Ketika baru-baru ini kasus ijasah Aspal Komedian Nurul Qomar, Rektor Universitas Muhadi Setiabudi (Umus) Brebes, Â terungkap di publik tanah air, saya teringat dengan tulisan Sinansari Ecip di Kolom Khusus Harian Nasional Suara Pembaruan pada awal 1990 silam. Bagi Kompasianer yang mengenal beliau, tolong beri koreksi nama Sinansari Ecip yang benar.
Waktu itu Ecip berprofesi sebagai seorang dosen pada salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Melalui Kolom Khusus itu, Ecip mengisahkan tentang pengalamannya mendapat kesempatan tugas belajar ke luar negeri, di Oxford Univercity London, Inggris.
Sebagai persyaratan penting untuk melanjutkan pendidikan program doktoral di universitas tersebut, Ecip wajib mengikuti tes wawancara kompetensi dari beberapa profesor di Oxford. Setelah Ecip mengikuti tes terkait ilmu yang rencananya untuk dipelajarinya, para profesor tersebut merasa lucu dan aneh serta merekomenasikan kepada Ecip untuk tidak perlu lagi melanjutkan studinya dan kembali saja Indonesia.
Mengapa begitu? Para profesor Oxford tersebut mengatakan dua hal kepada Ecip. Pertama, kompetensinya pada ilmu yang mau didalaminya sudah sekaliber doktor. Melanjutkan studi lagi hanya merupakan pemborosan waktu dan biaya. Tidak efisien dan sia-sia.
Kedua, di Inggris, kata para profesor tersebut, walaupun orang berpendidikan sarjana S1, S2 dan S3 serta sudah dikukuhkan negara (pemerintah) menjadi profesor, tidak ada yang menggunakan gelar-gelar akademik di namanya. Rupanya di Inggris gelar sarjana dan ijasah bukan persyaratan utama lagi bagi mereka untuk bekerja dan menjabat kedudukan tertentu. Di sana kompetensi atau keahlianlah yang diutamakan.
Atas rekomendasi para profesor Oxford tersebut, maka dengan berat hati, pulanglah Ecip ke Indonesia. Mengapa berat hati, karena di Indonesia pada awal 1990-an, sudah berlaku aturan untuk para dosen yaitu harus berpendidikan akademik minimal S2. Karena tuntutan aturan ini maka para dosen yang berijasah S1, meskipun sudah senior, mau tidak mau harus berusaha lagi untuk melanjutkan studi ke jenjang S2.
Di samping itu, untuk mendapatkan kesempatan belajar ke luar negeri waktu itu bukan perkara mudah. Hanya sedikit orang yang bisa memperolehnya. Lalu Ecip harus pulang begitu saja. Artinya, Ecip menyia-nyiakan kesempatan yang diperolehnya tersebut.
Apakah setelah sampai di Indonesia, Ecip masih berusaha melanjutkan studinya di perguruan tinggi tanah air atau negara lain, karena ijasah dan gelar S2 dan S3 sangat dibutuhkan untuk persyaratan akreditasi dan mungkin juga gengsi perguruan tinggi di Indonesia, saya sendiri tidak ikuti lagi. Karena setelah itu saya sudah pulang kampung dan sangat sulit untuk akses informasi.
Kasus pengalaman Ecip di atas, saya mengungkitnya kembali, tanpa tendensi sedikit pun untuk menggoda orang-orang yang ingin menempuh pendidikan yang lebih tinggi dari jenjang sarjana S1 ke jenjang S2 dan S3 supaya menghentikan niatnya. Tapi sebagai refleksi untuk kita semua bahwa ijasah dan gelar S1, S2, dan S3 yang dimiliki mengandung bobot nilai keilmuan dan tanggung jawab moral yang besar.
Ijasah dan gelar sarjana itu, bukan sekadar bukti sah kita berpendidikan formal, sebagai modal seperlunya untuk mencari kerja dan menduduki jabatan strategis tertentu. Â Tapi, seharusnya juga menjadi bukti sah bahwa kita memiliki kecerdasan, keahlian dan kompetensi keilmuan tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral.
Kasus yang dialami Qomar sekarang ini adalah bukti konkret bagaimana ijasah dan gelar sarjana direduksi nilainya hanya sebagai selembar sertifikat bukti administratif biasa sebagai modal seperlunya untuk menduduki jabatan strategis tertentu.  Ia memburu ijasah dan gelar sarjana, tanpa bersusah payah mengampuh pendidikan secara formal. Ia hanya bersusah payah mengeluarkan uang saja. Di sini ijasah dan gelar sarjana, tidak mengandung nilai  kecerdasan, keahlian dan kompetensi keilmuan tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral.
Dengan terungkapnya kasus Ijasah Aspal Qomar menjadi pidana sekarang ini, mudah-mudahan tidak terulang lagi kasus serupa yang memalukan dunia pendidikan kita di tanah air ini.
Â
Tambolaka, 03 Juli 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H