Kota Bandung. Sejuk. Bersih. Ramah. Indah. Juga sarat kisah Histori.Â
Inilah kesan saya pribadi sejak tiba di Stasiun Kereta Api Bandung, pagi pukul 10.15 Wita, Rabu 27 November 2019. Kesan serupa juga saya rasakan saat jalan-jalan selama hampir sehari penuh di dua tempat di kota kembang ini.
![Foto rofinua dk](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/11/28/20191127-133921-5ddeac92097f36426c0266e2.jpg?t=o&v=770)
Setelah check in di hotel dekat Stasiun Kereta Api Bandung, saya dan teman saya bernama Frans Ngara, bergegas menuju Gedung Sate, Kantor Gubernur Jawa Barat. Kami sebetulnya ingin tahu tentang gedung berhistori yang merupakan peninggalan kolonial Belanda itu.
Tapi setelah tiba di sana tampak ada kesibukan pameran di halaman gedung sate itu, maka kami memilih mengamatinya dari jalan raya saja. Meski demikian kami sempat ngobrol dengan seorang ASN muda lulusan IPDN bernama Nuke.
"Mohon ijin teh, mengapa gedung ini dinamakan gedung sate?" tanya saya.
"Karena benda di puncaknya itu berbentuk tusuk sate," jawabnya singkat.
Karena jawaban gadis cantik itu hanya simpel begitu maka saya pun tidak bersemangat untuk menggali makna lanjutannya. Dalam pikiran saya, mungkin saja gadis itu kurang wawasan. Jadi sudahlah.
Kami beruntung bisa ngobrol dengan seorang laki-laki setengah baya penjual cindera mata di pinggir jalan. Dari orang ini kami dapat cerita cukup tentang gedung sate tersebut.
![Foto rofinus dk](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/11/28/20191127-134006-5ddead0b097f366b4e70d5d2.jpg?t=o&v=770)
Lanjutnya, gedung sate tersebut, dibangun dengan konstruksi menyerupai gunung tangkuban perayu di hadapannya. Saat itu ia menunjuk gunung tersebut yang sedang terselubung kabut. Sehingga tidak tampak jelas di mata kami.