Dalam kehidupan tradisi sosial budaya orang Sumba dikenal yang namanya pitutur adat. Orang Sumba, khususnya Kodi menyebutnya Panggecongo atau Lawiti.Â
Suatu bahasa sastra daerah yang digunakan oleh orang-orang yang berkecimpung dalam urusan tradisi adat-istiadat sebagai alat komunikasi khusus yang memiliki makna simbolik dan juga sangat filosofis. Indah didengar namun tidak mudah dipahami oleh orang-orang awam yang kurang rajin mendalaminya.
Tradisi pitutur adat orang Sumba sangat luas. Oleh karena itu yang saya sajikan melalui artikel ini adalah pitutur adat orang Sumba, khususnya wilayah suku Kodi, dalam simbol binatang atau hewan, baik yang hidup di laut maupun darat. Saya juga akan coba mengungkap makna filosofisnya.
Hewan Laut
Hewan laut yang paling umum dibahasakan secara simbolik dalam pitutur adat adalah penyu (Ghannu) dan gurita (Kawica). Bunyinya yaitu "Katakuna Ghannu, Bobona Kawica". Terjemahannya, "Kepala penyu, kepala gurita".
Apa makna filosofisnya? Pitutur adat tersebut merupakan bahasa simbolik halus untuk menyebut para pemimpin yang berpengaruh, baik informal maupun formal, yang baik dan dapat diteladani.
Pemimpin informal yang dimaksud meliputi tokoh-tokoh masyarakat adat dan tetua dalam kampung adat. Sedangkan pemimpin formal meliputi kepala desa, camat, bupati, gubernur, dan presiden.
Hewan Darat
Hewan darat yang sering dibahasakan secara simbolik dalam pitutur adat orang Sumba adalah ayam, anjing, kambing dan kuda.
Dalam pitutur adat ada ungkapan atau kiasan simbolik yang menyebut ternak ayam, khususnya ayam jantan. Bunyinya adalah Maghale Helu Kuka. Jika diterjemahkan secara lurus maka artinya yaitu ayam jantan pengganti yang berkokok. Tapi maksud sesungguhnya adalah tokoh besar yang muncul melalui generasi penerusnya.
Ungkapan simbolik dalam pitutur adat yang menyebut ternak anjing beragam makna filosofisnya, meliputi yaitu memberi teguran, sindiran, nasehat dan persahabatan.Â
Misalnya, "Bangga Teyo Kalahu". Secara harfiah berarti anjing yang membuang kotoran besar sembarangan. Ini teguran atau sindiran kepada orang-orang yang tidak diharapkan hadir dalam suatu peristiwa penting. Juga, teguran atau sindiran kepada orang-orang yang berbicara sembarangan di forum atau tempat penting. Bisa juga pembicaraannya di luar konteks topik pembahasan resmi.
Contoh lain adalah "Bangga Katonga". Terjemahan harfiahnya yaitu "Anjing Bale-bale". Ini ungkapan sarkastis untuk orang-orang yang setia mengikuti tuannya. Katakanlah seperti hamba (ata). Bisa juga untuk security (penjaga) tuannya. Tuan, dalam konteks ini, adalah orang-orang kaya dan mempunyai status sosial tinggi. Di Sumba dikenal dengan sebutan Rato atau Maramba.
Selain itu, ada juga ungkapan "Bangga Ole Ura". Secara harfiah berarti anjing segaris tangan. Ini ungkapan persahabatan yang harmonis dan mendatangkan berkat tersendiri. Bisa dengan ternak anjing benar-benar atau orang lain.
Nama ternak kambing, khususnya kambing jantan besar, juga menjadi ungkapan simbolik dalam pitutut adat. Bunyinya yaitu "Pakode Helu Ndende". Secara harfiah berarti "Kambing jantan besar yang berdiri tegak kembali". Kambing jantan besar yang dimaksud disini adalah yang tanduknya sudah panjang dan kokoh, yang disebut Pakode. Tapi makna sesungguhnya yang terkandung di balik pitutur itu adalah hadirnya kembali (calon) orang besar yang mereinkarnasi tokoh sebelumnya (leluhur) yang mempunyai kedudukan sosial dan kekuasaan.
Ternak kuda pun ada dalam kiasan simbolik pitutur adat. Kuda dan manusia dianggap mempunyai hubungan psikologis atau kejiwaan dan kesetiakawanan. Terkait hal ini tergambar dalam pitutur adat yang berbunyi yaitu "Ndara Ole Ura", yang berarti kuda sebagai kawan segaris urat tangan.
Demikian sekilas gambaran pitutur adat orang Sumba dalam simbol hewan. Semoga bisa menambah wawasan tradisi sosial budaya bagi kita semua.
Tambolaka, 03 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H