabkan track recordnya ketika menjabat kepala Badan Perencanaan Pembagunan Kota (Bapekko) Surabaya. Dengan tangan dinginnya, Surabaya yang rawan polusi udara disulap menjadi kota yang asri dan indah dengan menjamurnya taman-taman kota.
Tentu jabatan wali kota tidak bisa disejajarkan dengan jabatan kepala Bapekko. Jabatan wali kota lebih berat jika dibandingkan dengan jabatan kepala Bapekko. Sebagai tindak lanjutnya, memimpin kota Surabaya tidak cukup dengan skill program penataan kota. Akan tetapi, skill lainnya, seperti kapabilitas politik yang disertai dengan komitmen politik pancasila yang berorientasi pada penciptaan kesejahteraan umum, lebih dibutuhkan dalam upaya menghadapi kepentingan-kepentingan politik yang terjadi di sekeliling Ibu Risma.
Apalagi, sejak Ibu Risma menjabat hingga saat ini, Sudah berkali-kali terjadi ketidaksepahaman dengan Pemprov Jatim dan DPRD Surabaya. Awalnya, ketidaksepahaman terkait dengan pembangunan tol tengah kota, disusul pro dan kontra penutupan lokalisasi doly dan akhir-akhir ini kembali mencuat hambatan bagi Ibu Risma soal keputusannya menaikkan pajak reklame. Beberapa fraksi yang ada di DPRD Surabaya mengajukan hak interpelasi reklame.
Bahkan, Pengusaha La Nyalla M. Mattalitti melalui Aliansi Advokat Kota Surabaya telah melaporkan Ibu Risma ke Polda Jatim (10/01) karena tuduhan perusakan barang terhadap salah satu rekalame milik kliennya (Metropolis:11/1). Kiranya semua polemik bertubi-tubi yang datang menghampiri Ibu Risma mengandung unsur pemakzulan terhadap Baliau.
Tentu tak bisa dipungkiri juga, Polemik-polemik tersebut tak bisa dilepaskan dari hasil pemilihan walikota yang memenangkan Ibu Risma. Seperti diketahui bersama, dalam Pilwali Surabaya 2010, ibu Risma bergandengan dengan Bambang DH dan di dukung Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan(PDIP). Bertarung melawan kandidat lainnya tentu bukan hal yang mudah untuk memenangi pilwali Surabaya. Apalagi, kandidat-kandidat yang maju menjadi calon walikota dalam pilwali didukung koalisi partai besar dan kredibilitasnya tidak diragukan. Meskipun demikian, Ibu Risma tak gentar menghadapinya. Akhirnya, melalui Pilwali dua kali (hanya dibeberapa daerah), Ibu Risma berhasil memenangi pilwali Surabaya yang penuh dengan konflik dan intrik politik.
Kemenangan yang diperoleh dalam pilwali tidak lantas memuluskan kepemerintahan ibu Risma. Pasalnya, koalisi partai besar tersebut merupakan kekuatan utama dalam kepemerintahan Pemprov Jatim dan DPRD.
PDIP sendiri, yang pada pilwali Surabaya menjadi pendukung Ibu Risma, sejauh ini masih bisa diandalkan Ibu Risma. Namun hal tersebut tidak bisa selalu diharapkan begitu banyak. Sebab, dalam politik, kepentinganlah yang selalu menjadi skala prioritas. Jika kepentingan itu tidak tercapai. Bisa jadi PDIP akan berbalik menjadi hambatan politis.
Oleh karena itulah, hambatan politik di eksternal dan di internal tersebut, tantangan yang harus dihadapi oleh Ibu Risma dalam kepemerintahannya sebagai wali kota Surabaya. Hambatan itu bisa jadi dapat teratasi, jika Ibu Risma dapat menunjukkan kredibilitas, ketegasan dan kharisma kepemimpinannya dihadapan lawan politiknya di eksternal. Juga di hadapan pendukung politiknya yang sewaktu-waktu bisa jadi akan menjadi hambatan politis jika kepentingannya tak tercapai.
Kredibilitas, Ketegasan dan Kharisma sangatlah penting agar kemudian Ibu Risma tidak terlempar menjadi boneka politik. Sejauh ini, setelah Ibu Risma di lantik (28/9) dan menjalankan kepemerintahan di Surabaya. Kredibilitas, Ketegasan dan Kharisma tersebut sudah nampak dalam dirinya. Hal itu bisa dianalisis dengan keberaniannya mempertahankan keputusan yang diambilnya. Meskipun keputusan tersebut berbeda dengan lawan politiknya di eksternal. Semisal dalam kontroversi pembangunan tol, penutupan praktek prostitusi di kawasan Dolly serta komitmennya dalam menaikkan pajak reklame dan memprioritaskan peningkatan pada bidang pendidikan dan lingkungan.
Akan tetapi, pertanyaan yang cukup mengelitik tentunya, apakah Ibu Risma juga akan melakukan hal yang sama (komitmen dengan keputusan yang diambilnya) ketika berhadapan dengan kepentingan politik di internalnya? Terlepas dari itu semua, masyarakat sudah sangat mengharapkan tangan dingin Ibu Risma untuk kembali membantu menyelesaikan problematika sosial yang terjadi di Surabaya. Seperti masalah kemacetan, pendidikan dan pembagunan Ekonomi.
Dengan demikian, hambatan-hambatan politis tersebut bukanlah merupakan hambatan politis Ibu Risma sendiri. Hambatan itu secara global juga merupakan hambatan politis masyarakat Surabaya. Di sinilah terletak perlunya masyarakat untuk mendukung Ibu Risma selama Ibu Risma tidak menyimpang dari politik pancasila yang berorientasi pada kesejahteraan bersama dan kestabilan pembagunan pendidikan dan ekonomi di kota Surabaya. Semoga!
*Peneliti Muda di Lembaga Persemaian Kepemimpinan dan Pemikiran, Nusantara Centre Jakarta.
http://www.nusantaracentre.co.id/
(Opini Metropolis Jawa Pos, Selasa 18 Januari 2011)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H