(Refleksi Debat Capres ke-4, Prabowo adalah David Moyes dalam dunia politik)
Seorang presiden harus mampu mengerti banyak permasalahan, bahkan di bidang yang tidak ia kuasai" suatu amanat para pendiri negara AS berabad-abad lalu. Begitu pun nasihat para pemimpin Dinasti Cina sejak ribuan tahun yang lalu. Seolah menjadi jawaban mengapa Tsun Zhu yang bukan merupakan tentara bisa menjadi ahli perang yang melegenda tidak hanya di dataran Cina, melainkan dunia.
Begitu pun Bung Karno yang hanya seorang sipil namun armada militernya seperti kapal selam sangat canggih pada masanya, (54 unit) sementara Soeharto yang mantan jenderal hanya memiliki 2 unit kapal selam kuno.
Ya, pemimpin negara harus mau mendengar dan mengamati langsung keadaan negaranya, keadaan pasukan militernya, meskipun ia tidak ahli dalam bidang itu. Tentu saja itu menjadi syarat agar kebijakan yang diambil sang pemimpin tidak salah, tidak keliru yang itu bisa berdampak dahsyat bagi ratusan juta rakyatnya.
Debat capres ke-4 kemarin menjelaskan semuanya kepada rakyat Indonesia bahwa Prabowo, mantan tentara yang dipecat oleh Dewan Etik militer karena tindakan yang bertentangan dengan sumpah jabatannya (menghilangkan bahkan membunuh para aktivis demokrasi di 98) tidak akan mampu menjadi presiden, ia bukan hanya tidak mampu memahami begitu kompleksnya permasalahan di negara ini, ia juga ternyata tidak paham soal strategi militer, bidang yang seharusnya ia kuasai.
Ketidakmampuan Prabowo mengerti persoalan bangsa sudah terlihat sejak debat pertama. Setiap permasalahan yang ditanya panelis mulai dari masalah hukum, birokrasi, ideologi, infrastruktur, bahkan hingga diplomasi inernasional, ia hanya jawab "anggaran harus besar, negara ini harus punya uang, uang, dan uang" namun lucunya, Prabowo tidak pernah sedikit pun mengatakan dari mana anggaran atau uang yang banyak itu akan didapatkan.
Padahal, layaknya pertandingan sepak bola, setiap pelatih dunia seperti Pep Guardiola hingga Jurgen Klopp misalnya selalu menerapkan strategi yang berbeda di setiap pertandingan, artinya pendekatan dalam menghadapi setiap permasalahan haruslah berbeda, harus dicari cara apa yang paling efektif untuk menghadapi setiap lawan atau masalah.
Nah, apa yang dilakukan Prabowo jelaslah kuno, menggunakan strategi uang uang uang di setiap persoalan bangsa. Dalam sepak bola, Prabowo tidak lebih dari seorang David Moyes yang dipecat karena performa buruk MU berkat strategi monoton yang digunakan di setiap pertandingan.
Yang lebih fatal, di debat Capres ke-4 yang membahas tentang keamanan negara, Prabowo justru melakukan sebuah blunder fatal.Â
Pertama, ia tidak percaya terhadap kekuatan TNI yang dikatakannya lemah (padahal kemampunan TNI masuk dalam 15 besar dunia, bahkan yang terbaik di Asia).
Kedua, ia bahkan tidak setuju Gelar Pasukan 3 yang sudah dilakukan TNI di masa pemerintahan Jokowi. Padahal, latihan perang itu dilakukan demi mejaga perbatasan wilayah laut Indonesia yang sudah mampu merubah nama Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna Utara!!! Prabowo tidak setuju nama Cina diganti? kabar yang cukup mengejutkan.
Ketiga, selain tidak percaya terhadap kekuatan TNI nya sendiri, Prabowo juga merendahkan bangsanya sendiri yang diklaimnya dipandang remeh dunia internasional. Padahal, baru saja Indonesia untuk pertama kalinya dipilih menjadi anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB oleh 144 negara. Bulan Mei nanti bahkan Presiden Jokowi akan memimpin langsung sidang DK PBB di New York.
Ironisnya blunder Prabowo ditutup dengan blunder yang jauh lebih sempurna, yaitu menunjukkan ketidakstabilan dirinya mengendalikan emosi. Di depan ratusan juta rakyat Indonesia yang menonton debat, ia justru memarahi penonton yang dianggapnya menertawai Prabowo, padahal penonton hanya tersenyum biasa (yang sudah terjadi sebelumnya sejak debat pertama).
Terakhir, saya mendapat informasi dari ibu saya di rumah, banyak tetangganya yang sebelumnya mendukung Prabowo kini menjadi memilih Jokowi pasca debat kemarin.
Mereka semua takut, selain karena melihat Prabowo yang terlalu bengis (marah tanpa sebab) dan menghina bangsanya sendiri, mereka juga ingin memiliki pemimpin yang lahir dan tumbuh dari keluarga muslim, tidak seperti pengakuan Prabowo kemarin, yang lahir dan besar dari keluarga Nasrani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H