Mohon tunggu...
Rofinus D Kaleka
Rofinus D Kaleka Mohon Tunggu... Insinyur - Orang Sumba. Nusa Sandalwood. Salah 1 dari 33 Pulau Terindah di Dunia. Dinobatkan oleh Majalah Focus Jerman 2018

Orang Sumba, Pulau Terindah di Dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merasa Aneh Saja, Mulai Berkembang Perangai Intoleran di Yogya

7 April 2019   21:48 Diperbarui: 7 April 2019   22:34 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Demikian pula ketika saya melakukan Praktek Kerja Lapangan di Desa Bojong, Kabupaten Kulon Progo, Kuliah Kerja Nyata di Desa Poncosari, Kecamatan Srandaaan, Kabupaten Bantul dan Penelitian Skripsi di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Di tiga tempat ini tidak ada sama sekali warga non muslim yang saya temui. Namun saya tidak mengalami perlakuan intoleran.

Saat KKN itu, sangat berkesan dan tidak terlupakan bagi saya. Selama dua bulan di Poncosari, saya tinggal di rumah keluarga muslim yang sangat taat. Selain mereka melayani makan dan minum, saya juga tidak diperkenankan mencuci sendiri pakaian.

Saya malu sebetulnya, tapi karena saya merasakan ada energi kasih sayang dari keluarga itu, maka mau tidak mau saya mengalah saja. Apalagi, saya memang pemokol juga untuk urusan cuci-mencuci.

Ehhh, makin malu saya, setelah saya tahu yang mengurus pakaian saya adalah putri bungsu mereka yang masih mahasiswi juga di Yogyakarta. Cuantiknya huuuuuh minta ampun, tipe saya betul. Tapi kalau ia pergi kuliah pakai hijab. Manja-manja di saya lagi. Suka-suka minta diantar ke mana-mana juga. Pakai sepeda motor dialah. Barangkali saya punya magnet ya! Hahahahaha.

Pemuda-pemudi di sana, juga sangat bersahabat. Partisipasi mereka sangat tinggi dalam mensukseskan program KKN saya. Bahkan saya selalu dilibatkan dan memang saya mau melibatkan diri dalam aktivitas di Mushola setempat.

Lebih dahsyat lagi, beberapa pemuda-pemudi, tak terkecuali si putri bungsu cantik tadi, selalu mengantar saya ke gereja setiap minggu. Gereja di sana jauh lho dari Desa Poncosari, bisa sekitar lima kilometer.

Ketika tiba waktu KKN selesai, saya bersama kawan-kawan harus pulang Kota Yogyakarta. Keluarga-keluarga dan pemuda-pemudi Desa Poncosari tidak bisa menyembunyikan rasa harunya. Jangan tanya lagi, isak tangis kami meledak.

Begitu saya sudah di Kota Yogyakarta, pemuda-pemudi dari Poncosari selalu datang. Biasanya mereka membawa makanan khas desa. Kadang-kadang juga diundang untuk ikut hajatan dan pasti saya hadir.

Satu lagi yang sering datang ke kos saya, yaitu si bungsu cantik tadi. Selalu saja membawa oleh-oleh makanan dari desa. Saya merasakan, merasakan lho, rupanya ia sudah jatuh hati sama saya. Terkait hal ini saya merasa bersalah, seolah-olah saya mengabaikannya.

Disamping pengalaman indah di Poncosari itu, saya juga merasakan pengalaman toleransi yang indah waktu penelitian skripsi di Kaki Gunung Merapi, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman.

Saat itu sedang masa puasa. Keluarga tempat tinggal saya tetap menyiapkan makanan siang untuk saya. Padahal saya sudah memberi tahu kepada mereka bahwa saya dapat menyesuaikan. Artinya tidak perlu diistimewakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun