Modernisasi sudah berlangsung sejak lama. Hampir tidak ada lagi satu sektor kehidupan pun yang tidak mengalaminya.
Demikian pula pada sektor pertanian, termasuk subsektor tanaman pangan, sudah mengalami modernisasi sejak lama. Namun proses adaptasi masyarakat petani tidak selalu seiring sejalan dengan perkembangan kemajuan modernisasi pada sektor pertanian.
Misalnya di Sumba, khususnya di wilayah suku Wewewa, lebih khusus di Desa Kalaki Kambe, lebih khusus lagi di Kampung Tana Kombuka, masyarakat petani masih saja melakukan aktivitas tanam dan panen padi secara adat.
Hampir 10 (sepuluh) tahun saya menjadi warga dekat kampung Tana Kombuka. Secara empirik, masyarakat petani di kampung tersebut masih setia mempertahankan tradisi mereka dalam bertani. Masyarakat di kampung ini adalah petani ladang atau kebun.
Pada saat akan tanam dan panen, khususnya padi, kecuali pengolahan lahan, penyiangan dan pemupukan, mereka masih melakukannya secara adat. Malam sebelum tanam dan panen, mereka masih melakukan prosesi sembayang adat sesuai kepercayaan asli nenek-moyang mereka yaitu Marapu (kepercayaan kepada roh-roh leluhur sebagai perantara Yang Ilahi).
Prosesi sembayang adat ini dipimpin oleh Rato Marapu. Seorang imam adat, yang memiliki kemampuan dan otoritas adat sebagai pengantara ujud-ujud doa keluarga secara perorangan atau komunitas untuk disampaikan atau dikomunikasikan kepada Marapu. Rato Marapu ini dapat merasakan dan melihat tanda-tanda melalui perantaraan hewan kurban, seperti ayam dan babi yang disembelih.
Tanda-tanda dimaksud tertera di usus ayam atau hati babi. Terkait tanda-tanda ini hanya bisa dipahami oleh para Rato Marapu dan sesepuh adat serta orang-orang tertentu saja yang suka berkecimpung dalam urusan tradisi adat-istiadat. Orang awam, seperti saya sendiri, tidak memahaminya sama sekali.
Dalam prosesi sembayang adat tersebut ada ujud yang diharapkan oleh masyarakat tani dari Marapu. Ujud sembayang saat akan tanam, diantaranya yaitu supaya benih padi yang ditanam tumbuh, tanaman berkembang subur, terhindar dari penyakit, dan menghasilkan produksi yang optimal. Disamping itu, mereka juga mengujudkan supaya curah hujan cukup.
Sedangkan ujud sembayang saat akan panen, diantaranya yaitu supaya volume hasil panen padi melimpah. Disamping itu juga supaya roh padi yang dipanen tidak diambil oleh kekuatan-kekuatan gaib, semacam sihir, sehingga produksi yang dihasilkan tidak berkurang volumenya.
Setelah prosesi sembayang adat itu, keesokan harinya, masyarakat petani melaksanakan penanaman dan atau panen di ladang. Tanam dan panen ini dilaksanakan secara gotong-royong yang mereka sebut Roppo atau Pawanda. Artinya, mengundang keluarga atau kenalan untuk membantu mereka.
Gotong-royong berarti melibatkan banyak orang tanpa dibayar. Oleh karena itu membutuhkan pengorbanan lain. Nah, dalam hal ini harus menyiapkan makan, minum (kopi/teh), dan sirih pinang. Lauknya, ya harus enaklah, sembelih ayam dan babi/anjing.