Mohon tunggu...
Rofinus D Kaleka
Rofinus D Kaleka Mohon Tunggu... Insinyur - Orang Sumba. Nusa Sandalwood. Salah 1 dari 33 Pulau Terindah di Dunia. Dinobatkan oleh Majalah Focus Jerman 2018

Orang Sumba, Pulau Terindah di Dunia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bohong Itu Perlu Investasi

1 Desember 2018   13:22 Diperbarui: 1 Desember 2018   13:26 2176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

KETIKA menjadi aktivis pers mahasiswa, awal tahun sembilan belas sembilan puluhan, pada salah satu universitas swasta di Yogyakarta, saya dan seorang kawan (kini wartawan pada sebuah Harian tertua di Yogyakarta) berkesempatan mewawancarai Ki Suratman seputar isu pendidikan nasional. Waktu itu, Ki Suratman, sebagai Ketua Umum Persatuan Perguruan Tamansiswa dan Ketua Komisi IX DPR RI (Bidang Pendidikan).

Di akhir wawancara, tokoh Tamansiswa yang berpembawaan kebapaan dan bersahaja itu, sempat memberi nasehat kepada kami berdua berkaitan dengan kejujuran dan kebohongan. Seperti apakah nasehat Ki Suratman itu?

 "Adik-adik, sebagai mahasiswa, calon intelektual-cendekiawan, apalagi menjadi aktivis, apapun profesi dan dimanapun melaksanakan tugas kelak, kalian harus mempunyai pribadi yang jujur dan santun. Jujur itu mudah dan murah. 

Tidak butuh investasi. Sebaliknya, bohong itu memang mudah juga tapi mahal. Butuh investasi yang sangat besar," demikian nasehat Ki Suratman yang sangat impresif itu.

Kini Ki Suratman sudah lama menjadi almarhum, namun nasehatnya itu tidak pernah lekang oleh panas dan lapuk oleh hujan. Ibaratnya lilin yang konstan  menyala dan menerangi situasi dan kondisi "gelap" dalam praksis kehidupan sosial dan politik tanah air sekarang ini yang sedang gaduh dan gerah dihantam badai tsunami informasi "hoaks" yang dipabrik oleh oknum-oknum orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu untuk meng-goal-kan kepentingannya.

Ratna Sarumpaet

Fenomena Ratna Sarumpaet yang sempat meng-"haru-biru" dan bikin "hura-hara" belum lama ini dalam atmosfer sosial politik tanah air, terus terang makin meyakinkan, setidak bagi saya, bahwa nasehat Ki Suratman di atas patut menjadi tuntunan yang dapat diperhatikan. Hoax atau berita bohong yang dipabrik secara swadaya oleh Ratna Sarumpaet itu ternyata memang menjadi suatu investasi yang berharga mahal.

Ratna sendiri harus memanen karmanya. Ia harus terjembab ke dalam proses hukum pidana. Sebagai seorang aktivis yang "punya nama", tentu ia tidak mau jatuh terpelanting begitu saja. 

Ia wajib membela dirinya dengan menggunakan penasehat hukum. Imbasnya jelas butuh investasi energi yang ekstra. Suatu investasi waktu, tenaga dan biaya yang kontra produktif.

Sebagai seorang aktivis, hoax yang dipabrik Ratna,  serta merta dianggap fakta kebenaran dan tanpa reserep langsung "dipasarkan" ke publik oleh para sejawatnya. Akibatnya, menciptakan bumerang bagi para sejawatnya. Mau tidak mau, para sejawat Ratna harus menginvestasikan waktu, tenaga dan biaya atas sebuah hoax yang dipabrik Ratna. Suatu investasi yang sia-sia belaka.

Krisis Kepercayaan

Hoax atau bohong atau tipu atau dusta atau yang sejenisnya, bukan sekadar mahal dari sisi investasi waktu, tenaga dan biaya, akan tetapi juga mahal dari sisi kepercayaan. Dalam fenomena di atas, siapa yang dapat menjamin bahwa Ratna dan para sejawatnya sekarang ini tidak mengalami "krisis kepercayaan"? Mudah-mudahan saja tidak sampai pada titik "kehilangan kepercayaan" sama sekali.

 Terkait dengan penting dan mahalnya kepercayaan itu, dalam masyarakat Jawa ada ungkapan dan sekaligus nasehat yang berbunyi: "Kehilangan harta sama dengan tidak kehilangan apa-apa, kehilangan nyawa sama dengan hanya kehilangan separohnya, tapi kehilangan kepercayaan sama dengan kehilangan segala-galanya" (Romo Shindu). Kepercayaan itu mahal bukan?

Bohong itu Butuh Investasi

Fenomena Ratna di atas, memberikan gambaran yang jelas kepada kita bahwa nasehat Ki Suratman tadi selalu relevan untuk menjadi bahan tuntunan dalam proses perjalanan kehidupan kita. Setidaknya supaya kita selalu waspada dengan pikiran, perkataan dan perbuatan kita. Merem perilaku diri kita untuk tidak gemar bohong. Karena bohong itu ternyata membutuhkan investasi yang mahal.

Dengan begitu, saya pribadi berharap supaya para pembuat hoax, tukang fitnah dan pehobi maki melalui media sosial, mulai merem perilakunya. Kalau belum ketahuan boleh tertawa-ria. Tapi begitu terbongkar maka investasinya akan sangat mahal. Selamat belajar dari pengalaman Ratna di atas.

Penulis, pemerhati sosial tinggal di Sumba Barat Daya 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun