Proses inkulturasi ini sudah sejak lama diterapkan dan ditata di dalam gereja, sehingga tidak mengganggu tahapan-tahapan liturgi ibadah dan misa. Dalam misa, misalnya, tradisi di atas ditempatkan pada awal, saat perarakan, persembahan, dan sebelum penutupan. Durasinya diperketat sehingga proses misa tidak terlalu lama.
Bahkan dalam ibadah Jumat Agung, peringatan wafatnya Tuhan Yesus, yang seharusnya tidak adalagi bunyi musik, namun musik tradisional Sumba (gong, tambur dan beduk) bisa ditolerir saat ratapan jalan salib atau cium salib. Sebab dalam tradisi Sumba, orang yang sedang meratap di hadapan orang meninggal selalu diiringi dengan irama musik tradisional yang memang sendu.
Proses inkulturasi yang diakomodir gereja tersebut, harus diakui mempunyai dampak yang sangat positif untuk kepentingan baik umat gereja sendiri maupun pelestarian tradisi budaya di atas.
Diantaranya, yaitu pertama, menggerakkan semangat umat untuk terlibat dalam gereja, terutama dalam ibadah dan misa. Percaya atau tidak, orang Sumba kalau sudah mendengar bunyi gong, tambur dan beduk membahana, tubuh, hati dan kalbunya akan bergetar dan segera merapat ke gereja.
Kedua, orang Sumba, sesuai tradisi budayanya, hanya membunyikan gong, tambur dan beduk, pada saat-saat tertentu saja, yaitu jika ada pesta adat dan acara kematian, yang harus diakhiri dengan kurban darah hewan. Artinya, tabu membunyikan alat musik tradisional itu tanpa ada hajatan. Tapi untuk kepentingan gereja, tradisi budaya tersebut dapat ditolerir.
Dan ketiga, kerajinan pembuatan gong, tambur, beduk, giring-giring, dan kain tenun serta parang Sumba yang dipakai oleh para penari, bisa terus bertahan dan lestari.
Singkat ceritera dan sekaligus menjadi catatan akhir, merayakan hari-hari besar di Sumba, seperti Hari Paskah Tahun ini, sungguh-sungguh menciptakan kondisi yang sangat ramai dalam misa atau ibadah, rasa gembira dan bahagia menyelimuti hati seluruh umat.
Selamat Merayakan Pesta Paskah.
Minggu, 21 Maret 2019