Mohon tunggu...
Arofiq Rofiq
Arofiq Rofiq Mohon Tunggu... profesional -

Nama lengkap arofiq biasa dipanggil rofiq, kenapa di kompasiana Username URL-nya menggunakan inisial rofiq70, ya karena sudah terlanjur dan sekedar memberi tanda lahir di tahun 1970, maksudnya biar nggak bandel lagi karena umurnya udah semakin tua……hehehe. Pernah menjadi wartawan majalah remaja dan mode 15 tahun yang lalu. Sekarang berkiprah di dunia per-konsultan-an bidang manajeman, komunikasi perusahaan, media sosial, etc…….

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Polemik Diyat, Haruskah Dibayar dari APBN?

29 Maret 2014   13:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:19 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13960507291782221037

[caption id="attachment_329094" align="alignnone" width="267" caption="SAVE SATINAH - posteraksi.org"][/caption]

Hari ini Sabtu Tanggal 29 Maret 2014 merupakan H-6 batas pembayaran Diyat Satinah guna membebaskan dari hukuman mati pancung. Bagi kita sesama warga bangsa Indonesia, posisi ini sungguh menyinggung rasa kemanusian kita yang terdalam untuk berusaha semampu kita untuk bisa berkontribusi bisa membayar Diyat sebagai bagian penebusan. Untuk Diyat Satinah angkanya terbilang fenomenal yaitu 7 Juta Reyal (Rp 21 Milyar), angka ini sungguh luar biasa mengingat tiga tahun lalu pada tahun 2011, ketika membebaskan Darsem dari hukum pancung Diyatnya masih sekitar 4 Milyar.

Apa sebenarnya Diyat itu? Diyat dalam perspektif bahasa Arab memiliki akar kata yang berarti tebusan antara denda. Sinonim kata diyat adalah berarti pengikat.Diyat sebagai punishment memiliki dua fungsi, yaitu sebagai pencegahan (preventif) dan penanggulangan (kuratif). Diyat sebagai fungsi preventif dimaksudkan untuk tubuh, sedangkan diyat sebagai fungsi kuratif adalah agar orang yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi perbuatannya.

Kita mengetahui bahwa Arab Saudi adalah salah satu Negara Islam yang menganut hukum syariat Islam. Di dalam hukum syariat Islam dikenal dengan hukum Qishash. Hukum qishash adalah hukuman yang dikenakan kepada pelaku pelanggaran atas badan siapapun warga negara, baik dia orang merdeka maupun budak, baik pria maupun wanita, yang menjadi warga negara dimana syariat Islam diterapkan. Pelanggaran bisa menimbulkan luka atau hilangnya anggota badan maupun hilangnya nyawa seseorang yang dilanggar pelaku tindakan kriminal tersebut.

Dalam konteks maknanya, Qishash adalah hukuman berupa pembalasan yang sama  terhadap serangan dari seseorang kepada korban. Artinya, jika penyerang yang sengaja hendak membunuh korban membuat nyawa korban hilang alias mati, maka penyerang dihukum mati. Jika penyerang menghilangkan tangan kanan korban, maka tangan kanan penyerang itu dihilangkan. Demikian juga jika penyerang merontokkan beberapa gigi korban atau membutakan mata korban, maka beberapa gigi penyerang dirontokkan atau matanya dibutakan. Jadi qishash adalah hukuman atas penyerangan sengaja kepada badan korban dengan pembalasan yang setimpal. Namun dalam beberapa pengertian Qishash juga tidak hanya sebatas pada penyerangan yang disengaja, penyerangan yang tidak disengaja (dalam konteks pembelaan diri pun), dimasukkan dalam hukum Qishash.

Hukuman Qishash itu tidak dilakukan atau akan dibatalkan, bila sang pembunuh mendapat kema'afan dari ahli waris korban yang terbunuh yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. Dalam beberapa riwayat ketika pada zaman Rosulullah besarnya diyat untuk ganti rugi pembunuhan sengaja (al qatl amad) adalah sebesar 100 ekor onta dengan  perincian 40 ekor di antaranya hamil. Ini disebut diyat yang berat (diyat mughalazhah). Diyat yang berat ini juga diterapkan kepada pembunuhan serupa sengaja (syibhul amad), maksudnya pembunuhan yang terjadi ketika pelaku memukul korban walau bukan pukulan yang mematikan tapi ternyata akibatnya dapat menghilangkan nyawa orang, misalnya guru memukul seorang murid untuk mendidiknya, namun akibatnya ternyata fatal sampai meninggal. Adapun pembunuhan tersalah (khatha’), yakni misalnya seorang pemburu yang menembak kijang yang lari ke semak-semak tapi ternyata yang jadi korban adalah manusia, maka diatnya adalah 100 ekor unta tanpa syarat ada yang hamil. Namun kini besarnya Diyat tergantung dari permintaan dari ahli waris keluarga korban, dan ada kecenderungannya makin lama nilainya berlipat-lipat makin besar. Misalnya salah satu terpidana mati Zaenab oleh ahli waris keluarga korban dituntut untuk membayar Diyat sebesar 90 Milyar.

Pada konteks inilah para TKW harus diberikan pengertian yang lengkap tentang tata hukum di Arab Saudi yang menganut hukum syariat Islam. Selama ini para TKW hanya diberikan pelatihan pada tataran teknis mengenai jobs description yang akan dilakukan. Hal ini sangat penting mengingat beberapa kasus yang terjadi mayoritas karena adanya tekanan beban kerja yang sangat berat dan adanya beberapa tindakan pelecehan seksual maka para TKI ini dalam rangka pembelaan diri, namun tanpa sengaja malah menyebabkan Tuan Rumah yang mempekerjakannya Tewas. TKI harus diberikan tip dan triks untuk menghindari berbagai tindakan pelecehan seksual tanpa mengakibatkan kecelakaan fatal atau mematikan. Misalnya TKW diberikan HP yang bisa online langsung pada petugas di Kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi.

Kita kembali pada judul artikel ini, haruskah Diyat yang dibayarkan untuk membebaskan para TKI dari hukuman mati tersebut diambil dari APBN? Masalah ini tentu tidak sesederhana pada masalah kepedulian kemanusiaan, dimana Pemerintah secara bebas menggunakan APBN untuk keperluan pembayaran Diyat. Karena bagaimanapun APBN mempunyai mekanisme pertanggungjawaban tersendiri atas pantauan Direktorat teknis dan pengawasan lembaga BPK. Kalau pada konteks advokasi hukum misalnya menyediakan team pengacara yang terbaik termasuk berbagai upaya lobi baik antar kepala negara, dan lobi kepada keluarga korban memang merupakan kewajiban Pemerintah untuk membela setiap warga negaranya yang ada di Manca Negara.

Ada kecenderungan di Arab Saudi bahwa besarnya Diyat yang dituntut oleh keluarga korban “dikomersilkan” atau bahkan semacam upaya “pemerasan” karena mereka mengetahui bahwa Diyat itu bukan berasal dari keluarga pelaku pembunuhan, namun Diyat itu akan ditanggung oleh Pemerintah. Karena Diyat itu akan ditanggung pemerintah Indonesia asal dari TKI, maka nilainya hampir tidak terbatas. Kisah cerita Darsem pada Tahun 2011 yang setelah terbebas dari hukuman pancung hidupnya malah bergelimang harta, dan cerita ini ternyata dimuat di media Arab Saudi sehingga sempat menjadi topik pembicaraan hangat bagi publik masyarakat di Arab Saudi.

Opini berita negatif dari TKI yang terbebas dari hukuman mati inilah yang sedikit banyak mempengaruhi opini mayoritas keluarga di Arab Saudi. Maka tidak salah kalau para ahli waris korban ini menuntut untuk pembayaran Diyat secara maksimal. Menurut penulis, ke depan keputusan bahwa pembayaran Diyat yang akan diambilkan dari APBN harus dibicarakan dengan DPR RI karena melibatkan jumlah Dana yang sangat banyak. Apalagi menurut data ternyata TKI yang bernasih seperti Darsem, Satinah, Zaenab yang terancam hukuman mati, yang tempatnya tersebar di Arab Saudi, Malaysia dan beberapa negara yang lain jumlahnya 265 orang. Mudah-mudahan pada masa tenggat H-6 dari batas akhir pembayaran Diyat untuk membebaskan Satinah dari ancaman hukuman mati, team negosiasi pemerintah Indonesia bisa menemukan jalan kesepakatan dengan pihak ahli waris korban, sehingga Satinah bisa terbebas dari hukuman pancung.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun