Gotong-royong saat tanam dan atau panen memang ramai. Di sini akan ada yang memberi semangat dengan nyanyian-nyanyian dalam bahasa ibu setempat dan selalu disambut hura oleh yang lain.
Gotong-royong ini juga dilanjutkan saat proses perontokan padi yang dipanen dan pengisian biji padi ke dalam wadah, seperti karung atau lumbung padi yang mereka sebut Sokal atau Boko. Saat proses pengisian biji padi ke wadahnya disebut Yopa atau Ghopa. Ini juga pakai prosesi adat. Orang yang diberi tugas untuk Yopa, wajib diberi sirih-pinang atau uang seperlunya sebagai pengganti sirih-pinang.
Mengapa masyarakat petani di Sumba masih ada yang melaksanakan prosesi sembayang adat saat akan tanam dan atau panen padi? Jawabannya, orang Sumba sampai saat ini memang sangat menghormati padi. Mereka menghormatinya karena padi dianggap sebagai jelmaan seorang Dewi.
Seorang Dewi yang dimaksud tidak lain adalah Mbiri Kyoni. Konon, Mbiri Kyoni adalah putri cantik jelita, yang berubah menjadi tanaman padi setelah meninggal. Dewi ini pulalah yang menjadi cikal bakal prosesi ritus nale dan pasola di Sumba.
Kalkulasi Ekonomi
Prosesi adat saat tanam dan atau panen padi di atas, secara kalkulasi ekonomi baik tenaga, waktu maupun biaya, sesungguhnya sangat tidak efisien. Ini jelas-jelas suatu pemborosan.
Namun demikian, hal tersebut dapat dimaklumi, mengingat fakta di Sumba, kepercayaan Marapu masih hidup, meskipun agama-agama modern sudah lama ada.
Disamping itu, fakta di Sumba, buruh tani belum berkembang. Jika kita ingin menyewa orang untuk membantu tanam dan panen, bisa-bisa tidak ada orang yang datang.
Fakta lain, khususnya alat mesin pertanian berupa perontok padi, masih jarang. Jadi mau tidak mau masih menggunakan tenaga manusia dengan cara menginjak-injak malai-malai padi untuk merontokkan biji padi dari tangkai malainya.
Tambolaka, 29 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H