Minggu siang tadi, 21 April 2019, teman-temanku dari luar Sumba, menyampaikan ucapan Selamat Paskah kepadaku. "Bagaimana kondisi perayaan pesta Paskah di tempatmu?" lanjut mereka ingin sekadar tahu perayaan Paskah di Sumba.
"Ramai, gembira, bahagia, dan damai," jawabku, setelah saya menyampaikan ucapan Selamat Paskah balasan.
Kondisi perayaan Paskah di Sumbalah yang akan saya kisahkan di bawah ini. Namun sayangnya, saya tidak sempat mengabadikannya. Oleh karena itu saya akan menyertakan foto-foto sebagai ilustrasi.
*********
Diantara gema-bahana musik tradisional ini, diikuti pekikan khas para perempuan yang disebut Kirikingo oleh orang suku Kodi atau Pakalaka oleh orang suku Wewewa. Aiii aiii aiii lalalala ....!!!!!
Bunyi gong (Tala) bertalu-talu. Bunyi tambur (Bendu) dan beduk (Ndilur) menggema. Bunyi giring-giring (Langgoro) di kaki penari nyaring. Pekikan penyemangat, laki-laki (kayokongo) dan perempuan (khilikingo) membahana.
Kira-kira begitulah tradisi budaya orang Sumba saat mengekspresikan kegembiraan dan sekaligus kebahagiaannya, baik dalam pesta-pesta adat, acara penguburan orang meninggal, hajatan resmi pemerintah maupun acara-acara gereja, terutama pada hari-hari raya.
Inkulturasi
Dalam perayaan Paskah tahun ini pun, terutama dalam lingkungan Gereja Katolik di Keuskupan Waitabula Sumba, tradisi di atas menjadi bagian menarik yang menyuguhkan aura kegembiraan dan kebahagiaan tersendiri. Mulai dari hari Minggu Palma, Kamis Putih, Jumat Agung dan sampai Paskah, tradisi di atas sudah ditampilkan. Inilah yang dinamakan proses inkulturasi oleh gereja.
Proses inkulturasi ini sudah sejak lama diterapkan dan ditata di dalam gereja, sehingga tidak mengganggu tahapan-tahapan liturgi ibadah dan misa. Dalam misa, misalnya, tradisi di atas ditempatkan pada awal, saat perarakan, persembahan, dan sebelum penutupan. Durasinya diperketat sehingga proses misa tidak terlalu lama.
Bahkan dalam ibadah Jumat Agung, peringatan wafatnya Tuhan Yesus, yang seharusnya tidak adalagi bunyi musik, namun musik tradisional Sumba (gong, tambur dan beduk) bisa ditolerir saat ratapan jalan salib atau cium salib. Sebab dalam tradisi Sumba, orang yang sedang meratap di hadapan orang meninggal selalu diiringi dengan irama musik tradisional yang memang sendu.
Proses inkulturasi yang diakomodir gereja tersebut, harus diakui mempunyai dampak yang sangat positif untuk kepentingan baik umat gereja sendiri maupun pelestarian tradisi budaya di atas.
Diantaranya, yaitu pertama, menggerakkan semangat umat untuk terlibat dalam gereja, terutama dalam ibadah dan misa. Percaya atau tidak, orang Sumba kalau sudah mendengar bunyi gong, tambur dan beduk membahana, tubuh, hati dan kalbunya akan bergetar dan segera merapat ke gereja.
Kedua, orang Sumba, sesuai tradisi budayanya, hanya membunyikan gong, tambur dan beduk, pada saat-saat tertentu saja, yaitu jika ada pesta adat dan acara kematian, yang harus diakhiri dengan kurban darah hewan. Artinya, tabu membunyikan alat musik tradisional itu tanpa ada hajatan. Tapi untuk kepentingan gereja, tradisi budaya tersebut dapat ditolerir.
Dan ketiga, kerajinan pembuatan gong, tambur, beduk, giring-giring, dan kain tenun serta parang Sumba yang dipakai oleh para penari, bisa terus bertahan dan lestari.
Singkat ceritera dan sekaligus menjadi catatan akhir, merayakan hari-hari besar di Sumba, seperti Hari Paskah Tahun ini, sungguh-sungguh menciptakan kondisi yang sangat ramai dalam misa atau ibadah, rasa gembira dan bahagia menyelimuti hati seluruh umat.
Selamat Merayakan Pesta Paskah.
Minggu, 21 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H