Setiap kali menghadiri (atau menonton di TV) acara pelantikan dan pengambilan sumpah para pejabat, baik politik atau karier, saya selalu memperhatikan tangan kiri mereka diletakkan di atas "Kitab Suci" yang dipegang oleh pendamping rohani dan tangan kanannya diangkat ke atas dengan menjulurkan dua jari, yaitu jari telunjuk dan jari tengah.
Sesungguhnya saya ingin bertanya tentang filosofi tradisi tersebut, namun selalu tidak kesampaian. Belum lagi saya mendapatkan referensi tentang filosofi tradisi sumpah angkat dua jari itu, suatu waktu dalam acara resepsi syukuran pelantikan saudara saya sebagai kepala desa, beberapa kepala desa yang hadir bertanya kepada saya tentang tradisi tersebut.Â
Wajar saja mereka bertanya kepada saya. Sebagai seorang sarjana, mereka pikir saya tahu segalanya. Apalagi mereka hanya berijasah paket C. Tidak usah kagetlah, bupati dan calon gubernur saja, ada yang hanya berijasah paket C (setara SMA) dan paket D (setara sarjana). Ada tidak ya, pendidikan paket C?
Tanpa ragu sedikitpun, sok tahulah begitu, saya memberikan penjelasan kepada beberapa kepala desa tersebut tentang filosofi tradisi sumpah dua jari dalam pelantikan para pejabat. "Dua jari yang diangkat itu, paling tidak disukai oleh masyarakat yang saudara-saudara pimpin dan memilih saudara-saudara," kataku memberi pernyataan awal.
"Mengapa dua jari itu, tidak disukai," respon salah satu kepala desa.
"Begini. Jari telunjuk itu, lambang orang yang suka menunjuk. Tukang perintah. Juga berarti orang yang pemalas. Tidak suka kerja," jelasku.
Kemudian saya melanjutkan, "Sedangkan jari tengah itu, lambang orang yang suka dipuji. Orang seperti ini biasanya juga sombong. Disamping itu, jari tengah itu, juga lambang maki, seperti di Jerman."
"Apakah orang-orang seperti itu disukai masyarakat?" tanyaku kepada mereka.
Salah seorang kepala desa langsung meresponnya, "Bukan hanya tidak disukai masyarakat. Kita sendiri juga bisa rugi. Â Kalau kita suka dipuji-puji, bisa-bisa harta kita habis. Kalau kita suka perintah dan apalagi sombong, mana ada orang yang mau dekat dengan kita. Bisa-bisa kita bekerja sendiri. Capai sendiri bos."
"Itulah yang perlu diperhatikan. Sumpah dua jari itu adalah nasehat yang baik. Kepala desa itu adalah pemimpin di desa. Sebagai pemimpin harus menjadi suritauladan. Memberi contoh kerja yang baik dan benar kepada masyarakat.Â
Misalnya, dalam bertani. Kepala desa juga wajib punya kebun atau ladang atau sawah. Jangan hanya menyuruh masyarakat saja yang bekerja. Jika perlu ADD yang ada diarahkan untuk memberdayakan masyarakat tani di desa. Bantu mereka benih unggul, pupuk, dan alsintan tepat guna," jelasku, seolah-olah memberi arahan.
Memperhatikan wajah mereka yang cukup serius mendengarkan penjelasanku, maka saya pun melanjutkan, seolah-olah memberi doktrin, "Seorang pemimpin itu harus disiplin dan tegas namun tidak berarti harus brutal dan sombong. Pemimpin itu bukan preman.Â
Oleh karenanya perlu juga rendah hati dan sabar. Sehingga pemimpin bisa dekat dengan masyarakatnya. Demikian pula sebaliknya, masyarakat dekat dengan pemimpinnya. Kedekatan antara pemimpin dan masyarakatnya, akan menghasilkan kerjasama yang baik untuk mewujudkan tujuan kemajuan yang diharapkan bersama."
Penjelasan saya tentang filosofi tradisi sumpah mengangkat dua jari itu berhenti sampai di situ saja, karena acara resepsi tersebut sudah dimulai. Apakah memang begitu filosofinya? Mana saya tahu juga. Hanya karang-karang saja. Beruntungnya, yang saya hadapi saudara-saudaraku sendiri yang kurang wawasan.
Nah, bagi yang tahu filosofinya, sebaiknya dikisahkan dong. Tahu sendiri saja, rugi lho!
Rofinus D Kaleka *)
Tambolaka, 27 Maret 2018
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H