Mohon tunggu...
Rofinus D Kaleka
Rofinus D Kaleka Mohon Tunggu... Insinyur - Orang Sumba. Nusa Sandalwood. Salah 1 dari 33 Pulau Terindah di Dunia. Dinobatkan oleh Majalah Focus Jerman 2018

Orang Sumba, Pulau Terindah di Dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merasa Aneh Saja, Mulai Berkembang Perangai Intoleran di Yogya

7 April 2019   21:48 Diperbarui: 7 April 2019   22:34 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

SAAT sedang menulis artikel ini, saya masih belum yakin saja, tentang kabar intoleransi yang mulai berkembang di Yogyakarta. Daerah yang saya cintai dan telah saya anggap sebagai kampung keduaku setelah Sumba, tanah tumpah darah kelahiranku.

Kaget, sungguh-sungguh kaget saja. Saat kabar terakhir tentang intoleransi di Yogyakarta yang terekspose dan viral dalam beberapa hari ini.

Merasa aneh, benar-benar merasa aneh saja. Kok Yogyakarta bisa demikian perangainya saat  ini. Perangai yang tidak pernah kualami dan tidak terbayangkan sama sekali akan terjadi, ada warga kampung keduaku yang intoleran.  

Bangga dengan Toleransinya

Saya pernah tinggal di Yogyakarta hampir sembilan tahun, dari 1988 sampai dengan 1997. Di sana, saya kuliah dan setelah itu kerja.

Salah satu karakter masyarakat Yogyakarta yang saya banggakan sampai hari ini adalah toleransinya. Ini pulalah yang membuat saya terpikat dan jatuh cinta pada Yogyakarta, meskipun saya tidak sempat mendapat jodoh perempuan Yogyakarta. Mungkin kurang laku waktu itu ya?  

Saya tinggal di kos milik warga muslim. Penduduk sekitarnya mayoritas muslim. Sebagai non muslim, Katolik, saya tidak pernah diperlakukan diskriminatif, apalagi intoleran. Bapak-bapak, ibu-ibu, dan muda-mudi di sekitarnya bersahabat sangat baik dengan saya.

Jangan tanya lagi cewek-ceweknya yang manis-manis, senang bercanda dengan saya. Bahkan ada cewek cantik muslim, peragawati lagi di Yogyakarta, mahasiswi beda kampus, yang sering ajak saya makan di rumah orangtuanya. Ini bukan pacar lho, hanya franly spesial saja. Hahahahaha .....!

Keadaan di kampus pun demikian, Tidak ada sikap intoleran yang saya alami, baik dari para dosen dan mahasiswa-mahasiswi yang umumnya memang muslim. Fine-fine saja. Bahkan sempat dipilih menjadi Ketua Umum Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas.

Jangan tanya lagi mahasiswinya, kok suka sekali mepet-mepet dengan saya. Ganteng kali ya? Ahhh tidaklah. Cerdas kali ya? Ya mungkinlah. Pernah jadi coach sih. Puji diri nich yeee ... !

KKN dan Penelitian Skripsi yang Berkesan

Demikian pula ketika saya melakukan Praktek Kerja Lapangan di Desa Bojong, Kabupaten Kulon Progo, Kuliah Kerja Nyata di Desa Poncosari, Kecamatan Srandaaan, Kabupaten Bantul dan Penelitian Skripsi di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Di tiga tempat ini tidak ada sama sekali warga non muslim yang saya temui. Namun saya tidak mengalami perlakuan intoleran.

Saat KKN itu, sangat berkesan dan tidak terlupakan bagi saya. Selama dua bulan di Poncosari, saya tinggal di rumah keluarga muslim yang sangat taat. Selain mereka melayani makan dan minum, saya juga tidak diperkenankan mencuci sendiri pakaian.

Saya malu sebetulnya, tapi karena saya merasakan ada energi kasih sayang dari keluarga itu, maka mau tidak mau saya mengalah saja. Apalagi, saya memang pemokol juga untuk urusan cuci-mencuci.

Ehhh, makin malu saya, setelah saya tahu yang mengurus pakaian saya adalah putri bungsu mereka yang masih mahasiswi juga di Yogyakarta. Cuantiknya huuuuuh minta ampun, tipe saya betul. Tapi kalau ia pergi kuliah pakai hijab. Manja-manja di saya lagi. Suka-suka minta diantar ke mana-mana juga. Pakai sepeda motor dialah. Barangkali saya punya magnet ya! Hahahahaha.

Pemuda-pemudi di sana, juga sangat bersahabat. Partisipasi mereka sangat tinggi dalam mensukseskan program KKN saya. Bahkan saya selalu dilibatkan dan memang saya mau melibatkan diri dalam aktivitas di Mushola setempat.

Lebih dahsyat lagi, beberapa pemuda-pemudi, tak terkecuali si putri bungsu cantik tadi, selalu mengantar saya ke gereja setiap minggu. Gereja di sana jauh lho dari Desa Poncosari, bisa sekitar lima kilometer.

Ketika tiba waktu KKN selesai, saya bersama kawan-kawan harus pulang Kota Yogyakarta. Keluarga-keluarga dan pemuda-pemudi Desa Poncosari tidak bisa menyembunyikan rasa harunya. Jangan tanya lagi, isak tangis kami meledak.

Begitu saya sudah di Kota Yogyakarta, pemuda-pemudi dari Poncosari selalu datang. Biasanya mereka membawa makanan khas desa. Kadang-kadang juga diundang untuk ikut hajatan dan pasti saya hadir.

Satu lagi yang sering datang ke kos saya, yaitu si bungsu cantik tadi. Selalu saja membawa oleh-oleh makanan dari desa. Saya merasakan, merasakan lho, rupanya ia sudah jatuh hati sama saya. Terkait hal ini saya merasa bersalah, seolah-olah saya mengabaikannya.

Disamping pengalaman indah di Poncosari itu, saya juga merasakan pengalaman toleransi yang indah waktu penelitian skripsi di Kaki Gunung Merapi, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman.

Saat itu sedang masa puasa. Keluarga tempat tinggal saya tetap menyiapkan makanan siang untuk saya. Padahal saya sudah memberi tahu kepada mereka bahwa saya dapat menyesuaikan. Artinya tidak perlu diistimewakan.

Editor Buku Saku Muslim

Pengalaman toleransi yang indah juga saya dapatkan pada saat bekerja pada sebuah media massa cetak di Yogyakarta. Disamping tidak ada perlakuan intoleransi dalam bekerja dan pergaulan dengan pimpinan sampai rekan-rekan kerja, saya semacam mendapatkan kepercayaan tersendiri dari pimpinannya.

Aneh memang rasanya, bahkan tidak masuk akal sama sekali, bagaimana mungkin pimpinan perusahaan media massa tersebut, sebagai seorang muslim taat, tapi mempercayakan kepada saya, seorang non muslim, sebagai editor (khusus narasinya saja) untuk buku-buku saku muslim yang disusunnya. Ada sekitar delapan buah bukunya. Buku-buku tersebut dipergunakannya sebagai bahan saat ia memberikan pengajian. Tidak jarang juga ia mengajak saya dan memperkenalkan saya sebagai editornya.

Sarana Gereja

Satu hal lagi yang membuat saya sangat kagum dengan kondisi toleransi di Kota Yogyakarta, yaitu berkaitan dengan eksistensi gedung ibadah, khususnya Gereja. Dimana-mana ada gedung gereja. Bahkan di alun-alun Keraton Yogyakarta pun dikelilingi sarana gedung peribadatan, tidak terkecuali gereja.

Jika dibandingkan dengan Kota Kupang di Provinsi Nusa Tenggara Timur, perlu diakui bahwa khusus untuk gereja Katolik, jauh lebih mudah menjumpai gereja Katolik di Kota Yogyakarta ketimbang di Kota Kupang. Ini adalah fakta luar biasa bukan?

Dari pengalaman dan fakta nyata praktek toleransi luar biasa yang saya alami di atas, maka terus terang, saya merasa aneh saja, kok sekarang ini mulai berkembang perangai intoleransi di Yogyakarta. Tapi saya masih yakin bahwa ini bukanlah wajah asli masyarakat Yogyakarta. Tentu hal ini bukan karena apa adanya tapi karena ada apa-apanya.

Tambolaka, 7 April 2019 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun