Saat bepergian kemarin pagi, Jumat 7 Juni 2019, melalui jalan hotmix Pantai Utara, tiba-tiba dari arah kiri kendaraan kami meluncur seekor binatang buas dari arah kiri dan sampai di sisi kanan jalan ia menoleh ke arah kami. Binatang yang sudah langka dan jarang sekali untuk bisa dilihat ini adalah buaya darat, jenis yang kecil. Kami mengenalnya dengan nama Laghora.Â
Saya kaget dan segera menginjak pedal rem. Kendaraan kami terantuk sebentar. Karena khawatir ban kanan depan akan membunuh Laghora tersebut.Â
"Ada uang kecil?" tanyaku spontan kepada seorang ibu cantik di samping kiriku, sebelum saya menginjak kembali pedal gas.
"Tidak ada," jawabnya. Isteriku yang tercinta ini, yang sudah memberiku satu putri dan satu putra yang sudah mulai dewasa, sangat paham dengan kebiasaan saya yang selalu mempercayai tanda-tanda alam, sebagaimana diwariskan oleh kakek-nenek dan orang tua saya. Istriku ini paling tidak percaya itu. Dianggapnya tahayul belaka.
Seandainya isteriku mengatakan ada uang kecil, maka saya akan segera meminggirkan kendaraan di sisi kiri jalan. Kemudian saya akan membuang uang di tempat yang dilalui oleh Laghora tersebut. Kalau ada sirih pinang yang dibawa lebih bagus lagi. Ini semacam ritus untuk memberi bagian kepada Laghora tersebut agar tujuan perjalanan kami bisa sukses.
Â
Tapi karena isteriku mengatakan tidak ada uang kecil, maka saya segera menginjak pedal gas. Namun dalam perjalanan menuju tujuan kami, pikiran dan hati saya terganggu atau kurang nyaman dengan munculnya Laghora tadi.
Mengapa? Menurut pengalaman kakek-nenek, orang tua dan kerabat-kerabat saya, jika sedang bepergian dengan tujuan tertentu bertemu orang dan harus bertemu dengan Laghora di dalam perjalanan, mereka meyakini  tidak akan berhasil atau ada halangan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Laghora ini mempunyai lidah yang bercabang. Tipikal lidah Laghora ini mereka personifikasikan dengan orang yang suka bercabang lidah. Tidak bisa dipegang omongannya, suka plin-plan dan mudah digurui atau dipengaruhi oleh orang lain. Sehingga pikirannya berubah-ubah. Dalam pitutur adat kami disebut Laghora Kahanga Lama.
Meskipun saya cukup mempercayai pertanda alam itu, namun sebagai insan yang sudah beragama (atau lebih tepatnya beriman sih!), berusaha berdoa sebentar sambil memantapkan pikiran dan hati untuk siap menghadapi segala sesuatu kemungkinan dengan arif  yang akan terjadi berkaitan dengan tujuan perjalanan kami.
Saat itu kami pergi untuk melakukan pengukuran batas lokasi tanah kami di daerah pantai utara. Tiba di lokasi kami segera merapikan area batas lokasi agar petugas pertanahan tidak mengalami kesulitan saat melakukan pengukuran dengan Teodolit.Â