Pagi nan cerah. Juga pagi nan indah. Â Jauh di sana, di ufuk timur, fajar mulai merekah manja. Menyuguhkan rupa yang molek. Menyunggingkan senyum dikulum.
"Bunga Padang", bukan kembang ilalang padang. Sebuah frase yang keren. Sekeren fenotipe fisiknya. Moncong seperti pesawat Merpati. Bodi layaknya kuda pacu sandalwood yang lansing seksi.
Bunga Padang terlihat tangguh. Tangguh ditopang keempat kakinya yang kokoh.
*****
Enam bulan kemudian setelah berada di wilayah timur bumi Sandalwood, Rangga Mone dan teman-temannya sudah mempersiapkan diri untuk pulang liburan sekolah ke kampung halaman mereka di wilayah barat. Masa itu, pertengahan tahun 1980-an. Kondisi riil sarana dan prasarana perhubungan dan transportasi darat antar kota kabupaten masih sangat terbatas.
"Saya sudah pesan bus untuk kalian yang ke wilayah barat. Sedang untuk kalian yang ke wilayah timur dan selatan, saya sudah pesan truk. Saya ingatkan supaya selama liburan di sana, kalian bantu persiapan Perayaan Natal di gereja. Tunjukkan identitas kalian sebagai anak-anak asrama seminari pewarta injil. Saya ingatkan juga supaya sehari sebelum masa liburan berakhir, kalian sudah kembali ke sini. Saya juga titip salam untuk orang tua kalian ya," kata Pastor Bapak Asrama, saat selesai makan malam.
"Siaaaaap. Terima kasih, Pater!" kata siswa-siswa tersebut bersemangat, layaknya koor.
Kemudian pastor berdiri, lalu berkata, "Tuhan besertamu."
"Dan sertamu juga," jawab siswa-siswa, yang sudah berdiri juga.
"Semoga perjalanan kalian, berada dalam perlindungan, bimbingan, dan berkat dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus," demikian pastor memberkati siswa-siswanya.
"Selamat malam dan selamat beristirahat," sambung Pastor itu, lalu meninggalkan ruang makan. Siswa-siswa segera membereskan meja makan, mencuci panci nasi dan piring serta sendok, sebelum melanjutkan dengan rekreasi.
"Kita patut bersyukur teman, Â pulang liburan ini kita sudah pakai bus. Ini pertanda daerah kita sudah mulai maju," Â kata Rangga Mone, saat sedang rekreasi.
"Sepakat teman, daerah kita sudah mulai beranjak maju. Lihat saja, kita baru enam bulan di sini, jalan raya sudah aspal. Oto penumpang sudah bus baru. Dulu kita datang, jalan raya masih perkerasan. Oto yang kita 'naik' masih truk atau bus tua yang besar dan modelnya roti balok. Namun demikian, saya khawatir esok bisa mabuk di jalan. Soalnya bus baru itu tertutup dan mini lagi. Saya sebetulnya lebih suka truk karena terbuka. Bisa menghirup udara secara bebas," Â begitu respon Julens Rehi Bula.
"Parah. Dasar orang kampung. Belum 'naik' bus juga, sudah pikir mabuk," lanjut Rangga Mone menyindir temannya dalam nada canda.
Julens Rehi Bula juga balas canda dengan nada yang lebih menohok lagi, "Kau macam orang kota saja. Padahal kau lebih kampung dari saya. Rumahmu masih di udik. Turun dari oto, harus capai jalan kaki dulu baru sampai. Â Sendal harus dilepas lagi karena jalannya penuh lumpur. Tidak tahu diri lagi, suka naksir Tari Mbuku, yang orang tuanya guru dan rumahnya di pinggir jalan umum. Mudah-mudahan Tari Mbuku tidak suka terus sama kau. Supaya kau stress berat."
"Nah, ketahuan kau ya! jangan-jangan kau yang pengaruhi Tari Mbuku selama ini. Jujur saja, jangan sampai kau naksir dia juga. Dasar pagar makan tanaman," sela Rangga Mone, tanpa pretensi serius mencurigai temannya.
"Tunggu kau punya bagian sampai di kampung. Saya akan goda itu gadis pujaan hatimu. Kalau perlu saya akan bawa lari. Supaya kau dapat nol besar," timpal Julens Rehi Bula.
Mereka akhirnya tertawa terbahak-bahak. Tidak ada sedikitpun perasaan tersinggung diantara mereka, karena sudah  berteman karib sejak sekolah dasar. Kedua orang tua mereka juga sahabat akrab.
*****
Pagi itu, bus mini bernama "Bunga Padang" parkir di bawah empat pohon trembesi raksasa di pelataran depan gedung tempat tinggal dan sekaligus kantor Bapak Asrama. Trembesi itu sangat berjasa untuk komunitas asrama bukit ini. Sebab trembesi itu merupakan "pabrik" oksigen terbesar yang menciptakan iklim mikro kesejukan siang hari di area asrama.
Rangga Mone dan teman-temannya, bergegas naik bus keren itu, setelah mereka satu persatu menyalami Bapak Asrama. Bunga Padang mulai bergerak. Mereka melambaikan tangan untuk Bapak Asrama.
Hari masih pagi saat Bunga Padang mulai melewati bibir luar ring kota wilayah timur itu. Cuasa masih juga cerah, meskipun saat itu sedang musim hujan.
Jarum speed meter Bunga Padang naik dratis di angka 60, lalu 70, stabil 80, dan sesekali 90-100. Laju kencang tanpa goyangan, kecuali sesekali di tikungan. Satu setengah jam kemudian, sudah tiba di wilayah perbatasan antara kedua kabupaten. Bunga Padang parkir di terminal. Tempat untuk istirahat.
Suatu perjalanan yang menyenangkan. Tanpa goyangan yang berarti. Cepat lagi. Berbeda dengan enam bulan sebelumnya. Kendaraan dan penumpangnya joget terus menerus sepanjang perjalanan , karena jalan masih perkerasan dan banyak lubangnya. Waktu tempuh yang dibutuhkan pun bisa 5-6 jam sampai di wilayah perbatasan itu.
Rangga Mone dan teman-temannya turun dari bus dan masuk warung. "Perjalanan kali ini sangat cepat ya. Satu setengah jam lagi, kita akan tiba di kota kabupaten kita. Berarti kita masih dapat oto menuju kampung. Kayaknya, kita tidak perlu lagi bermalam di kota," tutur Rangga Mone, saat mereka sedang makan di warung.
"Saya yakin kita bisa langsung ke kampung hari ini. Sekarang saja masih pagi. Paling tidak sekitar jam 12 siang kita tiba di kota. Tapi di sana nanti kita naik truk saja ya. Soalnya, saya sudah pusing sekarang ini. Otonya terlalu lari. Saya khawatir bisa mabuk betul dalam perjalanan nanti," kata Julens Rehi Bula menanggapi Rangga Mone.
"Kalau kita tidak dapat truk lagi, mau tidak mau, kita harus naik bus atau bemo," kata Rangga Mone.
"Jangan begitu teman. Kita bermalam di kota saja kalau tidak dapat truk," pinta Julens Rehi Bula.
"Saya tidak mau bermalam. Saya ingin sampai di kampung sore ini," goda Rangga Mone kepada Julens Rehi  Bula.
"Kau ini tidak setia kawan betul. Masa, teman sengsara di jalan tapi mau dibiarkan bermalam sendiri. Apa juga yang membuatmu buru-buru sampai di kampung. Jangan-jangan, kau sudah kangen Tari Mbuku? Percuma, dia tidak akan peduli juga sama kau!" kata Julens Rehi Bula, balas menggoda.
"Kau juga sama saja. Saya sengsara perasaan, kau juga tidak peduli. Bukan berusaha bantu teman, tapi kau mau rebut Tari Mbuku dari saya," sambung Rangga Mone.
"Lihat saja nanti. Jika kau tinggalkan saya sendiri di kota, maka sampai di kampung saya akan ambil betul itu kau punya gadis pujaan hati," balas Julens Rehi Bula.
Bunyi bel bus Bunga Padang menghentikan goda-canda mereka yang tak karuan. Mereka segera naik bus. Dengan laju standar kecepatan yang sama sebelum istirahat tadi, Bunga Padang tiba di terminal kota kabupaten wilayah barat dengan waktu tempuh sesuai yang mereka perkirakan.
Kemudian sopir mengumumkan bahwa Bunga Padang hanya berhenti sebentar di terminal itu dan akan segera melanjutkan perjalanan menuju kota kecamatan di wilayah utara. Atas informasi dari sopir itu, maka Rangga Mone dan teman-temannya, tetap mau ikut bus Bunga Padang. Julens Rehi Bula juga ikut bus ini, karena ternyata ia tidak pusing lagi dalam perjalanan tadi.
Satu setengah jam perjalanan Bunga Padang tiba di kota kecamatan wilayah utara. Rangga Mone dan teman-temanya turun. Di sini mereka berpisah, karena kampung halaman mereka berbeda arah.
Rangga Mone dan Julens Rehi Bula serta beberapa teman mereka, segera pindah kendaraan. Mereka naik bus tua bernama Tanjung Karoso, rute arah kecamatan wilayah barat. Mereka akan menempuh perjalanan sekitar satu setengah jam lagi.
Menjelang sore, Rangga Mone tiba di kampung halamannya. Orang tua dan adik-adiknya tampak sangat gembira. Maklum enam bulan baru jumpa lagi.
*****
Keesokan sore hari, Rangga Mone bertandang ke rumah sahabatnya. Gadis remaja cantik mungil, adik kelasnya di SMP. Waktu itu, teman-temannya mengira itu pacarnya. Sahabatnya ini juga sahabat dekat Tari Mbuku.
"Hai, selamat sore. Kapan kamu tiba," sapa Rendi Mete, ketika melihat wajah Rangga Mone nongol di rumahnya.
"Selamat sore juga. Saya baru tiba kemarin sore," kata Rangga Mone.
"Saya dengar kamu juara juga di SMA. Kamu memang hebat. Profisiat ya," lanjut Rendi Mete.
"Ahhh, biasa saja. Kamu tahu dari mana?" tanya Rangga Mone.
"Siapa lagi, kalau bukan dari Tari Mbuku," jawab Rendi Mete menggoda sahabatnya. Karena ia tahu betul sahabatnya itu sangat suka Tari Mbuku.
"Sejak kapan kamu mulai belajar omong kosong. Saya tahu, pasti si Julens Rehi Bula yang beri tahu kamu. Ayooo jujur. Sebentar lagi sudah Natal Lho!" timpal Rangga Mone.
Sebelum Rendi Mete lanjut menggodanya, Rangga Mone, cepat-cepat langsung menyambung, Â "Lain hari baru kita bahas tentang Tari Mbuku. Saya ke sini mau tanya kapan Mudika kerja bakti untuk buat kandang Natal?"
"Esok pagi sudah mulai. Pasti Tari Mbuku ada juga. Ikut yuk!" kata Rendi Mete mengajak sambil tersenyum. Karena ia paham Rangga Mone mau mengalihkan topik obrolan.
"Saya boleh ikut?' kata Rangga Mone seperti meminta persetujuan dari sahabatnya, sebagai salah satu Pengurus Mudika Paroki.
"Tentu boleh. Kalau saya larang, bisa kena marah dari Tari Mbuku dong!" Â seloroh Rendi Mete.
"Lebih baik, saya pamit pulang saja. Daripada saya digodain terus menerus," kata Rangga Mone, lalu berdiri dan hendak jalan.
"Sabar sedikit to. Selesaikan dulu minuman ini," pinta Rendi Mete. Rangga Mone pun menyelesaikan minumannya, sebelum pulang.
*****
Halaman gereja paroki pagi itu sudah sibuk dengan Mudika yang sedang kerja bakti, saat Rangga Mone tiba. Sebagian Mudika membersihkan sampah dan merapikan rumput, bunga dan pagar di halaman. Mudika lainnya, membersihkan gereja. Â Sementara yang lain, mempersiapkan pembuatan kandang Natal.
Rangga Mone langsung gabung membersihkan halaman gereja. Melihat Rangga Mone sudah hadir, Rendi Mete menghampiri sahabatnya dan memintanya untuk gabung dengan Mudika di dalam gereja yang sedang mendiskusikan model kandang Natal. Di situ Tari Mbuku juga sudah ada.
"Teman-teman, ini ada anak kota. Boleh tidak, kita libatkan dalam diskusi kita ini," kata Rendi Mete meminta konfirmasi teman-temannya.
"Boleh. Sangat boleh. Sangat diharapkan," jawab teman-temannya hampir serentak. Kecuali Tari Mbuku yang tidak memberi respon tapi hanya senyum-senyum saja.
Mereka kemudian diskusi sebentar dan menghasilkan mufakat tentang model kandang Natal. Model rumah adat daerah mereka menjadi pilihan yang dimufakati.
Sementara proses pembuatan kandang Natal berlangsung, Rendi Mete mengusulkan kepada teman-temannya, "bagaimana jika setelah kandang Natal jadi, kita foto bersama untuk kenang-kenangan bersama Rangga Mone?" Usulan ini sungguh-sungguh inisiatif Rendi Mete, karena ia melihat ada kamera yang dibawa oleh Rangga Mone.
"Setuju ... setuju ... setuju ... !!!" serentak teman-temannya merespon dengan gembira. Harap maklum, waktu itu masih langka orang yang punya kamera di desa. Untuk bikin pas foto saja, masih harus ke kota atau mendatangkan tukang foto dari kota. Jadi, usulan Rendi Mete itu merupakan suatu kebahagiaan tersendiri bagi mereka.
"Omong-omong, bagaimana Rangga Mone, boleh tidak foto kami? Kemudian kamu juga ikut foto bersama," kata Rendi Mete meminta persetujuan Rangga Mone.
"Boleh to sahabat," jawab Rangga Mone singkat, sambil melirik Tari Mbuku yang gesturnya sedang salah tingkah.
Kandang Natal tuntas pada sore hari. Usulan Rendi Mete pun dipenuhi.
*****
Natal tahun itu sudah berlalu beberapa hari. Masa liburan sekolah sudah berakhir. Rangga Mone pun sudah sibuk dengan kegiatan di sekolah dan asramanya nun jauh di sana di kota kabupaten wilayah timur.
Foto-foto hasil jepretannya selama masa liburan di kampung halamannya sudah tercetak. Ia membuka album dan mengamati satu persatu lembar foto itu. Satu lembar foto yang diamatinya lama sekali adalah foto bersamanya dengan Tari Mbuku di bawah bunga di depan SMP. Dalam foto yang diambil oleh Rendi Mete ini, tampak Rangga Mone mengambil posisi di samping kanan bunga dan Tari Mbuku memposisikan diri di samping kiri bunga.
Foto bersama dengan Tari Mbuku itu, atas inisiatifnya sendiri, setelah meminta bantuan Rendi Mete. Sahabatnya inilah yang mengkomunikasinya dengan Tari Mbuku dan Tari Mbuku sendiri mengiyakannya secara ikhlas.
Foto-foto tersebut digandakannya. Sebagian menjadi dokumen pribadinya dan sebagian lainnya dikirim ke kampung halamannya. Di sana, Tari  Mbuku juga mendapatkan beberapa lembar foto.  Apakah termasuk foto bersama mereka itu? Entahlah! Tapi menurut kabar burung, Tari Mbuku mengoleksinya.
Sementara Rangga Mone sendiri juga mengoleksi foto bersamanya dengan Tari Mbuku secara istimewa. Ia merapikannya dengan gunting supaya bisa diselipkan di dalam dompetnya. Maksudnya, bukan sekadar supaya selalu melihat wajah Tari Mbuku yang tersenyum saat membuka dompet, tapi lebih dari itu, sebagai simbol prasasti keyakinan dan keteguhan hatinya, bahwa suatu waktu Tari Mbuku akan menjadi kekasih hatinya. ***
Tambolaka, 14 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H